Musim kering melanda Desa Wonuakongga. Wilayah berupa dataran dan perbukitan tanah keras ini nampak gersang. Jalan desa baru berupa perkerasan penuh bebatuan. Saat dilewati kendaraan, debu akan segera memenuhi udara. Desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan ini di huni kurang lebih 140 KK atau setara 513 jiwa dengan mayoritas warganya beretnis Muna. Mereka bertahan hidup dengan bekerja sebagai petani kebun singkong dan sebagian menjadi nelayan.
Di desa ini hanya terdapat satu sekolah dasar. Untuk melanjutkan pendidikan, warga harus mengantar anak-anak mereka ke sekolah yang terletak di desa Torobulu berjarak kurang lebih 5 kilo meter. Di desa, sarana kesehatan sama sekali tak ada, jika sakit warga harus menempuh perjalanan menuju desa tetangga agar mendapat perawatan. Bukan rahasia umum lagi jika pemukiman di sekitar tambang akan sangat rentan terhadap penyakit, terutama penyakit pernapasan akibat debu yang diterbangkan oleh oleh truk tambang.
Seperti di desa-desa lain yang dilalui tambang, kehidupan warga Wonuakongga sama mirisnya. “Setali tiga uang” berada di bawah garis kemiskinan dan hanya menjadi penonton para pengusaha tambang mengeruk bumi tanah mereka berpijak selama ini. Potret kemiskinan begitu terasa di sekitar kawasan tambang. Masyarakat yang sebagian besar mengandalkan hidup dari bertani ubi kayu dan mencari ikan kini tergiur menjadi pekerja tambang meski itu dengan gaji pas-pasan. Dan tentu saja sebagian besar dari masyarakat yang tidak direkrut.
“Kami hanya bisa menerima dampak kerusakan, tanpa merasakan manisnya keuntungan tambang itu,”kata La Arman, warga. Meski begitu ada juga warga yang menjadi pekerja tambang, tapi hanya bestatus buruh karena pendidikan mereka yang rendah, sehingga ditempatkan sesuai dengan proporsi sebagai buruh pengawas atau paling tinggi sebagai security yang berjaga 24 jam.
Aliamu (33 tahun), warga bercerita panjang lebar soal pengalamannya sebagai buruh di perusahaan tambang. Eks karyawan perusahaan tambang di Konawe Selatan ini bekerja selama 3 tahun, sebelum akhirnya Ia bersama 290 orang karyawan terpaksa di PHK saat era moratorium tambang tengah berlangsung bulan Mei 2014.
“Gaji lumayan baik, Rp 2,7 juta per bulan. Ini di luar dari bonus lembur kerja yang diperoleh dari perusahaan yakni sebesar Rp 15.000 per jam,”ungkapnya.
Di perusahaan, Aliamu bekerja sebagai karyawan di bidang pengambilan sampel tanah. Sebagai karyawan Ia mengaku memperoleh jaminan kerja berupa jamsostek dan jaminan kesehatan. Saat di “rumahkan” Aliamu mengaku mendapat pesangon sebesar Rp 30 juta. Uang tersebut kemudian dipakai untuk membeli peralatan tangkap ikan, seperti sampan dan jaring. Aliamu sudah mempersiakan diri untuk kembali ke pekerjaannya sebagai nelayan. “Jauh sebelum bergabung di perusahaan tambang, saya bekerja sebagaai nelayan tangkap. Jadi setelah di PHK saya kembali lagi sebagai nelayan,”ujarnya. Bekerja sebagai nelayan tentu penuh resiko, termasuk soal penghasilan. Saat menjadi nelayan Aliamu memperoleh pendapatan per hari antara Rp 70 ribu – Rp 150 ribu per hari. “Ya, kalau diberi pilihan saya pasti memilih bekerja di tambang,”katanya.
Sayang, kesejahteraan karyawan kontras dengan kehidupan warga sekitar tambang. Mayoritas warga hidup jauh dari kata sejahtera. Ini terlihat dari kehidupan warga sekitar dimana sebagai besar rumah warga masih berupa rumah rumah panggung berdinding papan dan beratap daun sagu.
Ironis memang. Selama berdiri perusahaan tak sedikit pun memberikan bantuan ekonomi produktif pada warga sekitar. Kata warga, bantuan perusahaan hanya berupa penerangan listrik. Padahal menjadi kewajiban perusahaan untuk turut mensejahterakan warga sekitar dengan memberi bantuan ekonomi produkti melalui program CSR perusahaan.
Jaminan kesejahteraan pada warga sekitar yang selama ini didengung-dengungkan perusahaan dan pemerintah ibarat “jauh panggang dari api”. Kebanyakan perusahaan telah melakukan aktifitas produksi dengan melakukan pengapalan hasil tambang (ore) dengan nilai miliaran rupiah, namun hasil tambang itu tidak juga bisa ‘menetes’ ke warga desa. Sebaliknya hasil sebagian besar menetes ke oknum-oknum.
Meski demikian perusahaan memberikan pengakuan berbeda. Beberapa pihak perusahaan mengaku dalam menjalankan operasi pertambangan semua kewajiban baik untuk masyarakat maupun daerah sudah dijalankan berdasarkan peraturan yang ada. Salah satu contoh perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Laeya, telah membangun saluran air bersih dan pemasangaan listrik gratis di dua desa yang menjadi area pertambangannya dinilai merupakan salah satu kontribusi yang memberikan nilai manfaaat yang cukup besar bagi masyarakat. Sedangkan kontribusi untuk daerah itu melalui pembayaran pajak. Terkait tenaga kerja perusahaan ini juga mengaku telah memperioritaskan warga di sekitar area pertambangan. Perusahaan ini juga telah melakukan reklamasasi dengan menanam pohon di atas lahan yang telah diolahnya.
Demikian halnya pengakuan pihak perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Palangga Selatan, Kabupaten Konsel. Hanya saja kontribusi bagi masyarakat setempat, perusahaan ini memiliki delapan desa binaan desa dengan memberikan bantuan sesuai kebutuhan masing-masing desa.
Melihat kondisi di lapangan memang sangat kontras antara keuntungan yang didapatkan sejumlah perusahaan dengan kondisi masyarakat yang hidup di area perusahaan tambang. Masyarakat pun hanya bisa mengeluh terhadap apa yang disisakan oleh perusahaan. Namun demikian ada juga beberapa warga yang merasa diuntungkan oleh hadirnya perusahaan tambang, namun keuntungan yang dirasakan karena bisa menjadi karyawan perusahaan tambang. Sangat sedikit karyawan local yang mengetahui kewajiban lain perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di sekitar areal pertambangan. Keterbatasan pengetahuan masyarakat dan sedikitnya informasi membuat sebagain karyawan tak ambil pusing, termasuk tidak perduli akan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan itu sendiri.
Parahnya lagi, tidak jarang pula ada oknum pemerintah justru menikmati keuntungan dari ketidak tahuan masyarakat dengan mengantongi sendiri uang atau bantuan yang mestinya menjadi hak masyarakat. Salah satu perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Konsel, namun merahasiakan identitasnya, mengaku, tidak mau tahu lagi soal kewajibannya terhadap masyarakat karena semua sudah diserahkan ke pemerintah setempat. Atas keinginan pemerintah sendiri perusahaan menyerahkan dana untuk program CSR dan Komdev . Perusahaan mempercayakan untuk dikelola pemerintah agar memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar areal perusahaan tambang itu beroperasi.
Inilah yang menimpa masyarakat Desa Wanuakongga yang daerahnya di kelilingi perusaan tambang, tapi perusahaan baru memberikan bantuan pemasangan jaringan listrik. Kondisi yang menyisahkan kekecewaan warga setempat dan tidak lagi mengharapkan perusahaan pertambangan kembali hadir pasca pemberlakuan Undang Undang Minerba.
Demikian halnya yang dirasakan, Munarfa, salah satu warga Desa Wonua Kongga yang pernah ditolak bekerja oleh perusahaaan salah satu perusahaan yang beroperasi di desa itu. Mewakili warga lain yang juga bernasib sama dengannya ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap perusahaan yang tidak memprioritaskan warga setempat untuk dijadikan tenaga kerja. Terlebih lagi kaum perempuan di desa ini tak satupun yang menjadi karyawan perusahaan tambang.
Apa yang dialami warga tersebut, bisa jadi karena kelalaian perusahaan atau bisa jadi perusahaan sudah membayar sejumlah dana atau bantuan ke pemerintah untuk disalurkan ke masyarakat, tapi itu tidak dilakukan oleh pemerintah.
Hasil survey LSM YPSHK juga menyebutkan sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Konsel banyak yang melanggar aturan namun sama sekali tidak ada sanksi dari pemerintah. Utamanya terkait pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan masyarakat di sekitar areal perusahaan.
Dengan demikian sangat jelas pula tidak adanya tanggung jawab dari pemerintah, yang mestinya memberikan perlindungan ataupun berpihak kepada masyarakat . Padahal aktifitas perusahaan perlu mendapat pembinaan dan pengawasan baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga tepat pada sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut pemerintahpun telah mengeluarkan PP No.55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal Pasal 13 ayat 2, Pasal 16 huruf k&m, Pasal 31 dan 32 UU No.55/2010 menjelaskan tentang pengawasan dan pembinaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya kurang dari kebutuhan yang diperlukan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Dalam prakteknya, pengukuran dilakukan antara lain berdasarkan kecukupan pengeluaran konsumsi makanan dan non makanan. Sifat kompleks dan multidimensional kemiskinan tentunya menuntut kebijakan dan strategi penanggulangannya berlingkup lintas sektor dan terintegrasi dalam arus utama model pembangunan, misalnya melalui program-program perluasan kesempatan kerja produktif, pemberdayaan manusia dan kemudahan untuk mengakses berbagai peluang sosial ekonomi yang ada.
Sayangnya, Pemda Konsel baru belakangan menyadari dampak yang ditimbulkan perusahaan tambang itu telah menyisahkan luka di tengah masyarakat. Akan tetapi Pemda juga tidak mau disalahkan akibat dampak tersebut. Mereka bahkan mengklaim sudah melaksanakan tanggung jawab dan melakukan pengawasan yang baik, namun tak menampik ada beberapa perusahaan yang membandel dengan tidak memenuhi kewajibannya untuk masayarakat ataupun daerah.
Pemerintah berdalih masih memiliki perhatian setelah melihat dampak yang dialami masyarakat saat ini dengan mengalokasikan anggaran bantuan untuk masyarakat yang terkena dampak pertambangan. Kepala dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Konsel, Sahlul, mengatakan bantuan tersebut berupa kebutuhan nelayan dan pertanian yang diharapkan dapat mendorong perekonomian masyarakat secara berkelanjutan.
Berebut Air
Tak hanya di Desa Wonuakongga yang resah. Warga di desa Torobulu pun mengalami nasib serupa. Banyak warga hanya melihat dan mendengar masuknya perusahaan tapi mereka sama sekali tidak memperoleh manfaat. Bahkan, sumber-sumber kehidupan seperti mata air yang selama ini menjadi tempat masyarakat mengambil untuk kebutuhan minum telah dikuasai oleh perusahaan. Tetesan air ini bahkan dijaga ketat oleh security dan preman tambang.
Mata air itu terletak di sisi barat desa Torobulu. Namun IUP tambang yang diterbitkan bupati telah mencaplok hak warga atas mata air tersebut. “Kami telah berkali-kali mengadu ke pemerintah kecamatan untuk dijembatani, tapi tidak ada tanggapan. Mungkin mereka sengaja mau membunuh hidup kami,”kata seorang warga desa torobulu yang tidak mau disebutkan identitasnya.
Menjawab kebutuhan masyarakat perusahaan PT Billy yang kini mengelola eks lahan PT Inco itu memberikan jalan dengan membangun jaringan pipa air tanah ke rumah-rumah warga. Tapi, sayang debit air yang kecil tak menjangkau perumahan penduduk. “Itu pipa hanya dipasang, tapi tidak ada air yang mengalir,”tambah warga.
Kebutuhan akan air sangat tinggi bagi masyarakat pesisir, hilangnya sumber air bersih, tentu saja menambah beban masyarakat dan terpaksa warga harus membeli lagi air besih melalui pedagang air dengan harga tinggi.
Praktik penguasaan sumber air juga pernah dilakukan peruaahaan tambang di pulau kabaena, Kabupaten Bombana. Sekitar 350 Kepala Keluarga di Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan kehilangan sumber air bersih. Kehadiran perusahaan mengolah tambang nikel membuat sumber mata air di Manapulu tergerus dan tidak bisa diakses warga. Padahal menurut warga setempat, sumber mata air yang berada di Manapulu merupakan satu-satunya sumber air warga disekitar Kecamatan Kabaena Selatan. Sumber air tidak bisa lagi dimanfaatkan dan ditutup pihak perusahaan dengan alasan lokasi Manapulu merupakan kawasan Izin Usaha Pertambangan Nikel PT Anugrah Harisma Baraka. Warga kerap kali diancam dan diperiksa jika berusaha masuk mengambil air di Manapulu. Setiap hari petugas yang dibayar oleh perusahaan selalu berjaga-jaga di Manapulu untuk mengawasi jika ada warga yang mengambil air. Warga semakin takut mengambil air di Manapulu karena jika melawan warga diancam ditembak dan itu sudah pernah terjadi.
Terjadi persaingan antara kebutuhan air domestik, baik untuk rumah tangga dan industri dengan air untuk pertanian. Karena industri tambang lebih terorganisir dan dekat dengan Pemerintah, mereka dengan bebas menyadap air dari sumbernya yang selama ini dipakai petani. Lebih-lebih dengan pengertian air minum merupakan prioritas pertama. Prioritas yang sebenarnya harus diperlakukan hanya bila ada beberapa permintaan yang bersamaan maka permintaan untuk air minum yang didahulukan itupun juka air di sumbernya masih ada sisa yang tidak dibutuhkan bagi pengguna yang sudah ada.
Bahkan beberapa peraturan yang mendukung adanya swastanisasi air ternmaktub jelas dalam Pasal 45 UU No.7 yang berbunyi: ayait (1) pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup, ayat (2) pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah, ayat (3) pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, tidak mengemukakan kewajiban yang yang harus dipikul oleh mereka. Hal ini juga bertentangan dengan kepemilikan air yang berada di sumbernya yaitu merupakan hak publik. Hanya sisa air yang tidak digunakan oleh pengguna yang yang sudah ada, biasanya air banjir yang dapat ditampung oleh suatu badan usaha yang kemudian dapat mereka usahakan.
Hilangnya sumber air juga dirasakan warga di dua kecamatan wilayah Konawe Selatan yakni Kecamatan Palangga Selatan hingga dan Kecamatan Tinanggea mengeluhkan terjadinya krisis air di daerah mereka. Saat ini mereka harus mengambil air di tetangga desa akibat sumur mereka mengering. Meski ada air yang mengalir, kualitasnya telah berubah keruh. “Ini sejak ada tambang warna air telah berubah keruh,”kata Kurani, warga setempat. Warga juga terpaksa harus mencari mata air jauhnya dari pemukiman mereka.
Sedikitnya lima pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di dua kecamatan, dianggap biang kerok terjadinya krisis air di daerah tersebut. Kelima pemegang IUP ini dituding telah melakukan aktivitas pertambangan dengan menggunduli hutan, sehingga mematikan sumber air (sungai dan sumur) warga yang berada di dekat lokasi tambang.
Kinerja intansi teknis seperti Bapedalda, Kehutanan dan Pertambangan menjadi sorotan karena dianggap tidak melakukan pengawasan terhadap aktivitas tambang di lokasi tersebut. Pemerintah dinilai tidak peduli dengan masalah ini. Padahal warga sudah kesulitan mendapatkan air bersih.
Pemerintah dan DPRD Konsel pun diminta segera bersikap tegas terhadap aktivitas pertambang di wilayah itu yang dianggap telah menyengsarakan warga yang bermukim di dekat lokasi tambang. Masalah ini jangan dibiarkan, sehingga warga makin sengsara. Seharusnya warga yang tinggal di dekat lokasi tambang bisa sejahtera, namun ini sebaliknya, mereka masih saja sengsara, bahkan kompensasi yang diberikan perusahaan justru tidak sesuai dengan harapan.
Dalam catatan organisasi lingkungan, bumi anoa merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Hal itupun membuat investor dari dalam maupun luar negeri tertarik datang ke Sultra untuk membuka usaha pertambangan dan mayoritas dari mereka membuka usaha pertambangan nikel. Pasca dibukanya kran investasi tercatat jumlah investor mencapai 498 investor.
Dengan bermodalkan izin pemerintah, para investor yang datang ke Sultra ini telah mengambil keuntungan besar dari kekayaan alam yang ada sementara banyak masyarakat Sultra justru merasakan banyak kerugian. Utamanya masyarakat yang berdomisili di sekitar areal perusahaan pertambangan, tidak sedikit yang harus kehilangan hak-haknya. Banyak yang harus pasrah melihat lahan warisan nenek moyang mereka dikuasai perusahaan tanpa mendapatkan ganti rugi atau konpensasi. Tidak sedikit pula masyarakat hanya bisa jadi penonton ketika mereka tidak diterima bekerja oleh perusahaan yang beroperasi di daerahnya.
Sejarah tambang di Konawe Selatan bukan terbilang baru. Sejak era 1990-an perusahaan tambang sekelas PT INCO dan PT Antam telah melakukan eksplorasi di kawasan Torobulu yang diperkirakan memiliki deposit jutaan ton ore nikel. Namun baru tahun 2008, seiring maraknya pertambangan di Sultra, kandungan bumi Konsel turut di eksploitasi. Setidaknya ada 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah Daerah (Pemda) Konsel dari sekitar 40 IUP yang diajukan, dan hamper seluruh lokasi IUP menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat, akibat pihak perusahaan enggan membayarkan ganti rugi lahan milik warga.
Di tahun 2011, perlawanan masyarakat Palangga dan Tinanggea yang memprotes kehadiran tambang menjadi topik paling hangat di media massa local kala itu. Sebagai contoh, masyarakat melakukan perlawanan pada perusahaan PT Ifishdeco, sebuah perusahaan yang 15 tahun menguasai tanah-tanah leluhur masyarakat lalonggasu.
Sejarah panjang dari perlawanan masyarakat yang menganggap tanah-tanah yang dikuasai perusahaan tersebut adalah tanah adat yang telah turun temurun dijaga dan dirawat masyarakat. Namun tirani kekuasaan merebut hak-hak masyarakat di sana. Perlawanan melebar hingga ke pelosok-pelosok kampung di Palangga dan Palangga Selatan.
Konflik tambang ini memang terbilang rumit. Dulunya sebagian besar tanah di Palangga hanya lahan kosong yang dipakai untuk berkebun dan menggembala ternak oleh beberapa rumpun keluarga termasuk rumpun Polingai. Tanah yang tandus sulit ditumbuhi pepohonan produktif, membuat warga tak betah. Mereka memilih berdiam ke tempat-tempat strategis, yang kemudian membentuk koloni pemukiman di pinggiran jalan induk kini. Warga tak pernah tau jika tanah moyang mereka menyimpan ‘harta karun’ besar berupa ore nikel.
Barulah sejak booming tambang di wilayah mereka, rumpun keluarga polingai mulai menggugat atas dasar klaim kepemilikan tanah leluhur.
Perusahaan mengklaim sudah mengakomodir seluruh rumpun keluarga di wilayah konsesinya, termasuk Tujuh rumpun keluarga Polingai.
Kini pasca pemberlakuan Undang Undang Minerba, sebagian besar investor pertambangan menghentikan aktifitas perusahaannya. Bahkan beberapa perusahaan telah angkat kaki tanpa memenuhi kewajibannya untuk masyarakat maupun daerah. Kalaupun ada yang memenuhi kewajibannya paling hanya satu atau dua perusahaan saja. Hal ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam pasal 15 huruf b Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , dimana perusahaan berkewajiban memberikan kontribusinya bagi pengembangan daerah dan masyarakat lokal untuk terciptanya pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kemandirian masyarakat melalui program wajib yang disebut CSR dan Comdev..***