Wakatobi, suarakendari.com-Penyu memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem perairan laut, dimana penyu yang memakan pucuk lamun dapat membersihkan sedimen sehingga habitat lamun dan terumbu karang tetap terjaga. Selain itu, penyu juga mengendalikan ledakan ubur-ubur serta mengonsumsi berbagai jenis spons laut yang dapat mengontrol komposisi dan distribusi organisme itu yang dapat mengancam ekosistem terumbu karang. Karena itulah perlu unyik terus menjaga dan melindungi keberadaan penyu
Namun, praktek perburuan liar penyu di Indonesia masih terus terjadi hingga kini untuk diperjualbelikan di pasar gelap. Membuat banyak pihak merasa prihatin dan menaruh perhatian untuk menjaga habitat penyu. Inilah yang dilakukan Masyarakat Desa Runduma Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Desa berpenduduk sekitar 200 lebih jiwa patutlah dijadikan teladan oleh masyarakat desa lainnya. Dimana sudah kurang lebih tiga dekade, desa yang berada di tengah Laut Banda ini, sejak 14 Desember 2005 silam telah menjalankan Peraturan Desa (Perdes) menyangkut pengelolaan laut yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Perdes itu, mungkin saja menempatkan Desa Runduma sebagai satu-satunya desa di Sultra yang memiliki Perdes. Dalam Perdes itu dimuat larangan pengambilan telur penyu baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk
diperjual-belikan.
Dimana sebelumnya masyarakat desa ini selalu memanfaatkan telur penyu sebagai tambahan penghasilan mereka. Di pulau Runduma dan Anano setiap bulan purnama tiba selalu di kunjungi oleh sejumlah penyu untuk bertelur.
Anano adalah salah satu pulau tak berpenghuni, yang memiliki hamparan pasir putih dan terbentang luas. Pulau ini sudah sejak lama dikenal sebagai lokasi
pendaratan penyu. Letaknya berdekatan dengan Pulau Runduma.
Seringnya warga mengambil telur penyu berakibat pada menurunnya frekwensi pendaratan penyu untuk bertelur di dua pulau kecil ini. Hal ini menyadarkan masyarakat tempat itu untuk tidak lagi mengambil telur penyu yang diatur dalam bentuk kesepakatan bersama. Kesadaran itudidorong dengan pemberian pemahaman dari pihak Balai Taman Nasional Kepuluauan Wakatobi (BTNKW) dan
TNC-WWF. Dua lembaga ini rutin melakukan kunjungan di daerah itu, untuk mengontrol pendaratan penyu.
Gambu warga Runduma menuturkan bahwa di Runduma sarana dan prasarana masih serba terbatas. Namun sejumlah keterbatasan itu tak mematahkan semangat warganya untuk menjaga penyu agar tetap lestari.”Dulu
telur penyu masih sering diambil untuk dijual, tapi sekarang tidak lagi,” katanya.
Dalam Perdes itu, kata dia bila ada warga yang kedapatan mengambil telur penyu maka akan dikenakan denda administrasi. Tidak tanggung-tanggung, untuk 1 sarang penyu dibebankan sebesar Rp 1,5 juta. Denda ini dimasukkan sebagai kas desa. Tidak hanya itu, si pelaku masih harus berurusan dengan pihak yang
berwajib untuk diproses secara hukum.
Masalah yang sering dihadapi warga di tempat ini yakni terkadang ada warga dari luar Runduma yang mengambil telur penyu. Dengan peralatan kapal yang lebih canggih sering merepotkan dermaga pantai dan terkadang tak mampu menghalau hal itu. Pasalnya para penjaga pantai ini masih menggunakan sampan
tradisional.
Diungkapkannya, untuk menggantikan kas desa yang tadinya bersumber dari telur penyu, kini dialihkan dengan cara memungut 5% dari total penghasilan warga setiap bulannya. Hal itu disepakati dan ditunaikan dengan tela oleh warga, karena sadar akan kebutuhan bersama mereka.
Hasil monitoring yang dilakukan oleh Officer dari TNC-WWF diketahui bahwa dengan adanya peraturan yang melarang pengambilan penyu, maka frekwensi pendaratan penyu untuk bertelur di pulau Runduma dan Anano
mengalami peningkatan. **