Enam puluh Delapan tahun silam mereka hadir sebagai saudagar beras, gula.
Oleh kebijakan distrik pada saat itu, mereka dibukakan satu desa khusus.
Kini mereka 75 persen bekerja sebagai nelayan.
HARI menjelang sore, Burhan (49 tahun) nampak sibuk menghampar ikan di pinggir jalan desa yang tak seberapa luas. Ikan-ikan ini baru saja turun dari perahu sehingga nampak segar. Orang di kampong menyebutnya ikan sori, mungkin karena bentuk mulut ikan yang panjang.
Burhan langsung menyimpan ke dalam baskom yang sudah dia siapkan sebelumnya, selanjutnya dijual ke warga sekitar dan warga di desa-desa tetangga.
Desa Lamongupa berbeda dengan desa-desa lainnya di pulau wawonii, dimana penduduk Desa Lamongupa justeru menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Hal ini lebih didukung oleh kondisi desa yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pesisir.
Sedangkan di bidang pertanian, hanya dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat di desa ini, dan hanya dianggap sebagai kegiatan sampingan bagi mereka. Ikan hasil tangkapan biasanya di pasarkan oleh ibu-ibu ke desa-desa tengga hingga ke wilayah Kecamatan Wawonii Selatan.
Sukardin – Tokoh Adat – memaparkan bahwa Desa Lamongupa menyediakan suplay ikan bagi desa-desa tentangga di Wawonii Tengah, termasuk Wawonii Selatan.”Boleh dibilang desa ini adalah penghasil ikan,”katanya.
Menurutnya, ada beberapa kendala yang kerap dihadapi oleh para nelayan di Desa Lamungupa, yakni belum tersedianya energi listrik di desa ini. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan terlebih jika ikan-ikan tersebut sudah tertangkap beberapa jam.
Nama Lamongupa berasal dari dua suku kata yaitu Laa = sungai/kali (bahasa Wawonii) dan Mongupa = jambu/manggopa. Karena di sekitar wilayah Lamongupa saat itu terdapat kali besar yang hanya ditumbuhi oleh satu tanaman mongupa.
Desa ini merupakan wilayah pesisir pantai yang dihuni oleh sebagian besar para perantau Bugis – Bone. Proses diaspora suku Bugis di desa ini terjadi sekitar tahun 1947.
Pada awal kehadirannya di Wawonii, mereka hadir sebagai pedagang menjual gula, beras dan lain-lain.
Karena mereka merasa cocok dan terjalin hubungan baik dengan masyarakat Wawonii pada saat itu, maka mereka memilih tinggal. Oleh kepala distrik Wawonii saat itu, mereka kemudian diberikan izin untuk tinggal di Desa Lamongupa.
Pada tahun 1957, Lamongupa yang masih merupakan salah satu dusun di Desa Lampeapi ditetapkan menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Wawonii yang pada saat itu camat pertama dijabat oleh Bapak Lasikende dan berkembang hingga kini.
Total jumlah penduduk Desa Lamongupa adalah sebanyak 68 KK (Kepala Keluarga), sebagian besar di dominasi oleh suku Bugis – Bone, kemudian Suku Tolaki/Wawonii dan sebagian kecil suku Buton. Seratus persen warganya beragama Islam.
Keberadaan Desa Lamongupa juga memiliki pertautan sejarah perjalanan pendidikan di Sulawesi Tenggara. Sukardin – tokoh adat Lamongupa mengaku, bahwa DDI (madrasah ibtidaiyah tempo dulu) pertama di Sulawesi Tenggara berada di desa Lamongupa.
Selanjutnya pada tahun 1997 Desa Lamongupa dimekarkan menjadi sebuah desa. Sampai tahun ini, telah terjadi 3 kali pergantian kepala desa dan kepala desa yang ketiga bernama Abdul Rasyid.
Hak kepemilikan atas tanah di desa ini ditentukan oleh usaha di atas tanah warisan yang telah berlangsung secara turun temurun. Sayangnya hingg kini belum ada Program Nasional (Prona) sertifikasi lahan di desa ini. Ini juga menjadi kekhawatiran warga menyusul mekarnya wawonii sebagai daerah otonomi baru. Terlebih jika melihat fakta sumber daya alam desa yang konon terdapat potensi sumber daya mineral di sana.
Informasi yang diperoleh dari beberapa informan, disebutkan bahwa di desa ini terdapat 3 jenis sumber daya mineral, yaitu Chrome, Besi dan Pasir Kuarsa.
Sekitar tahun 2007, bahkan, pihak perusahaan tambang telah melakukan eksplorasi terhadap jenis-jenis sumber daya tersebut. Tetapi oleh masyarakat setempat, aktivitas ini di tolak dan akhirnya berhenti atas desakan masyarakat.
Penulis & Foto: Firman