Konkep, suarakendari.com– Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memberikan rekomendasi terkait revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Sultra.
Keputusan final dari hasil pansus tersebut masih panjang. Semua pihak diminta bersabar untuk tidak terburu-buru memberikan berbagai statement terkait keputusan Pansus tersebut. Demikian disampaikan Safiuddin Alibas, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).
“Masyarakat tidak usah resah. Mari kita menghargai proses revisi RTRW yang sedang berjalan. (Hasil) Pansus kemarin, memberikan rekomendasi persetujuan baik secara materil dan teknis terkait tata ruang provinsi. Prosesnya masih panjang, belum final,” demikian ungkap dia kepada awak media pada Selasa (5/8/2023).
Lebih lanjut dia menjelaskan, terkait tahapan yang harus dilalui pasca keluarnya keputusan Pansus tersebut. Hasil Pansus itu menjadi salah satu kelengkapan Perda RTRW Provinsi yang harus dikirim ke Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), untuk dibahas lintas sektoral.
Pembahasan lintas sektoral tersebut, melibatkan beberapa kementrian seperti Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementrian Pertanian, Kementrian Pariwisata, Kementrian ESDM, Kementrian Kelautan, Kementrian Perhubungan, Kementrian Investasi, Bappenas bahkan Kementrian Pertahanan.
Keterlibatan lintas sektoral untuk memastikan bahwa rencana rancangan RTRW itu, sudah sesuai dengan arahan rencana tata ruang nasional. Kemudian juga untuk memastikan beberapa kepentingan kementrian, terkait dengan beberapa Kawasan Strategis Nasional (KSN) maupun prioritas nasional, sudah terakomodir di dalam rencana tata ruang provinsi termasuk juga rencana tata ruang kabupaten.
“Pembahasannya, berhari-hari. Setelah dibahas dan disetujui, hasilnya dikembalikan ke provinsi untuk diperbaiki. Perbaikan di provinsipun, memakan waktu yang tidak cepat, bisa berbulan-bulan. Setelah selesai dan disetujui, kemudian keluar persetujuan substansi,” terang dia lagi.
Persetujuan substansi tersebut, menjadi acuan dan tolak ukur bahwa sudah terjadi harmonisasi antara rencana tata ruang provinsi dan rencana tata ruang nasional. Kemudian dibahas di DPRD Povinsi dan disepakati atau ditetapkan Rancangan Peraturan daerah. Setelahnya, dikirim ke Direktorat Jenderal Daerah atau Bangda, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dibahas lagi. Kemudian dilakukan harmonisasi oleh Biro Hukum Kemendagri, untuk mendapatkan nomor registrasi dan ditetapkan menjadi Perda.
“Prosesnya masih panjang. Tidak bisa semudah membalikan telapak tangan. Ada proses yang harus dilalui sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan,” ungkap dia.
Karenanya, dia meminta kepada semua pihak harus menahan diri dan tidak mudah memberikan berbagai macam pernyataan. Kewenangan untuk memberikan pernyataan adalah pihak provinsi. Pihak kabupaten hanya meminta kepada masyarakat untuk tetap tenang, tidak terpancing berbagai isu yang berkembang dan tidak mendasar.
“Mari kita hargai dan hormati proses-proses yang sedang berjalan. Apapun keputusannya, pemerintah akan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar,” tegas dia.
Kemudian terkait Keputusan Mahkamah Agung (MA) baik tentang Kawasan Pertambangan maupun terkait IPPKH, menurut dia, dua keputusan Mahkamah tersebut, secara tegas menyebutkan untuk melakukan revisi pada pasal-pasal tertentu, bukan membatalkan RTRW. Dalam melakukan revisi, harus merujuk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Penataan Ruang dan Permen ATR nomor 11 tahun 2021, dimana dalam beleid tersebut disebutkan bahwa revisi tata ruang dilakukan setiap lima tahun sekali.
“Terkait keputusan MA untuk melakukan revisi juga diatur dalam ketentuan khusus, maka revisi RTRW Kabupaten akan tetap dilakukan. Tetapi semuanya berproses. Untuk revisi RTRW, jika mengacu pada PP 21 tahun 2021, maka membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 18 bulan,” imbuhnya.
Dan lagi-lagi, dia meminta kepada masyarakat untuk menghargai proses dalam melakukan revisi tersebut yang memang memakan waktu yang tidak singkat, karena harus ada keterkaitan antara RTRW Kabupaten, Provinsi dan juga Nasional termasuk juga kepentingan dan keterkaitan antar kementrian.
Saifuddin Alibas juga mengomentari soal desakan kepada Pemda Konkep untuk mencabut IUP PT Gema Kreasi Perdana (GKP), dia mengatakan, Pemda Konkep tidak memiliki kewenangan untuk mencabut IUP.
Terlebih lagi IUP yang berada di Konkep, merupakan ijin pertambangan yang sudah ada sebelum Kabupaten Konawe Kepulauan mekar dan sudah ada sebelum lahirnya RTRW Kabupaten.
“Pemda hanya menerima laporan, melakukan pengawasan lingkungan, pengendalian dan pelaporan. Kita tidak punya kewenangan untuk menghentikan,” kata dia.
Kewenangan Pemda terkait IUP, yakni jika terjadi pelanggaran lingkungan, maka akan melakukan pelaporan atau rekomendasi untuk penghentian kegiatan. Untuk usulan penghentian IUP Tambang pun, harus melalui kajian yang mendalam dan komprehensif, dengan mempertimbangkan banyak aspek. Misalkan apakah kerusakan tersebut, murni disebabkan oleh aktivitas pertambangan atau ada factor lain. Atau apakah aktivitas pertambangan tersebut, merubah biota atau struktur ekosistem dan sebagainya.
Kajian dan mendalam serta holistik menjadi sebuah keharusan. Apalagi, dengan kehadiran industri pertambangan, terjadi multiplier effect yang cukup besar. Serapan tenaga lokal, perekonomian yang terus bertumbuh di sekitar lokasi tambang dan banyak lagi pertimbangan lainnya.
“Semua aspek, harus menjadi bagian dari pertimbangan dalam merekomendasikan penghentian aktivitas usaha pertambangan. Tidak serta merta,” demikian pungkas dia. Ys