Pria parobaya itu punya cara mengesankan untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak gentar menghadapi para pelaku pemboman ikan di kampungnya. Dia terus berbicara di tengah-tengah puluhan nelayan yang ikut kegiatan sosialisasi kelautan yang digelar Dinas Kelautan dan perikanan Konawe Selatan. Ia mengangkat tangan kanannya, menunjuk laut yang letaknya tepat di depan desa Wawatu, Kecamatan Moramo Barat, Kabupaten Konawe Selatan.
“Bom ikan telah merusak terumbu karang di sana,” kata Jufri.
Lima belas tahun silam, Jufri masih menyandang gelar pelaku pemboman ikan di desanya. Bertugas sebagai eksekutor bom ikan diperairan Moramo Utara dan sekitarnya. Ia mengaku kerap melihat korban bom ikan dan mengalami cacat total. “Tak ada gunanya membom ikan karena merugikan diri sendiri dan semua nelayan,”katanya.
Ia juga menyaksikan anak istri korban bom ikan yang terpaksa harus mencari nafkah sendiri diperairan “Saya sedih melihat mereka berjuang hidup sendiri,”kenang Jufri. Dari kejadian itu, Jufri menaruh trauma yang mendalam dan bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Bahkan pria parobaya itu mempelopori pembasmian pemboman ikan di desanya.
Jufri tak segan mengejar para pelaku hingga ke jauh dari perairan desa. Karena ketatnya pengawasan yang Ia lakukan, Jufri bahkan dicap sebagai ‘orang gila’ urusan. Tapi Syamsudin tak peduli. Ia terus mengawasi hingga beberapa kali harus adu mulut dengan para pelaku. “Saya hanya memberi tahu mereka jika membom ikan akan merugikan banyak orang, termasuk pelaku sendiri. Mau sadar atau tidak itu terserah mereka,”ujarnya.
Pria beranak tiga ini pun mengklaim pelaku pemboman ikan di desanya sudah habis. Perairan laut bebas pemboman ikan berhasil diprotek sejauh satu mil laut dari desanya.
Pertemuan Jufri dengan petugas Dinas Kelautan Konawe Selatan pada Desember 2009 seolah mengubah segalanya di perairan wawatu, sekaligus menjadi awal berubahnya perilaku Jufri menjadi “Coast Guard”.
“Saat itu tim survey wilayah pesisir mampir ke rumah Jufri sang nelayan yang berada di sekitar pantai. Disinilah awal mula perubahan terjadi, jufri sang nelayan mengutarakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh nelayan pesisir yang berada di desanya dalam menghidupi keluarga. Tim survey pun setelah melihat kondisi wilayah perairan memberikan saran kepada jufri sang nelayan agar membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmawas),”kata Adam Azhar, petugas DKP Konawe Selatan.
Pokmaswas Samaturu yang terbentuk diketuai oleh Jufri mulai melakukan pengawasan dan membuat Daerah Perlindungan Laut (DPL) di sekitar perairan Pulau Lara tempat nelayan-nelayan destructive fishing melakukan pemboman ikan.
Agar nelayan atau anggota Pokmaswas Samaturu dapat menjalankan operasinya maka mulailah di kelola Pulau Lara sebagai daerah ekowisata. Pulau Lara yang tadinya kotor dengan sampah-sampah masyarakat pesisir mulai dibersihkan oleh anggota Pokmaswas Samaturu. Semakin lama pengunjung mulai berdatangan, pundi-pundi dana Pokmaswas Samaturu pun mulai ada dalam menjaga (DPL) di sekitar perairan Pulau Lara. Pundi-pundi dana ini berasal dari sumbangan nelayan Desa Wawatu sebesar Rp. 10.000 per satu kali mengantar wisatawan maupun mahasiswa dalam penelitian.
Dengan adanya ekowisata Pulau Lara perekonomian Desa Wawatu mulai bergejolak naik ada yang menjadi tukang parkir, kios hingga penyewaan perahu. Sehingga tugas dalam melindungi Daerah Perlindungan Laut (DPL) di sekitar perairan Pulau Lara tidak memata-mata tanggung jawab anggota Pokmaswas Samaturu tapi hampir sebagian besar masyarakat Desa Wawatu. Nelayan pun dalam menangkap ikan tidak terlalu jauh disekitar daerah pemanfaatan DPL Pulau Lara karena ikan-ikan mulai banyak di daerah transplansi karang (pembiakan karang) yang dilakukan para mahasiswa. Pada November 2012, Jufri telah tersenyum dengan melakukan hal kecil (membentuk Pokmaswas) tetapi memberi efek perubahan sungguh besar bagi masyarakat dan ilmu penelitian.
Nasib Suram Terumbu Karang
Realitas suram yang menaungi kehidupan nelayan di hampir seluruh perairan laut negeri Konawe Selatan kini—yang hampir 90 persen penduduk perairan bekerja sebagai nelayan–.adalah perekonomian mereka digerakkan oleh sumber pencaharian satu-satunya di lautan, dan dilakoni oleh dua sumber yang saling bertentangan, yakni mencari ikan dengan cara alami dan cara pintas.
Beragam cara alami, dari memancing, menjaring hingga membangun rumah bagang. Kegiatan ini dianggap ruwet, serta memakan waktu berhari bahkan beringgu-minggu di lautan. Inilah yang membuat sebagian nelayan frustasi, belum lagi minimnya peralatan tangkap membuat mereka mengambil jalan pintas dengan cara membom ikan.
Baru belakangan pemerintah menyadari situasi nyata yang dihadapi, agar lingkungan pesisir terutama terumbu karang dan perekonomian nelayan membaik, ketergantungan pada jalan pintas itu mau tak mau harus dihentikan.Namun mencerabut pola pikir masyarakat pesisir soal pemboman ikan bukanlah perkara gampang.
Di Desa Wawatu, Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan tampaknya memperoleh kemajuan dalam upaya menurunkan laju frekuensi pemboman ikan. Enam tahun silam, desa ini masuk dalam satu dari banyak lokasi pemboman ikan terparah di Kabupaten Konsel setelah wilayah Kecamatan Moramo dan Tinanggea.
Setelah pemerintah Kabupaten Konawe Selatan mengintensifkan pengawasan perairan laut dari aktifitas illegal fishing, para pelaku semakin berhati-hati melancarkan operasi hitam mereka. Pasokan bahan baku bom seperti pupuk dibeli di di kota dan diracik menjadi bom secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah penduduk. Para pelaku sangat alergi dengan warga baru, dan mudah mencurigai orang lain.
Mereka juga terkadang memasang mata-mata terutama anak-anak untuk memantau kehadiran petugas. Kegiatan pemboman pun beralih saat sore menjelang pagi hari. Gerakan rapi dan tersistematis ini membuat aktifitas mereka sulit terdeteksi. Daerah terpencil seperti perairan laut desa Wawatu menjadi sasaran empuk. Selain perairannya sedikit dangkal, juga karena posisi desa berada di semanjung Moramo. Jadilah aktifitas illegal mereka jauh dari pantauan aparat.
Dapat dibayangkan akibat yang ditimbulkan dari aktifitas pemboman ikan ini. Diperkirakan 90 persen terumbu karangnya telah hancur dan berdampak besar semakin berkurangnya pasokan ikan di laut Wiawia. Tak hanya terumbu karang yang musnah, panen rumput laut para nelayan juga ikut menuai getah. Bom ikan yang menggunakan bahan sianida mencemari lautan dan memiliki efek negative bagi pertumbuhan rumput laut.
“Aktifitas pemboman ikan harus dihentikan, karena kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Tak hanya bagi lingkungan terumbu karang yang hancur, tetapi, juga merugikan petani rumput laut kita,”ujar Muhammad Ernanto Tawulo, SPTp, MSi, Kepala Bidang Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Konawe Selatan, geram.
Ketika, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Konawe Selatan mengumumkan ‘perang’ terhadap para pelaku pemboman ikan, para pelaku pemboman ikan di wilayah Moramo dan Moramo Utara bahkan memimpin rating pemboman ikan tertinggi, setidaknya terdapat lebi dari tiga puluhan pembom ikan aktif di wilayah itu. Beberapa dari mereka berkali-kali harus berurusan dengan aparat penegak hukum, namun tetap saja tak jera. Namun, pola pendekatan pun diubah dari devensif ke pola pemberdayaan. Dua tahun belakangan para pelaku perlahan mulai menyusut, setidaknya setengah dari pelaku kini beralih menjadi nelayan budidaya ikan kurapu dengan membentuk unit kelompok kerja.
Data Tim Pengawasan Perikanan Sulawesi Tenggara (Sultra) mengungkap, status terumbu karang di Sultra dari sebarannya hampir di seluruh perairan laut Sultra, yaitu kurang lebih 68 lokasi telah teridentifikasi. Luas hamparan karang hidup tahun 1996 kurang lebih 5.146 ha (tutupan karang hidup 33,9 sampai 87,0 persen). Sedangkan di tahun 2005 kurang lebih 3.178 ha (turun 38,24 persen) sementara beberapa lokasi masuk site penyelaman terbaik dunia yaitu keragaman bio diversity tinggi misalnya Pulau Hoga dan Pulau Tomia.
Dari tingkat pemamfaatan terumbu karang yang paling banyak sebagai penangkapan ikan dan disusul wisata bahari serta budidaya laut. Ini data belum masuk secara keseluruhan dan diprediksi semakin parah ketika petugas DKP Sultra mengawasi terumbu karang.
Untuk tingkat pengrusakan terumbu karang pada posisi paling atas dimenangkan oleh bahan peledak dan kedua racun, sedangkan sedimentasi, iklim global, gempa bumi, jangkar limbah industri pada posisi paling rendah terjadi.
Dari pengawasan dan pengamatan selama di lapangan, penyebab kerusakan terumbu karang karena rendahnya tingkat pendidikan nelayan, rendahnya tingkat pendapatan nelayanan, sulitnya mencegah suplay bahan baku bahan peledak serta masyarakat membom sudah menjadi kebiasaan. Anehnya, aparat keamanan hanya bisa melihat dan tidak memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang sengaja merusak terumbu karang.
Rupanya kriminalitas khusus bom molotov yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan di Sulawesi Tenggara, cukup besar. Sesuai data kepolisian setempat, sejak 2006 hingga 2010 mencapai 131 kasus. Jumlah tersebut didapatkan hanya saat operasi bahan peledak (Handak) setiap tahun yang berlangsung selama sebulan.
Jika dalam setahun saja operasi Handak dilakukan sebulan maka sebelas bulan dalam setahunnya, entah barapa nelayan yang mengunakan bahan peledak yang bisa merusak biota-laut serta terumbu karang. Terhitung sejak 2006 sampai 2010 jumlah kasus khusus penguna bom ikan sebanyak 131 kasus dengan jumlah tersangka lebih dari 140 orang. Namun, sebagian dari tersangka hanya diberikan pembinaan karena berjanji tidak akan mengunakan lagi bom saat menangkap ikan di perairan Sultra.
Untuk tersangka yang terpaksa dilanjutkan ketahap persidangan karena para pelaku sudah lebih sekali kedapatan menyimpan bahan rakitan bom ikan tersebut. Pihak Polda Sultra setiap saat selalu menghimbau dan melakukan sosialisasi kepada warga nelayan di sepuluh kabupaten dan dua kota di Sultra, agar tidak mengunakan bahan yang bisa merusak kondisi laut khususnya ikan kecil dan terumbu-karang.
Pengakuan para pelaku atau pemilik bom molotov selalu beralasan jika mereka mengunakan bahan peledak agar lebih mudah mendapatkan ikan dalam waktu yang singkat. Pasalnya, pelaku sangat kesulitan menangkap ikan di laut karena jumlah ikan terlalu sulit untuk dipancing atau tangkap dengan mengunakan pukat.
Dalam sekali operasi, kapal-kapal ikan bisa mendapatkan ratusan ton ikan sementara para nelayan kecil hanya mendapatkan sisa-sisa tangkapan dari kapal tersebut. Inilah dilema, karena kapal-kapal dalam ukuran besar tidak mengunakan bom atau sejenisnya untuk menangkap ikan jadi sangat sulit untuk diberikan sanksi karena pelanggarannya tidak. Sedangkan nelayan kecil selalu mengunakan cara yang dilarang oleh undang-undang. Seharusnyalah pemerintah ini mengatur cara-cara penangkapan ikan bagi kapal besar.
Sekilas Tentang Bom Ikan
Bom ikan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pesisir untuk mencari ikan di laut. Alat tangkap ini digunakan sebagian orang hanya sebagai sampingan saja, karena bom ikan bukanlah alat tangkap utama yang selalu digunakan. Masih banyak jenis alat tangkap lainnya yang digunakan masyarakat Bajo seperti pasang sero (tannah bila) dan pasang bubu (tanah bubu). Sebenarnya masyarakat yang menggunakan alat peledak ini sangat tahu dampak dan resikonya, tapi itu tak terlalu menjadi pikiran karena hanya dengan cara seperti itu, mereka dapat terus melanjutkan hidup.
Sekitar tujuh 70 persen nelayan Suku Bajo memilih menggunakan alat peledak untuk menangkap ikan karena pilihan hidup. Pemerintah dianggap tidak pernah menghiraukan dan memperjuangkan hak-hak nelayan yang semestinya mereka dapatkan. Banyak hal yang telah berubah karena bergantinya zaman. Sudah banyak regenerasi Suku Bajo yang mulai melupakan alat peledak ini. Hal ini diakibatkan karena taraf pendidikan mereka sudah lebih tinggi dari generasi sebelumnya.
Misalnya: Generasi muda yang tidak pernah menyentuh pendidikan akan lebih mudah mengetahui tata cara perakitan dan penggunaan bom ikan, karena mereka sudah terbiasa melihatnya dari orang tua mereka. Tidak adanya aktivitas lain membuat generasi ini pun tidak punya pilihan lain selain mengikuti jejak orang tua mereka. Tapi saat ini telah berbeda, generasi muda sudah mulai mengenyam bangku pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Rutinitas sekolah setiap hari membuat anak-anak ini lebih fokus pada dunia sekolah, ketimbang ikut merakit bahan peledak ikan tersebut.
Seandainya generasi muda Suku Bajo saat ini difokuskan untuk selalu berhubungan dengan lembaga pendidikan, maka hal-hal yang dilarang seperti penggunaan alat peledak akan berkurang bahkan lenyap suatu masa nanti. Tapi itu hanyalah impian belaka yang dimiliki oleh para nelayan untuk anak-anak mereka. SK