Tumbuhan kolosua tumbuh subur, hamparannya hingga ke batas hutan desa Puuwulu di sisi Selatan. Tumbuh dalam koloni besar dalam hamparan lahan luas mirip padang ilalang dengan bentuk batang tumbuh tegak lurus. Tumbuhan liar ini telah lama termanfaatkan oleh warga setempat untuk bahan baku kerajinan handycraf berupa tikar alas.
Jauh sebelum puuwulu mekar, warga di sepanjang pesisir, seperti Batumea hingga ke kawasan Lampeapi menjadikan kolosua sebagai bahan membuat tikar, tas dan taplak. Warga membuat aneka kerajinan di saat musim panen jambu mete dan pala belum tiba, dan biasanya warga bekerja berkelompok. Hasil kerajinan ada yang digunakan sendiri serta ada pula yang dijual kepada warga di desa-desa lainnya.
Sebenarnya, desa yang terletak di pinggir pantai ini memiliki potensi sumber daya alam yang tak kalah dari daerah lain di Wawonii, yakni, mengandung tambang pasir kwarsa yang belum dijamah hingga kini. Luas areal diperkirakan mencapai puluhan hektar. Di atas hamparan pasir kwarsa, tumbuh padang kolosua tadi.
Namun meski dengan segala potensi alam yang dimiliki tak lantas membuat kehidupan di Puuwulu membaik. Kita dapat merasakan aroma kemiskinan dan kian terasa saat masuk jauh ke polosok pesisir Kecamatan Wawonii Tengah ini. Tercermin dari kehidupan sehari-hari warga, rumah-rumah penduduk terbangun seadanya. Hanya ada sedikit rumah berbahan semen, sisanya lebih banyak rumah berbahan ramuan kayu. Masjid Al Amin yang berdiri tepat di pinggir jalan desa kondisi bangunannya juga memprihatinkan. Bagian-bagian bangunan yang seluruhnya terbuat dari bahan ramuan kayu itu sudah mengalami pelapukan. Bahkan, tiang utama penyangga gedung sudah nyaris roboh.
Mengacu definisi penduduk miskin, maka desa Puuwulu dapat didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya kurang dari kebutuhan yang diperlukan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Pun dengan kecukupan pengeluaran konsumsi makanan warga yang rata-rata sebesar Rp 20.000 per hari. Hasil penelitian menujukkan sumber pendapatan ekonomi masyakarat sangat tidak menentu. Pendapatan perkapita penduduk di bawah angka rata-rata kehidupan layak masyarakat pada umumnya.
Pasalnya, warga yang mayoritas nelayan tidak benar-benar menjelma menjadi nelayan yang sesungguhnya. Seperti diungkapkan Hamid (43 tahun), warga Desa Puuwulu, bahwa, mereka mencari ikan hanya untuk sekedar bertahan hidup. “Ikan yang kami cari hanya untuk dikonsumsi pribadi,”ujarnya.
Ada banyak kendala memayungi kehidupan warga nelayan Puuwulu, salah satunya minimnya peralatan tangkap yang dimiliki. Di desa hanya ada 2 orang warga nelayan yang memiliki alat tangkap, itu pun hanya berupa sampan dan beberapa meter jaring kecil. Kondisi ini tentu berdampak pada kebutuhan hidup warga yang serba kekurangan. Warga terkadang harus membarter tangkapan mereka demi mendapatkan sekilo beras.
Kondisi ini pula yang membuat warga tak lagi melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Sebagian besar anak desa banyak yang putus sekolah dan hanya tamat sekolah dasar. Warga juga tak tersentuh sarana kesehatan yang membuat banyak warga mengandalkan dukun untuk berobat.
Desa Puuwulu adalah desa transmigrasi yang seluruh warganya eksodus berasal dari Ambon (Maluku). Mereka mengungsi setelah pecahnya perang berdimensi agama di wilayah negeri ambon manise tersebut. Sebagai masyarakat nelayan, selain tanah dan rumah, warga juga diberikan bantuan makanan dan sarana alat tangkap ikan, seperti perahu, jarring dan mesin tempel.
Sayang tak semua warga pengungsi bertahan hidup di desa ini, sebagian besar dari mereka memilih kembali ke Ambon seiring situasi yang sudah kondusif. Bagi mereka yang memilih bertahan jumlah tidak terlalu banyak diperkirakan tersisa 50 KK, mereka hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas, kurangnya pengetahuan warga tentang kegiatan nelayan. Begitu pula, masyarakat tidak punya keahlian di bidang pertanian padahal faktanya tanah di puuwulu cukup baik untuk budidaya perkebunan. SK