Dunia tengah menghadapi modernisasi yang begitu pesat, nilai-nilai
kearifan lokal, adat, dan budaya tak jarang tertinggal bahkan terlupakan. Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa. Dengan keberagaman yang dimiliki, Indonesia dikenal akan kekayaan budayanya. Adat dan budaya yang sejak dahulu ada, tidak dapat dipisahkan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah
adat secara turun-temurun. Tersebar di seluruh daerah di Indonesia berjumlah 70 juta jiwa.
Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-
budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat.
Sudah 9 tahun sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan pengujian terhadap UU
Kehutanan yang diajukan oleh 3 aliansi masyarakat hukum adat. Gugatan pengujian ini
mempersoalkan UU Kehutanan selama 10 tahun masa berlakunya telah digunakan sebagai
payung hukum tindakan sewenang-wenang pemerintah untuk mengambil alih hak kesatuan
masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan hutan negara,
yang selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan atau diserahkan pada para pemilik
modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta
kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut.
Keputusan penting bagi masyarakat adat yang tertulis dalam Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 ini menyatakan, hutan adat bukan lagi hutan negara.
Sementara menunggu disahkan RUU Masyarakat Hukum Adat, melalui Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21 tertanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat
dan Hutan Hak dimana pengakuan wilayah hutan adat berjalan cenderung lambat, menurut
data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai 13 Desember 2021
penetapan status hutan adat sudah mencakup area seluas 69.147 hektar dari total 1.090.755
hektar luas indikatif hutan adat.
Salah satu hutan adat yang sudah diakui negara Indonesia adalah hutan adat milik Masyarakat
Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik yang diakui melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang tercantum dalam SK Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020
pada 20 Mei 2020. Isinya, penetapan Hutan Adat Menua Sungai Utik kepada masyarakat
hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 ha.
Kendati sudah diakui, perlindungan serta hak–hak masyarakat adat masih belum secara
maksimal diterima oleh Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Hutan Adat Menua Sungai
Utik masih saja terusik oleh pihak yang berwenang. Pada 25 Mei 2022, beberapa petugas dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kapuas Hulu Utara memasuki kawasan hutan adat tanpa seizin warga, mempertanyakan aktivitas mereka yang saat itu sedang mengumpulkan kayu untuk pembangunan revitalisasi Rumah Panjang. Para petugas mengaku sedang berpatroli, namun untuk masuk daerah hutan adat, sudah sepatutnya perizinan diantarkan terlebih dahulu ke masyarakat adat yang menjadi “tuan rumah”.
Raymundus Remang, Ketua Perkumpulan Gerempong Menua Judan Sungai Utik, yang juga
adalah Dewan AMAN Daerah Kapuas Hulu, dan Kepala Desa Batu Lintang Sungai Utik
mengatakan “Kami adalah satu kesatuan dengan hutan adat, kami memiliki hubungan yang
tidak bisa dipisahkan. Hutan itu sangat bermakna, disanalah penghidupan kami. Maka dari itu kejadian seperti ini sangatlah mengecewakan bagi kami, pemerintah seakan-akan tidakmenghormati tata aturan adat yang telah dibangun di wilayah adat dan hutan adat Menua Sungai Utik,”ungkapnya.
Kejadian ini menjadi refleksi bahwa walaupun sudah memegang SK secara sah, tidak menjadi
jaminan masyarakat adat terbebas dari konflik agraria, dan dapat berujung ke kriminalisasi
kelompok adat. Pengakuan saja tidaklah cukup, masyarakat adat yang bernaung di NKRI
memerlukan undang–undang yang mengatur tentang Masyarakat Adat dan hak ulayatnya
secara utuh, perlindungan terhadap masyarakat adat dan penghidupannya harus disediakan
oleh negara. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang telah dibahas
sejak zaman Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mandek. Padahal urgensi
RUU ini adalah memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat
di Indonesia dimana dapat menghentikan kriminalisasi masyarakat adat juga perampasan hak- hak masyarakat adat termasuk kerusakan hutan adat di Indonesia.
Sedikit merefleksikan penantian negara hadir di tengah masyarakat adat tepatnya Maret
2017 dimana AMAN membahas RUU Masyarakat Adat, Presiden Jokowi sudah menjanjikan
dukungan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dalam Nawacita periode pertama Jokowi,
sejumlah komitmen tertuang untuk menghadirkan perundang-undangan terkait dengan Pengakuan, Penghormatan, Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Masyarakat Adat,
pembentukan komisi independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden, penyelesaian
konflik agraria, serta penetapan Desa Adat.
RUU Masyarakat Adat sudah masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 namun hingga saat ini belum ada
perkembangan yang signifikan. Sayangnya, harapan atas hadirnya negara di tengah
masyarakat adat tidak kunjung direalisasikan selama satu dekade Presiden Jokowi terbukti
perkembangan perjalanan RUU Masyarakat Hukum Adat yang jalan ditempat, munculnya
konflik agraria, dan diskriminasi yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Masyarakat adat berpotensi kehilangan hak ulayat yang menjadi sumber penghidupan.
Ketiadaan payung hukum yang melindungi masyarakat adat membuat mereka rentan
terhadap berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, ditambah adanya perubahan iklim
yang mengancam ruang kehidupan komunitas adat. Di tengah ketidakpastian hukum dan
berbagai tantangan, masyarakat adat masih terus melestarikan hutan dan alam dengan
kearifan lokal, yaitu, dengan memelihara tradisi dan ritual adat untuk merawat kebudayaan.
Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN untuk Urusan Politik, Erasmus Cahyadi mengatakan, “RUU
Masyarakat Adat dibutuhkan untuk menerjemahkan pengakuan dan perlindungan
konstitusional melalui prosedur dan cara yang mestinya tidak saja sederhana tetapi juga harus
komprehensif untuk menjawab prosedur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat
selama ini yang berbelit-belit dan sektoral. Yang kita perlukan saat ini tidak saja mempercepat
proses pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, tetapi juga harus memastikan
bahwa RUU Masyarakat Adat itu sungguh-sungguh menjawab persoalan yang dihadapi
Masyarakat Adat selama ini,” ujar Erasmus.
Kondisi negara Indonesia yang masih belum memiliki payung hukum perlindungan terhadap
masyarakat adat mengakibatkan situasi yang sangat mengkhawatirkan, dan menyebabkan
masyarakat adat berada di posisi marjinal. Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat di negeri ini juga mengancam ruang hidup mereka.
Urgensi untuk menghadirkan harmonisasi kebijakan-kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat harus terus didorong agar segera disahkan. Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam hal cara menyeimbangkan kembali hubungan kita dengan alam, termasuk kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi. Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, maka dari itu dalam momentum ini, perlu direfleksikan kembali hak-hak masyarakat adat atas hak ulayat dan wilayahnya, bagi mereka yang bernaung di dalam NKRI, sudah sewajarnya masyarakat adat mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. (***)
Dokumentasi foto: Jessica Angela – Vanantara Communications