Konawe Utara, suarakendari.com– Ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo, Kepulauan Kabupaten Konawe Utara dirundung kegalauan. Pemukiman yang ditempati puluhan tahun ternyata masuk dalam areal kawasan hutan. Padahal lokasi perumahan dan perkebunan merupakan penetapan dari pemerintah dari relokasi warga dari pulau Labengki besar.
Kerisauan itu dirasakan warga Waturambaha, ketika ingin melegalkan lokasi pemukimannya. Badan Pertanahan Nasional (BPN) enggan menerbitkan sertifikat tanah warga, karena terganjal status tanah yang berada diatas kawasan hutan.
“Setelah dibuka peta, BPN tidak mau, kecuali status kawasannya diturunkan terlebih dahulu. Baru bisa ada sertifikat,” ujar warga Desa Waturambaha, Wakir.
Wakir merupakan salah satu dari ratusan KK yang pemukimannya berada diatas kawasan. Ia bercerita awal mereka dipindahkan di Desa Waturambaha, yang sebelumnya pemukiman tersebut bernama pasir panjang. Pada tahun 1996-1997, pasir panjang (Waturambaha), ditetapkan menjadi sebuah perkampungan dari program Kementrian Sosial.
“Tahun 1998 dijadikan sebagai desa persiapan. Ini lahan sudah terbagi habis kepada masyarakat dengan pembagian lokasi pekarangan rumah 35 meter, ditambah lahan dua untuk perkebunan masing-masing 2 hektar per KK,” cerita Wakir.
Warga dibuat bingung, status pemukiman warga saat program sosial turun. Status kawasan hutannya diturunkan menjadi area penggunaan lain (APL). Belakangan dalam perjalanan status lahan pemukiman dan perkebunan warga, kembali menjadi kawasan hutan.
“Kita juga ini bingung sama pemerintah, kita dipanggil tinggal disini. Ini yang buat kami kecewa,” ujarnya.
Bukan hanya pemukiman dan perkebunan warga. Rupanya fasilitas pemerintah seperti bangunan sekolah berada diatas tanah kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
“Kami sangat kecewa, bukan saja lahan dua yang dibagikan, sedangkan ini lokasi rumah kami saja ini berada diatas kawasan hutan. Jadi kami tunggu saja diusir dari kehutanan,” ujar dengan nada lesuh.
Keluhan yang sama dirasakan Muslimin. Mereka menempati perkampungan itu sejak tahun 1997 melalui program dari Kementrian Sosial. Puluhan tahun bermukim, ternyata lahan perkebunan yang diberikan oleh Kementrian Sosial berada diatas kawasan hutan produksi terbatas.
“Waturambaha dulu itu tempatnya dipulau Labengki besar. Baru kami dipindahkan disini,” keluhnya.
Kegundahan hati turut mengganjal warga lainnya, Halim. Rumah tempat bernaung keluarga belum mendapatkan legalitas resmi dari Badan Pertanahan Nasional. Alasan status tanah yang masih berada diatas HPT menjadi penyebab utamanya. “Kita mau urus sertifikat, tidak bisa. Kecuali diturunkan dulu status hutannya,” ujar pria 43 tahun itu.
Wakir, Muslimin dan Halim mewakili ratusan kepala keluarga yang tersandra status hutan. Mereka berharap pada Kementrian Kehutanan untuk menurunkan status hutan tempat pemukiman dan perkebunan warga. Agar kerisauan dan kegundahan hati warga dapat terobati.
Pada umumnya, warga Waturambaha sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, bahkan sebagai warga memilih menjadi karyawan perusahaan pertambangan yang berada didesa mereka.
“Kami berharap supaya polemik ini secepatnya selesai. Kasian kami warga yang sudah dipindahkan disini, baru kami tidak nyaman tinggal gegara tanahnya masih berstatus hutan produksi terbatas,” pungkasnya. Ys