HistoriaPolitik

Mahar Politik Pemilihan Kepala Daerah: Ketika Demokrasi Dibayar Mahal

×

Mahar Politik Pemilihan Kepala Daerah: Ketika Demokrasi Dibayar Mahal

Sebarkan artikel ini

KENDARI, suarakendari.com-Istilah Mahar politik bukan hal baru, lumrah terdengar jelang pesta demokrasi. Isu yang kerap menjadi pembicaraan luas di ruang-ruang politik baik di pentas nasional maupun local menjelang pemilihan kepala daerah. Isu  yang kerap memicu perdebatan hangat di masyarakat ini telah bertahun-tahun berlangsung tanpa pernah dipersoalkan, khususnya mereka yang gandrung politik. Mahar politik tak lebih sebuah isu yang akan berlalu begitu saja seiring berakhirnya pilkada.

Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi salah satu daerah di Indonesia yang tengah mengalami isu terkait mahar politik dalam pilkada. Kabarnya, setiap calon bupati/ wali kota di Sulawesi Tenggara harus memiliki dana sebesar 60 miliar rupiah untuk membiayai mahar politik pilkada tahun 2024. Pun demikian seorang calon gubernur di Sulawesi Tenggara mesti menyiapkan “kadu-kadu”– Istilah biaya politik– setidaknya 100 – 200 miliar rupiah  jika ingin maju bertarung   pilkada. Tentu nilai yang tidak sedikit untuk biaya pesta demokrasi.

Namun, apakah nilai biaya pesta demokrasi sebesar yang disebut itu? Apakah besaran dana tersebut benar-benar diperlukan? Kalau iya, seberapa besar pengaruh mahar politik terhadap demokrasi di bumi Anoa Sulawesi Tenggara?

” Ya ada banyak biaya dikeluarkan seorang calon saat pilkada dihelat,”kata seorang sumber di salah satu partai politik. Mahar politik lanjut sumber digunakan untuk membayar sejumlah item biaya politik di pesta demokrasi. Dari biaya untuk lamaran dan membuka pintu partai politik, biaya atribut, biaya tim sukses, dan biaya “serangan fajar”.

“Saya kira ini bukan hal baru dan selalu dilakukan saat pilkada dihelat,”ungkapnya. Persoalannya, publik tahu jika politik uang dalam pilkada merupakan satu bentuk pelanggaran, termasuk mahar politik sebagaimana diatur dalam UU.

Seperti diketahui, demokrasi adalah sebuah pilar penting dalam keberlangsungan suatu negara. Namun, jika setiap calon kepala daerah harus membayar mahar politik yang begitu besar, apakah hal tersebut masih bisa disebut sebagai demokrasi?  Banyak orang berasumsi bahwa mahar politik adalah bentuk korupsi yang terstruktur. Dalam situasi ini, calon kepala daerah yang tidak mampu membayar mahar politik akan kehilangan kesempatan untuk bersaing secara adil. Mereka akan kalah bersaing meskipun memiliki kapasitas dan program yang lebih baik dari pesaing yang membayar mahar politik. Tentu saja, hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang menginginkan pemimpin yang jujur, kompeten, dan memiliki integritas yang tinggi.

Parahnya lagi, mahar politik dengan sadar telah mendorong terjadinya pengabaian terhadap keberadaan para kader partai yang berhasrat maju atau mau berkontestasi di pilkada, dengan kata lain kader minim dana akan tersingkir kendati telah berdarah-darah membesarkan partai. Padahal tak sedikit kader partai yang secara kualitas dinilai baik, bahkan indikator survey dinilai tinggi, tetapi tampaknya kapasitas diri maupun kesuksesan seorang kader dalam bersosialisasi hinga memperoleh empati publik bukanlah sebuah jaminan untuk dilirik partai politik, melainkan berapa berapa isi tas seorang kader.

Ini dialami sejumlah kader parpol di Sulawesi Tenggara yang terpaksa harus “pijat kepala” melihat realitas kontestasi di partainya sendiri. Partai Golkar Sultra misalnya, memiliki kader terbaiknya AJP yang selama ini dikenal merupakan kader yang getol bersosialisasi untuk maju di pilkada kota kendari.

AJP sempat dibuat ‘pening’ setelah DPD Partai Golkar merekomendasikan pasangan Siska-Sudirman. Publik mengetahui kedua pasangan ini adalah kader partai di luar golkar yakni Siska di PAN dan Sudirman kader partai PKS.

Hal yang sama dialami Sudirman yang selama ini berhimpun dalam PKS. Sudirman sendiri merupakan kader potensial yang telah dua periode menjadi wakil rakyat di DPR Sultra. Sebelum berpasangan bersama Siska sebagai calon wakil wali kota kendari, Sudirman berhasrat maju sebagai calon walikota kendari. Tetapi oleh partainya keinginan Sudirman tersebut tidak digubris. Belakangan ketahuan jika PKS lebih menginginkan kader di luar partai yakni Giona untuk disandingkan bersama Subhan, kader PKS lainnya. Kedua kasus ini terkait kisruh politik internal berkaitan dengan kesiapan finasial para calon.

“Begitulah realitas politik hari ini yang terkesan haus akan materi ketimbang membangun ideology,”ujar Silas, seorang pemerhati politik di Kendari.

Mahar politik yang sangat besar akan merugikan semua pihak, mulai dari calon kepala daerah hingga masyarakat. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menangani masalah ini menjadi sangat penting. Tindakan preventif harus dilakukan agar besaran biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah dalam pilkada tidak terlalu mahal. Dalam hal yang sama, peran dari masyarakat untuk melakukan pengawasan menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya tindakan korupsi dalam proses pilkada. Jadi, ketika demokrasi dibayar mahal, maka hal yang terjadi hanyalah korupsi yang masif serta berpotensi membuat kualitas demokrasi menjadi buruk.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dikutip dari website resmi Perludem menilai jika sanksi mahar politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pilkada diterapkan, maka akan mengakibatkan efek jera. Sayangnya sanksi belum pernah diterapkan secara maksimal.

“Karena mahar politik itu seperti kentut, baunya dirasakan, tetapi tidak tahu dari mana. Itu seperti kasus suap, pelaku dan penerima sama-sama tidak mau lapor karena saling menguntungkan,” ujar Fadli di Jakarta, Rabu (17/1).

Fadli mengatakan, sanksi mahar politik ditujukan kepada partai politik selaku penerima dan bakal calon selaku pemberi. Sanksi terhadap parpol adalah dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. “Sementara untuk calon atau pasangan calon, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pencalonannya dibatalkan,” terang dia.

Tak hanya itu, kata dia, anggota parpol atau anggota gabungan parpol yang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan pilkada, dapat dipidana 72 bulan dan denda Rp 300 juta. Pihaknya mendorong Bawaslu memperkuat koordinasi dengan penegak hukum lain di Sentra Gakkumdu, yakni kepolisian dan kejaksaan karena kedua lembaga ini mempunyai sumber daya yang kuat untuk melakukan penyelidikan dan upaya hukum lain dalam proses pemberantasan mahar politik.

Dalam UU Pilkada, ada beberapa Pasal yang mengatur mahar politik, yakni Pasal 47 dan Pasal 187.

Pasal 47
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan.
(6) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Pasal 187B
Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tidak dapat dipungkiri bahwa mahar politik adalah bentuk penyimpangan dalam proses demokrasi. Karena itulah, pemerintah harus serius dalam menangani masalah ini. Terutama, dalam menetapkan besarnya biaya yang dapat dikeluarkan oleh setiap calon kepala daerah dalam pilkada. Sasaran utamanya adalah untuk menghindari pembayaran mahar politik yang sangat besar. Dalam hal ini, perlu adanya mekanisme pengawasan yang ketat oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Hal ini bertujuan agar proses pemilihan kepala daerah dapat berlangsung secara sehat dan fair tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tenggara, Iwan Rompo Bane, mengatakan mahar politik masuk dalam kategori pidana pemilu jika itu dilakukan orang atau lembaga sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.

Meski begitu, lanjut Iwan Rompo,  mahar politik yang masuk dalam kategori pidana pemilu bukanlah hal mudah untuk bisa dibuktikan.  “Jadi terkait dengan mahar politik, maka perbuatan itu harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, tidak bisa hanya berdasarkan asumsi asumsi, karena kemudian jika ada perbuatan seperti ini, itu tentu sudah diatur dalam UU Pemilu melalui pasal 187 c dan 187 d sehingga perbuatan itu  baru bisa dikualifikasi sebagai mahar politik kalau sudah ada putusan pengadilannya dan berkekuatan hukum tetap. Sepanjang tidak ada putusan pengadilannya yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan  perbuatan tersebut sebagai mahar politik, maka bawaslu tidak bisa menyatakan itu sebagai perbuatan mahar politik,”urainya.

“Terkait isu yang berada di luar, tentu saya tidak kompeten untuk menanggapi, karena bagi bawaslu pedomannya adalah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dan tentu karena ini merupakan perbuatan yang merupakan tindak pidana  pemilihan, maka tentu harus  diproses terliebuh dulu melalui sentra penindakan hukum terpadu,  dan sampai sekarang tidak ada, baik di profinsi maupun di kabupaten /kota laporan terkait tindak pidana pemilihan sampai sekarang ini, baik itu mahar politik maupun perbuatan-perbuatan lain yang diatur sebagai tindak pidana pemilihan,”tambahnya.

Dalam melakukan pencegahan, Bawaslu  Sulawesi Tenggara akan melakukan sosialisasi aturan tersebut. Seluruh partai politik akan disambangi untuk diingatkan supaya tidak melanggar aturan khususnya menarik mamhar politik. “Termasuk kepada orang-orang yang bakal calon,” tegasnya.

Disamping itu lanjut Iwan Rompo, pihaknya juga akan mengingatkan aturan lain dalam pelaksaanaan Pilkada serentak 2024. “Jadi, Saya tidak sepesifik menyebut mahar politik ya, bahwa pada tanggal 14 atau 15 Agustus 2024 lalu, Bawaslu Sultra sudah mengeluarkan himbauan nomor 097 yang ditujukan kepada semua pimpinan parpol dan calon /pasangan calon, baik melalui jalur parpol maupun perseorangan, karena Kami mendeteksi akan adanya deklarasi para calon sebelum mendaftarakan diri ke KPU, Bawaslu menghimbau 2 (dua) hal kepada parpol pengusung maupun  para calon /pasangan calon; Pertama, untuk tidak melibatkan pihak-pihak yang oleh ketentuan UU dinyatakan harus menjaga netralitas, baik itu ASN, TNI/Polri kemudian pejabat Negara maupun pejabat lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Kedua, dalam deklarasi kami menghimbau agar para calon atau pasangan calon untuk tidak memberikan uang, barang atau janji dalam bentu apapun kepada masyarakat  yang nanti akan ikut deklarasi. Pemberian uang atau barang ini juga kami himbau bukan hanya dalam fisik tetapi juga dalam bentu non fisik seperti dalam bentuk e-money dalam bentuk kupon dalam bentuk lainm-lain yang dapat membuat itu diduga sebagai tindakan politik uang.

Dengan memberikan pemahaman aturan main, diharapkan para peserta Pilkada lebih taat terhadap aturan.”Kami minta selama Pilkada 2024 ini peserta pemilu bisa menjalankan aturan dengan sebaik-baiknya supaya momen politik di Sultra berjalan aman dan kondusif,” tutupnya.

Senada dengan Bawaslu, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulawesi Tenggara, Muhammad Nasir mengatakan, mahar politik  menjadi hal yang diwaspadai terjadi menjelang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah. “Mahar politik biasanya terjadi untuk memuluskan kandidat bakal calon kepala daerah mendapat SK pengusungan dari parpol,” ujarnya.

Bukan hanya dilakukan oleh Parpol, mahar politik juga kerap disuguhkan oleh kandidat supaya bisa  mendapat rekomendasi. Padahal, sesuai dengan aturan yakni Undang-undang nomor 10 Tahun 2016, anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang melawan hukum, menerima imbalan dalam bentuk apapun, pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan.

Peran Masyarakat

Masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya korupsi dalam proses pemilihan kepala daerah. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain: Mengawasi jalannya proses pemilihan Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap jalannya pemilihan kepala daerah agar tidak terjadi tindakan curang atau korupsi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengawasi jadwal kampanye, penggunaan anggaran kampanye, dan juga pelaksanaan pemungutan suara.

Menghindari penyebaran kabar bohong Fake news atau kabar bohong dapat menyebabkan kerusuhan di dalam masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, masyarakat harus berhati-hati dalam menerima informasi dan selalu memastikan kebenarannya sebelum menyebarkan informasi tersebut.

Aktif berpartisipasi dalam diskusi publik Masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskusi publik atau forum diskusi untuk membahas isu-isu seputar pemilihan kepala daerah. Di sana, mereka dapat menyampaikan pendapat dan masukan terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Mendukung kandidat yang berintegritas Masyarakat juga dapat mendukung kandidat yang berintegritas dan memiliki kapasitas untuk memimpin daerah. Dengan mendukung kandidat yang jujur, kompeten, dan bertanggung jawab, maka corong korupsi dapat diminimalisir.

Melaporkan dugaan tindakan korupsi Masyarakat harus berani melaporkan dugaan tindakan korupsi pada pihak yang berwenang. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk penyimpangan dalam proses pemilihan kepala daerah. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!