Hidup di Morobea mengingatkan kita pada wilayah pedesaan lain di Indonesia yang juga terisolir. Bedanya, Morobea diberkati dengan alam yang kaya, sedang sebagian desa lain di Indonesia kering kerontang karena sumberdayanya habis dan tak bisa lagi dimanfaatkan.
Untuk ke Morobea, harus menggunakan transpotasi laut yang beroperasi sepanjang musim. Dengan kapal-kapal inilah warga melakukan perjalanan mengangkut hasil-hasil pertaniannya untuk dijual ke Kota Kendari. Kehidupan yang terisolir di Morobea terjadi hingga empat tahun pasca otonomi Konawe Kepulauan, 2013 silam.
Jauh sebelum pemekaran terjadi, kampong-kampung di wawonii, ibarat katak di dalam tempurung. Sepeda motor yang mereka miliki tak bisa kemana-mana, hanya lalu lalang di sepanjang jalan kampung yang lebar badan jalannya sekitar dua meter saja.
Sejak lama warga hanya punya satu keinginan sejak bermukim yakni punya jalan yang tembus menuju ibu kota Kabupaten. Dan keinginan itu akhirnya terwujud , saat Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan telah membuka jalan bagi warga yang dipastikan bisa tembus dilalui hanya dalam tempo singkat (20 menit saja). Beruntung, beberapa warga Morobea dan Batumea telah memiliki kendaraan roda dua motor.
“Dulu jalan menuju Langara sangat sulit di lalui karena akses jalan yang rusak berat. Biasanya, warga terpaksa mengandalkan transportasi kapal untuk ke desa-desa lainnya. Berkat pembangunan jalan lingkar yang digagas pemerintah kabupaten, warga sudah bisa menjangkau seluruh wilayah pedesaan di wawonii melalui jalur darat,”kata Rahman.
Kini, seiring pembangunan sarana jalan penghubung seluruh pulau wawonii digenjot, keadaan Morobea ikut terimbas, perlahan keadaan di desa semakin membaik.
Warga desa kian optimis akan mencapai kemajuan, berkat kucuran dana besar yang bersumber dari dana APBN. Kondisi yang membawa angin baru bagi pembangunan pedesaan di wawonii. “Saat ini aparat desa tengah melakukan penataan kembali data desa, dimana sangat dibutuhkan dalam rangka tertib administratif menjelang penerimaan dana desa yang bersumber dari APBN,”kata Wahab. Demikian pula program Musrembang sudah dilakukan dan morobea mengajukan bantuan perpipaan untuk air bersih. “Bak penampungan air dari air terjun sudah kami rintis dan semoga terealisasi,”katanya.
Konflik Ruang
Abdul Wahab (48 tahun) menyadari pasca otonomi daerah, konflik ruang pelan tapi pasti akan menjadi kenyataan di wilayah Wawonii. Setidaknya berkaca dari rencana pemerintah kabupaten konawe kepulauan yang akan merelokasi warga nelayan di Desa Langara ke desa Tumbu-Tumbu Jaya di Kecamatan Wawonii Tengah membuat masyarakat sadar akan dampak pemekaran yang membutuhkan ruang pembangunan.
Karena itu Ia bertekad memperjuangkan agar program nasional sertifikasi lahan dapat segera terealisasi di desanya. “Kabar program sertikasi tanah sudah masuk ke desa kami, tinggal menunggu kesiapan masyarakat menentukan batas-batas tanahnya. Menurut infomasi dari Badan Pertanahan Konkep, untuk melakukan sosialisasi prona maka harus ada 20 orang perwakilan masyarakat,”kata Wahab.
Desa Morobea sasaran program nasional sertifikasi lahan diperuntukan untuk pertanian dan nelayan. Menurutnya sertifikat areal perkebunan masyarakat merupakan bukti kejelasan tanah itu sendiri agar ada kejelasan batas-batas tanah. Sayangnya, warga desa masih harus menunggu, sebab, program nasional sertifikasi lahan baru akan diberikan pada masyarakat pedesaan pada tahun 2016 mendatang .
Desa Morobea adalah daerah baru, hasil pemekaran dari Desa Batumea yang merupakaan desa induk dari sejumlah desa yang dimekarkan. Di Desa Morobea terdapat sekitar 76 KK dengan pekerjaan masyarakat 90 persen petani. Meski begitu, mata pencaharian di sector pertanian ini hanya sekedarnya saja. Begitu juga di sector maritime, masyarakat ada yang berprofesi sebagai nelayan namun hanya sekedarnya saja (tidak serius).
Terdapat sekitar 3000 jiwa yang bermukim di seluruh Kecamatan Wawonii Tengah. Warga hidup dari perkebunan yang subur. Udara bersih dan menyehatkan, pasokan air juga lancar, berasal dari pipa-pipa yang terpasang dari bukit-bukit di belakang rumah warga. SK