Sebagian masyarakat pers Indonesia memperingati tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, meski sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Setelah Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999.
Namun, salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dipertahankan hingga kini adalah peringatan HPN, meski rujukannya sudah tak ada lagi. HPN menggunakan rujukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982. Undang-undang tersebut tak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nonor 40 tahun 1999.
Perkembangan itulah yang memicu lahirnya ide untuk merevisi Hari Pers Nasional. Selain karena memakai hari kelahiran satu organisasi wartawan, pelaksanaannya juga tak banyak berubah dari pelaksanaan semasa Orde Baru. Antara lain, pelaksanaannya memakan dana APBN dan APBD cukup besar. Tema dan kegiatan yang dipilih juga seringkali tidak menjawab masalah pers kontemporer. Dalam HPN yang digelar 9 Februari 2022 di Kendari, yang kalo tidak salah temanya , soal pemulihan ekonomi nasional.
“Sebenarnya, masih banyak agenda mendesak bidang pers yang lebih perlu dibahas. Antara lain, kebebasan pers yang masih dalam ancaman, profesionalisme media yang masih dinilai memprihatinkan, dan kesejahteraan pekerja media yang masih jauh dari harapan,”kata Abdul Manan, mantan Ketua AJI Indonesia.
Melihat perkembangan pelaksanaan HPN saat ini, Satu, sebaiknya Dewan Pers sebagai payung bagi organisasi komunitas pers untuk segera membahas revisi tanggal HPN seperti yang diajukan dua organisasi wartawan (AJI dan IJTI) beberapa waktu lalu. Perubahan tanggal itu diharapkan tidak hanya membuat HPN bisa diperingati oleh lebih banyak komunitas pers, tapi juga untuk mengubah tradisi pelaksanaannya selama ini. Harapannya, perubahan tanggal itu akan membuat pelaksanaannya lebih memberi manfaat untuk publik dan juga komunitas pers.
Dua, Sebaiknya Presiden mencabut Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan 9 Februari sebagai HPN. Selain karena ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, dasar hukum dari Keppres itu sudah tidak berlaku lagi.
Tiga, sebaiknya media dan jurnalis untuk menjaga nama baik profesi jurnalis dan kredibilitas media dengan bersikap profesional dan mematuhi etik.
(Dinukil dari pernyataan bersama Aliansi Jurnalis independen (AJI) & Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dua organisasi wartawan di Indonesia tahun 2018)