Papan pengumuman terpasang dipinggir jalan poros Kecamatan Moramo, tepatnya di kawasan hutan Desa Lamokula. Isi pengumuman terbaca kurang jelas karena termakan usia, yang isinya berupa peringatan keras pada siapa saja yang mencoba mengganggu fungsi kawasan hutan lindung di sana akan dikenakan sanksi hukum. Berdasarkan peraturan daerah nomor 19 tahun 2013 tetang RTRW penggunaan dan pemamfaatan tanah dalam kawasan lindung dibatasi hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan ekowisata serta kegiatan yang mempunyai tujuan strategis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tapi faktanya tidaklah demikian. Papan pengumuman yang inisiasi kementerian agraria, penyidik pegawai negeri sipil dan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan ini tak lebih sebagai gertak sambal saja, sama sekali tak berarti apa-apa melihat sebagian kawasan lindung moramo telah dikoyak koyak alat berat pemecah batu.
Status hutan moramo yang separuhnya sebagai hutan lindung sedikit demi sedikit beralih fungsi ; menjadi kawasan pertambangan batu gunung. Padahal hutan lindung di kawasan ini ditetapkan seluas 44.251 hektare, dimana sebagian besar kawasan hutannya khususnya areal penggunaan lain dan hutan produksi terbatas kini dipatok masuk dalam IUP perusahaan tambang batu. Bahkan, aktifitas tambang batu gunung di kecamatan moramo utara kini sudah masuk ke wilayah pesisir.
Sejumlah perusahaan pemegang IUP yang menambang di kawasan pesisir masing-masing PT Hoffmen Energy Perkasa, PT Citra Kusuma Sultra, PT Wahyu Putra Sultra, dll. Ini belum terhitung IUP yang beroperasi di kawasan hutan dekat pemukiman penduduk. Sepanjang satu kilo meter kawasan hutan di pesisir Desa Wawatu dan Desa Pusanggula luluh lantak oleh aktifitas pertambangan batu sehingga telah merusak biota laut di sepanjang pantai. Di kawasan ini, bahkan perusahaan membangun dermaga labuh agar memudahkan mengangkut material batu ke kapal.
Meski belum sampai mengiris kawasan lindung, namun aktifitas menerabas hutan penyangga kawasan secara masif mulai mencemaskan para penggiat lingkungan di Sultra. Tak sedikit aktifis yang membuat tagar terkait penyelamatan kawasan pesisir moramo – moramo utara yang pernah dibuat, namun tak pernah mau didengarkan para pengambil kebijakan. Para aktifis juga meminta aparat penegak hukum agar benar benar bisa mengawasi dan mengevaluasi aktifitas pertambangan khususnya di zona yang beririsan dengan kawasan hutan lindung moramo dan moramo utara.
Sekedar diketahui, aktifitas pertambangan mulai marak di wilayah kecamatan moramo dan moramo utara sejak tahun 2013, semula penambangan hanya di kawasan eks kawasan marmer bakri moramo, namun oleh pemda Konawe Selatan mengeluarkan IUP hingga meliputi seluruh kawasan hutan di Moramo dan Moramo Utara. Padahal status kawasan hutan moramo dalam SKEP Menteri Kehutanan sebagian masuk dalam kawasan hutan lindung.
Ironisnya, sepanjang pesisir Moramo dan Moramo utara adalah kawasan pariwisata andalan Kabupaten Konawe Selatan. Setidaknya terdapat enam pantai dan dua danau serta kaya keanekaragaman hayati /biodiversity di dalamnya. Dalam peta perencaaan pariwisata daerah (Ripda) Konawe Selatan, kawasan pesisir khususnya pantai senja merupakan kawasan terpadu pengembangan kepariwisataan daerah. Dalam dokumen RIPDA sendiri menyebut pantai senja sebagai destinasi wisata andalan konawe selatan bersama destinasi-destinasi wisata lainnya, seperti pulau hari, pulau lara, pulau baho, dll. Dalam RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten Konawe Selatan, kawasan pesisir moramo dan moramo utara merupakan kawasan perlindungan biodiversity dan kawasan pariwisata yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan pertambangan. Belakangan oleh pemerintah kabupaten dan DPRD Konawe Selatan, RTRW Moramo Utara – Moramo dilakukan perubahan.
**
Dalam perjalanan menyusuri pesisir moramo utara, Saya menemukan dua lagoon cantik di sisi timur kawasan. Ini adalah lagoon terindah di kawasan segi tiga emas pariwisata sultra yang dalam hitungan hari akan segera menghancurkan perusahaan tambang batu yang beroperasi di sana. Suara alat berat terdengar jelas dari puncak partai kartika.”Sayang sekali lagoon cantik ini harus dihancurkan,”kata Yasrin, penggiat komunitas wisata di kendari.
Ya, aktifitas penambangan ini tak lepas dari pemberian ijin usaha tambang di kawasan ini, ditambah adanya perubahan tata ruang wilayah moramo utara dan sekitarnya. Pembahasan perubahan RTRW kabupaten konawe selatan ternyata sudah ketok palu tahun 2021 lalu. Perubahan yang tentunya membawa konsekwensi besar pada perubahan bentang alam dan berdampak serius pada kondisi lingkungan di wilayah ini. Sebagian kawasan hutan khususnya di pesisir kini menuju fase penghancuran yang sebentar lagi bakal menyentuh kawasan lagoon mata kingkong yang merupakan habitat padang lamun raksasa serta flora fauna endemik lainya.
Perubahan kawasan moramo dan moramo utara menjadi kawasan industri diduga bertentangan dengan kegiatan di wilayah pesisirnya, dimana tata ruang laut kedua wilayah ini berada di zona konservasi dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (RZWP3K). Seharusnya tata ruang itu disusun bersinergi semua dari hulu, hilir sampai lautnya, mengingat output segala kegiatan di darat akan bermuara kelautan semua. Kewenangan izin pertambangan ada di pemerintah pusat dan yang pasti dalam kawasan areal penggunaan lain (APL) moramo dan moramo utara sudah terbit izin yang semuanya adalah ijin tambang batu, artinya, sudah tidak ada lagi ruang untuk penyelamatan kawasan lingkungan moramo utara dan moramo hingga ke pesisir.
“Kenapa harus berubah? Seurgen apakah perubahan status kawasan sampai harus mengorbankan lingkungan yang ada. Kalaupun berubah seharusnya tidak semua dilepaskan untuk kawasan tambang, peruntukan tambang harusnya ada batasannya tidak sampai mengambil hingga ke pesisir.Harusnya ada area green belt sebagai area pencadangan kawasan untuk perlindungan kawasan pesisir di sana. Jika tidak ada green belt kawasan ini tentu punya dampak besar pada lingkungan khususnya biodiversity di hutan dan pesisir, dan dalam jangka panjang bila semua kawasan digunduli maka kita tinggal menanti bencana ekologi bagi lingkungan dan masyarakat di sana,”kata Nasir, penggiat lingkungan di Kendari.
Para penggiat lingkungan di konsel memang merasa kecolongan dengan kegiatan pembahasan perubahan kawasan RTRW Konawe Selatan. “Telat tau tentang pembahasan RTRW konsel yang ternyata sudah diketok, dan dari pembahasan ekslusif itu ternyata status kawasan sebagian wilayah konsel sudah berubah. Pertanyaannya, Kenapa harus berubah? Seurgen apakah perubahan status kawasan sampai harus mengorbankan lingkungan yang ada,”tulis Sahrun, aktifis lingkungan.
Harusnya, kata Sahrun, tidak semua dilepaskan untuk kawasan tambang, peruntukan tambang harusnya ada batasannya tidak sampai mengambil hingga ke pesisir. Ini punya dampak besar pada lingkungan khususnya biodiversity di hutan dan pesisir, dalam jangka panjang hika semua terbuka maka ini akan menjadi petaka besar bagi masyarakat di sana, saya bayangkan kalo dinding alam moramo habis ini punya dampak ke depan.
Sumber di dinas kehutanan provinsi menyebut, jika kawasan Moramo Utara sudah ditetapkan sebagai kawasan pertambangan dalam tata ruangnya. “Kawasan pesisirnya sudah hancur sebentar lagi kawasan lagoon kartika tempat habitat pandan laut dan padang lamun raksasa hancur.Jadi sudah tidak ada lagi ruang untuk penyelamatan kawasan lingkungan hingga ke pesisir,”ujar sumber di Dishut Sultra.
Ia mengungkap, jika status kawasan moramo utara dan moramo itu terbagi tiga. Kawasan yang berada di pinggir laut itu adalah APL (areal penggunaan lain), lalu Hutan Lindung berada di tengah dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Terus tata ruang lautnya dijadikan zona konservasi dalam RZWP3K .
“Ada banyak penempatan zona di pesisir bertentangan dengan kegiatan didaratannya. Seharusnya kan tata ruang itu disusun bersinergi semua dari hulu, hilir sampai lautnya. Karena output segala kegiatan di darat akan kelautan semua. Kewenangan izin pertambangan ada di pusat sekarang, yang pasti di APL sudah ada izin semua dan semua ijin tambang batu. Harusnya ada area green belt, sebagaimana tambak itukan tidak semua harus digaruk, harus ada pencadangan kawasan untuk perlindungan masyarakat,”ujarnya.
Dipastikan ada banyak pihak yang tau tentang penghancuran pesisir di Moramo Utara, baik itu, pemerintah daerah, dinas terkait, DPRD, NGO /LSM lingkungan, tokoh masyarakat, mahasiwa, dll. “Mereka tau jika aktifitas telah menabrak banyak aturan khususnya tetang perlindungan kawasan-kawasan strategis lingkungan hidup, tapi rupanya banyak yang memilih jalan diam,”kata Nasir.
Nasir berharap agar lembaga negara khususnya yang terkait administrasi dan informasi bisa lebih bersuara. ” Ya, sudah saatnya Lembaga negara seperti ombudsman, Komisi Informasi Publik (KIP) menghearing pihak pihak berkompeten di sana, setidaknya menjadi garda yang dapat menghentikan aktifitas / moratorium penambangan batu di kawasan ini. Lembaga ini dapat memanggil intansi terkait seperti dinas pertambangan untuk mengevaluasi keberadaan tambang di kawasan ini,”katanya.
Penegakan Hukum
Maraknya pertambangan di Sulawesi Tenggara tak lepas dari perhatian aparat penegak hukum seperti kejakaaan. Hal ini disampaikan Sarjono Turin SH Kajati Sultra bahwa kejaksaan tetap berkomitmen untuk memberantas korupsi di sektor pertambangan. Ini diungkapkan Sarjono kepada wartawan di Kendari. “Selama saya di Sultra maka saya berkomitmen memberantas korupsi sektor sumber daya alam khususnya pertambangan,”tegasnya.
Sarjono mengaku, setelah dirinya mengamati, mempelajari dan menganalisis pengelolaan sektor sumber daya alam ternyata ada potensi potensi potensi yang seharusnya menjadi hak negara, ternyata banyak yang terabaikan, karena tidak disetorkan para penambang kepada negara. Hal ini tentu menjadi kerugian negara di dalamnya.
“Saya coba dengan kewenangan yang kejaksaan miliki sebagai aparatur penegak hukum sesuai pasal 30 ayat 1 tahun 1960 tentang kewenangan kejaksaan dimana memiliki kewenangan menyelidiki, menyidik dan penuntutan tindak pidana tertentu trrmasuk korupsi maka saya mencoba melakukan klarifikasi terhadap potensi potensi SDA dalam hal ini pemasukan untuk negara dari pengelolaan sektor pertambangan kemana larinya, nah penyimpangan inilah yang menarik sehingga saya mencoba dengan kewenangan yang saya miliki mencoba menyelidiki dan ternyata dari sekian banyak korporasi di Sultra yang jumlahnya 240 IUP ada kewajiban yang harus mereka bayarkan kepada negara tapi ada beberapa perusahaan perusahaan yang melalaikan itu,”urainya. SK