International Women’s Day (IWD) menjadi momentum penting bagi perempuan dalam menyampaikan situasinya dan persoalannya, termasuk tuntutan pada berbagai pihak terkhusus pada pengambil kebijakan sebagai upaya pemenuhan hak dan kesetaraan perempuan dalam kehidupan sosial budaya berbangsa dan bernegara. Demikian halnya pada situasi Perempuan Nelayan Teluk Kendari yang terus bergerak bersama meneguhkan posisi politik perempuan dalam merebut kedaulatannya.
Organisasi Solidaritas Perempuan Kendari sejak 2016 bersama dengan Perempuan Nelayan di Kelurahan Tipulu dan Sodoha yang sudah ada sejak tahun 1980-an, sebagai nelayan hidup mereka berkecukupan dengan mencari kerang, menjual ikan, memancing ikan, menjala udang, kepiting dll. laut/teluk seluas 19,05 km2 dikelilingi hutan mangrove, merupakan lingkungan mereka yang aman untuk berkreatif mengembangkan pengetahuan lokalnya bahkan sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian dalam penghidupan keluarganya maupun masa depan anak cucu mereka.
Sejak 2012 melalui kebijakan pemerintah Revitalisasi Teluk Kendari sebagai salah satu upaya penanggulangan pendangkalan akibat sedimentasi, berbagai persoalan mulai dirasakan kaum perempuan di pesisir Teluk Kendari, ditambahkah lagi pengetahuan perempuan Nelayan yang minim terkait dengan informasi publik semakin membuat perempuan harus pasrah menerima berbagai perubahan yang terpaksa dialami sampai saat ini.
Hal tersebut membuat perempuan mengalami berbagai ketidak adilan dan pelanggaran haknya, perempuan kehilangan sumber matapencahariannya tentunya berdampak buruk bagi keluarganya dan lingkungannya, kecukupan pangannya semakin menurun juga berdampak pada kesehatan keluarga, kebutuhan pendidikan anak, juga mempengaruhi hubungan sosial lingkungan tempat tinggalnya.
“Akibatnya karena konstruksi gendernya, perempuan harus tetap berusaha berfikir keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui berbagai cara dan upaya. Sehingga ditemukan hingga saat ini perempuan nelayan berjualan gorengan, minuman dingin, menjajakan kue-kue hal ini tentunya dilakukan demi dapat memenuhi pangan dirinya dan keluarganya. Dalam situasi tersebut Pemerintah setempat belum memperlihatkan keberpihakannya ketika perempuan Nelayan terpaksa beralih profesi, beralih mata pencaharian,”ungkap Neg Rahayu, salah satu aktifis solidaritas perempuan.
Akibat dari kehilangan sumber matapencaharian maupun kerusakan lingkungan tempat mencari kerang dan ikan tersebut, disisi lain perempuan nelayan diperhadapkan dengan pembangunan tambat labuh yang berorientasi pada wisata teluk kendari melalui hadirnya wisata kuliner dan wisata mangrove, hal ini membuat perempuan nelayan diperhadapkan dengan berbagai persoalan yang semakin meminggirkan posisi perempuan, bahkan tidak adanya perlindungan ataupun pengakuan atas wilayah sumber matapencahariannya baik sebagai perempuan nelayan maupun sebagai perempuan warga Kelurahan Tipulu dan Sodoha membuat perempuan semakin terpinggirkan.
“Kami menuntut pemerintah kota kendari untuk memberikan hak sebagai Perempuan Nelayan Teluk Kendari yang sudah ada sejak tahun 1980-an dan berprofesi sebagai nelayan di Kota Kendari dan pemerintah harus memberikan perlindungan terkait wilayah kelola perempuan, baik sebagai perempuan pencari kerang maupun perempuan nelayan lainnya yang saat ini telah beralih sumber matapencaharian,”tegas Neng.
Sebagai penutup Neng mendesak pemerintah segera memberikan ruang aman bagi perempuan nelayan dan keluarganya dalam beraktifitas dilingkungan Teluk Kendari, pemerintah harus teliti dan tanpa pandang bulu melakukan pendataan khususnya data terpilah profesi perempuan nelayan. SK