Jakarta, suarakendari.com-DPR secara tiba-tiba memutuskan untuk memberhantikan paksa Hakim Konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, (29/9/2022). Padahal secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan Hakim Konstitusi, bukan memberhentikannya. Alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Pemberhentian itu adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan.
Aqil Oktaryan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjelaskan, secara normatif, pemberhentian ini cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan. Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.
Pada akhir Juli 2022, MK memang pernah mengirim surat ke DPR perihal adanya putusan pengujian UU terkait perubahan ketiga UU MK. Surat tersebut juga mencantumkan pertimbangan MK dalam putusannya khususnya untuk pasal 87 huruf b terkait masa tugas hakim konstitusi yang menyatakan agar ketentuan peralihan tersebut tidak digunakan untuk memberikan keistimewaan terselubung terhadap orang-orang tertentu yang sedang menjabat sebagai Hakim Konstitusi. Dalam surat tersebut, MK berpendapat perlu ada tindakan hukum berupa konfirmasi terhadap lembaga pengusul Hakim Konstitusi yang tengah menjabat tersebut. Tindakan hukum itu berupa pemberitahuan bahwa Hakim Konstitusi terkait melanjutkan masa jabatannya yang kini tidak mengenal lagi periodisasi. Dalam surat tersebut, MK menyebutkan bahwa Aswanto menjabat hingga 2029. Perlu ada pemahaman bagi kita semua bahwa tindakan ini hanya sebatas konfirmasi ke lembaga pengusul; bukan untuk mengevaluasi (memberhentikan) hakim konstitusi yang sedang menjabat di tengah jalan. Tindakan DPR yang memberhentikan Aswanto di tengah jalan jelas tindakan sesat dan keliru dalam menafsirkan surat MK tersebut.
Selain itu, adanya keputusan memberhentikan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi menunjukkan bahwa DPR telah keliru dalam menafsirkan undang-undang yang dibentuknya. DPR justru terjebak oleh ketentuan yang dibentuknya sendiri, yakni meghapus periodesasi jabatan lima tahun dan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Adanya kekeliruan dalam menafsirkan undang-undang ini adalah hal yang memalukan karena DPR seperti tidak paham dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.
“Dari segi prosedur, pengambilan keputusan pemberhentian ini juga janggal karena dilakukan berdasarkan Sidang Paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain,”jelasnya.
Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan Hakim Konstitusi. Hal-hal itulah yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MK. Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR, yaitu yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi.
Hal tersebut seperti menegaskan bahwa DPR ingin menjadikan Hakim Konstitusi sebagai alat untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Adanya “jatah” DPR dalam mengusulkan Hakim Konstitusi bukan berarti hakim yang diusulkan tersebut menjadi pembela kepentingan DPR, melainkan hal itu adalah untuk menjaga netralitas MK agar tidak dapat diintervensi oleh salah satu cabang kekuasaan. Pola pikir menjaga kepentigan DPR sebagaimana terlontar oleh beberapa pihak adalah logika sesat dan mendorong kita semua ke titik nadir pendangkalan hukum.
Dari segi politik hukum, proses yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa DPR bersama Presiden ingin memperluas kewenangannya dalam pengisian jabatan Hakim Konstitusi, dari awalnya hanya mengusulkan untuk pengisian menjadi dapat memberhentikan Hakim Kontsitusi. Hal itu semakin terkonfirmasi dengan adanya upaya mengubah UU MK untuk keempat kalinya, yang salah satu ketentuan perubahannya mengatur bahwa lembaga pengusul Hakim Konstitusi dapat mengevaluasi sewaktu-waktu jika ada pengaduan dari masyarakat. Ketentuan itu mengarahkan lembaga pengusul dapat memberhentikan Hakim Konstitusi kapanpun.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Mendesak DPR mencabut keputusan pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi.
Mendesak Presiden untuk tidak mengeluarkan Keputusan Presiden soal pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, dan memerintahkan Aswanto kembali menjabat sesuai ketentuan dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020.
Mendesak Presiden dan Mahkamah Agung sebagai lembaga pengusul Hakim Konstitusi untuk tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama dengan DPR.
PSHK menolak revisi keempat UU MK yang memperluas kewenangan lembaga pengusul Hakim Konstitusi untuk dapat mengevaluasi atau memberhentikan Hakim Konstitusi di tengah masa jabatan.
Mendesak agar pemberhentian dan pengangkatan Hakim Konstitusi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU MK, dengan menjunjung tinggi prinsip transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Sk