Opini

Merdeka Petani

×

Merdeka Petani

Sebarkan artikel ini

SUATU waktu saya bertemu perwakilan kelompok tani di Lombakasih, Lantari Jaya. Pertemuan itu terjadi di tengah sawah, di sebuah rumah sawah. Asyik sekali.

Yang pertama diungkapkan kelompok tani ini yaitu istilah ‘petani adalah jantung Indonesia’. Sebuah perumpamaan yang menarik perhatian saya.

Selanjutnya semua celoteh-celoteh mereka saya simak secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hasilnya baru saya tulis tepat di Hari Kenerdekaan ini.

Istilah Petani Jantung Indonesia cukup menggugah. Karena, menurut mereka, petani menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia. Pangan diolah menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Begitu mereka berceloteh.

Jika tidak ada petani siapa bisa garap sawah? Siapa bercocok tanam? Siapa berkebun? Dan makan apa warga Indonesia? Benar juga apa kata petani itu.

Dia pun berkeluh kesah dengan kondisi petani yang sama di seluruh Indonesia. Pupuk mahal, pestisida mahal, solar untuk mesin alat pertanian dibatasi. Jika ada subsidi, oknum di sana menjualnya, akhirnya menjadi harga non subsidi.

Di Bombana, bantuan alat pertanian, yang katanya gratis, rupanya harus ditebus nyaris sama dengan harga alatnya, hand traktor misalnya. Nasib petani makin buram oleh permainan tengkulak, pengijon, dan pemodal.

Yang bikin tambah sedih, di saat panen harga langsung anjlok. Petani tak habis pikir. Di saat stok berkurang, harga mahal, namun saat panen harga di petani jadi murah. Memang berlaku hukum pasar, hukun supply and demand. Tapi seperti ada yang kendalikan.

Di Bombana, semua jenis bantuan pertanian diatur dinas terkait. Di strukturnya, ada bidang-bidangnya. Dari informasi dari pihak lain, hampir semua bantuan bernuansa subjektif politik. Bantuan diberikan kepada warga tertentu. Hanya itu-itu yang terus menerus dapat bantuan.

Setelah ditelusuri, penerima bantuan adalah pendukung pemenang Pilkada 2017. Ini juga terjadi saat sekarang. Kini sang istri yang maju Pilkada 2024, bantuan pun diberikan atas nama sang calon.

Ada pula oknum dinas menjanjikan bantuan asalkan memilih sang calon. Silakan daftar, cukup pakai KTP, dan akan dapat bantuan itu.

Tak hanya di Dinas Pertanian, bantuan yang tidak tepat sasaran itu juga terjadi di Dinas Perikanan. Ada nelayan setiap tahun dapat bantuan dompeng sampai empat unit. Juga ada juragan ikan sampai menerima bantuan juga.

Seorang nelayan yang tercatat sebagai kelompok peneirima bantuan bercerita perahunya rusak di tengah laut. Terombang ambing. Pulangnya minta bantuan namun yang diberikan justru partisan politik.

Cerita-cerita ini menguatkan keluhan petani dan nelayan tertentu di Bombana. Di Poleang juga demikian. Oknum-oknum di banyak OPD sudah bertindak partisan untuk Pilkada 2024. Modus bantuan dipakai untuk lepentingan politik.

Kelompok tani di Lantari Jaya ini hanya berharap pemerintah membantu dan benar-benar memihak pada petani. Bukan di mulut di pidato-pidato saja. Pemerintah hendaknya turun tangan membantu bagaimana produksi mereka meningkat, dengan biaya yang ekonomis.

Petani berharap dengan kekuasaannya, pemerintah bisa menstabilkan harga. Pemihakan kepada petani betul-betul murni tanpa kepentingan politik. Karena kepentingan politik akan berdampak pada petani yang hanya ingin memberi pangan kepada masyarakat.

Kalau ingin menjaga ketahanan pangan bantulah petani, jangan semua bantuan menjadi alat untuk memperkaya oknum.

Yang menarik, mereka minta pemerintah melalui mekanisme G to Petani membeli gabah-gabah mereka, menjadi perhatian saya. Mereka merasa dirugikan oleh pemain besar.

Dia mengungkapkan, di saat panen, harga mereka beli murah. Gabah dibawa keluar, kemudian masuk ke Bombana lagi, menjual dengan harga mahal yang sudah dikemas. Kemasannya atas nama produksi daerah lain.

Jika melewati Kecamatan Lantari Jaya, kita akan melihat berkarung-karung gabah stand by di pinggir jalan. Karung-karung itu nenunggu truk-truk besar membawa keluar dari Bombana.

Memang setiap musim panen beras Bombana mencapai 90 ribu ton. Beras-beras ini keluar untuk diolah daerah lain dan masuk kembali dengan nama label dari luar, yang mahal.

Karena itu, untuk membantu petani pemerintah diminta membeli gabah-gabah petani, agar harga tidak dipermainkan oleh tengkulak. Selanjutnya pemerintah mengolah melalui BUMD dan menjadi beras kemasan, dengan label produksi Bombana. Program hilirisasi menjadi langkah tepat untuk itu.

Harapan agar pemerintah turun tangan membeli produk petani cukup realistis. Selama ini pemain besar sangat lihai memainkan harga, sehingga petani tak berdaya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula oleh permainan harga.

Petani yang istilahnya adalah Jantung Indonesia, memang harus menjadi perhatian ekstra. Ibarat penyakit, jika jantung bermasalah seluruh tubuh akan terganggu.

Indonesia dengan jumlah penduduk 270–an jiwa itu butuh ketahanan pangan yang stabil. Jantung Indonesia jangan sampai terganggu, sehingga merusak seluruhnya.

Di hari kemerdekaan ini, mari jadikan momentum untuk Memedekakan Petani. Agar kita bisa berteriak: Merdeka Petani.

Penulis : Syahrir Lantoni
(BUR Center)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *