Dua puluh lima wisatawan asing menginjakkan kaki di Pulau Kabaena. Mereka datang dari benua yang jaraknya bermil-mil, demi menikmati keindahan alam Desa Tangkeno. Saat tiba, para turis yang mayoritas pelajar itu, mendapati kehidupan yang berbeda, berbicara dengan orang-orang lokal yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Sebagai keturunan Mokole Kabaena, penduduk Tangkeno masih menjalani gaya hidup tradisional. Mereka berbicara dalam bahasa tradisional Tokotua, dan berladang sebagaimana yang dilakukan leluhur mereka selama berabad silam. Pada hari-hari tertentu, mereka berkumpul di alun-alun untuk menonton tarian lumense yang diiringi oleh suara tabuhan tambur. Lumense jenis tarian yang dibawakan para wanita tua dengan gerakan gemulai bak gadis belia.
Setiap rumah di tangkeno adalah rumah bagi tamu yang berkunjung. Rumah-rumah yang semula ditinggali pribadi, disulap menjadi homestay. Walau tak senyaman menginap di hotel, namun kebutuhan dasar tamu, seperti, makan, kamar tidur dan MCK sudah dapat terpenuhi bagi wisatawan. Perubahan sosial masyarakat berlaku semenjak desa berpenduduk 210 KK itu ditetapkan sebagai desa wisata, tahun 2013 silam. Ketika itu, seluruh warga Tangkeno menyambut dengan berbenah. Membekali diri mereka dengan pengetahuan mengelola wisata.
Demi menjaga nama baik pariwisata, warga sepakat untuk menjaga kebersihan lingkungan desa. Warga menyediakan tempat sampah di halaman rumah masing-masing. Di sudut desa, terpasang papan pengumuman bertuliskan, “Buanglah Sampah Pada Tempatnya, Meski Hanya Bungkusan Permen Atau Puntung Rokok”.
Sebagai destinasi wisata baru, tentu warga merasa masih memiliki banyak kekurangan, terutama soal penguasaan bahasa asing. Bahkan, hingga kini belum ada warga tangkeno yang mampu berbahasa ingris dengan baik. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi warga penggiat wisata di Tengkeno.
Nah, soal penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, Madjid Ege punya pengalaman pahit saat bersama para turis asing. Sekali waktu, Madjid dibuat bingung dengan ulah seorang turis yang menyodorkan pertanyaan yang berbahasa Inggris. Untuk beberapa saat Madjid terdiam menatap bule muda di hadapannya itu. Lalu, dalam mimik serius, Madjid menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa Kabaena. Kontan si bule pun dibuat kebingungan, karena Ia sama sekali tidak mengerti bahasa Kabaena. “Saya mau jawab apa? Saya tidak bisa berbahasa Inggris, jadi Saya jawab saja pakai bahasa Kabaena,”kata Madjid.
Di waktu senggang, Kepala Desa Tangkeno, Abdul Madjid Ege menyambangi tamu-tamu asing itu. Pria uzur itu sebenarnya cukup senang dengan kehadiran mereka, namun rasa penasaran mengganjal pikirannya. Ia lalu bertanya pada seorang guru pemandu, “Kenapa harus ke Tangkeno, Apa yang membuat Anda tertarik datang ke sini? Dan kenapa Anda membiarkan mereka (turis pelajar) berjalan kaki menyusuri perkampungan yang letaknya di ketinggian?,”
Madjid mendapatkan jawaban mengejutkan. “Saya sengaja mengajak mereka berjalan kaki, agar mereka mengerti, bahwa, alam itu seperti ini,”jawabnya dengan bahasa Indonesia minus. Sang guru mengaku, di negerinya, Ia dan anak didiknya tidak menemukan pemandangan alam yang indah seperti di Tangkeno. “Saat keluar rumah, Kami langsung tertuju gedung-gedung tinggi. Jadi kami memutuskan ke sini dengan harapan agar mereka mengerti, bahwa, masih ada alam yang seperti ini.,”ungkap sang guru.
Dua hari adalah waktu yang padat bagi para turis melakukan eksplorasi wisata di tangkeno. Mereka mengunjungi situs-situs sejarah, menjelajahi hutan desa, memotret kehidupan warga hingga berendam di sungai tangkeno.
Legenda Abdul Madjid Ege
Semangat Abdul Madjid Ege tak rapuh, meski di usianya yang tergolong sepuh, 73 tahun. Lelaki gaek ini masih cukup kuat mendaki bukit-bukit di Tangkeno. Berjalan berkilo-kilo jauhnya, mengurusi rakyat hingga berdikusi sampai larut malam. Ingatannya tajam, bercerita dengan detil setiap senti sejarah negeri Tokotua. Sesekali Ia melempar kelakar kepada jurnalis-jurnalis muda yang meminta berpose kepadanya. “Sebenarnya Saya sudah tidak ingin lagi difoto. Malu melihat wajah saya yang tua,”ujarnya sembari tertawa renyah.
Abdul Madjid Ege adalah tokoh sekaligus budayawan Kabaena. Ia lahir di Tangkeno 6 Agustus 1945. Oleh warga Abdul Madjid Ege dipercaya sebagai Kepala Desa Tangkeno. Pribadi yang ramah dan senang bercerita.
Di balik sikap ramahnya, Madjid sebenanya sosok peodal yang agamais. Ia masih kukuh mempertahankan tradisi budaya Kabaena di tengah kerasnya benturan modernisasi. Untuk beberapa hal, Madjid menerapkan larangan keras bagi warganya untuk tidak minum minuman keras. “Selain haram, miras adalah pemicu kerusakan ahlak,”kata Madjid. Bagi yang melanggar, maka sanksi keras diterapkan, yakni pemberlakukan hukuman adat, berupa pukulan rotan di tubuh. Sanksi adat ini dipatuhi warga, karena itu Tangkeno aman dari segala tindakan kriminal.
Meski begitu, Madjid Ege cukup moderat terutama untuk urusan adat istiadat. Sistem perkawinan orang moronene yang terbilang pelik dapat dibuatnya jadi sederhana. Dalam urusan adat perkawinan misalnya, jika dahulu dalam adat biasa ditetapkan kebutuhan yang harus ditanggung seorang lelaki jika yang menikahi gadis Kabaena, yakni berupa mahar beras dan kerbau. “Menikahi orang biasa, mahar adatnya 4 ekor kerbau, sedangkan menikahi kaum bangsawan, maharnya 8 sampai 12 ekor kerbau,”ungkapnya. Karena kerbau semakin mahal dan langka, maka dapat diganti sapi. Kita tidak ingin memberatkan mereka yang mau menikah, jadi ya disesuaikan saja semampunya,”kata Madjid.
Jarak Desa Tangkeno sebenarnya tak cukup jauh dari kota Kecamatan Kabaena Tengah di Sikeli, yakni, kurang lebih 17 KM saja. Namun, dengan posisi desa yang berada paling ujung, membuat pembangunan infrastruktur agak tertinggal dibanding dari desa-desa lain di Kabaena. Terutama infrastruktur jalan yang mulai rusak serta longsor di beberapa titik. Kondisi yang membuat pengendara harus ekstra hati-hati melewati jalan rusak menanjak dan berjurang cukup dalam.
Sebelum mencapai Tangkeno, kita akan melalui perkampungan warga yang dibangun di perbukitan hingga ke kaki lembah. Sepanjang jalan wangi cengkeh menyebar menggoda hidung. Suhu udara pun perlahan terasa mulai sejuk dan berangin. Di sepanjang jalan, dinding-dinding bukit telah dipenuhi tanaman.
Tanah Tangkeno cukup subur untuk segala jenis tanaman. Suhu yang dingin membuat tanaman jangka panjang seperti cengkeh, kopi, jambu mete, enau hingga kelapa leluasa tumbuh dan menghasilkan buah yang banyak. Beberapa warga, bahkan, pernah mencoba menanam pohon apel. Sayangnya, bibit pohon apel bantuan pemerintah itu sebagian besar mati akibat dimakan ternak kambing. “Mereka menanam tapi tidak menjaganya. Sehingga kambing leluasa memakan bibit pohon apel,”ungkap Madjid. “Ada beberapa pohon apel yang tumbuh besar, bahkan sempat berbuah, walau buahnya kecil-kecil,”kata Madjid.
Dulu, perkampungan ini bagian dari desa induk Enano. Tangkeno sendiri merupakan desa pemekaran dari Desa Enano. Pada awal pemekaran, Desa Tangkeno bernama Desa Enano di Tangkeno, sedangkan Desa induk disebut Desa Tangkeno di Enano. Perubahan nama dari Desa Enano di Tangkeno menjadi Desa Tangkeno terjadi pada tahun 2013. Mayoritas penduduknya berkerja sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pedagang hasil bumi.
Umumnya, penduduk Pulau Kabaena membangun pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai dan sebagian lagi memilih bermukim di pesisir pantai. Di lembah, mereka menggarap tanah dan bercocok tanam. Sejak lama, tanah yang subur menjadikan sektor pertanian sebagai penyokong utama ekonomi warga Kabaena. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini dengan nama “kabaena” yang artinya negeri penghasil beras, meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. Orang-orang pribumi sendiri menyebut kampung halaman mereka sebagai tokotua. Nama “Tokotua Wonuanto” diabadikan warga di gerbang rumah berdampingan dengan tulisan nama desa dan kecamatan. “Jadi Tokotua adalah nama lain dari Kabaena,”kata Abdul Madjid Ege.
Letak Desa Tangkeno berada di ketinggian, sekitar 650 meter dari permukaan laut (Mdpl), tepat di bawah kaki gunung Watu Sangia memiliki ketinggian 1100 Mdpl. Suhu udaranya cukup dingin. Terlebih di bulan Oktober. Angin bertiup kencang, membuat atap-atap rumah seolah mau lepas dari jepitan. Di bulan itu warga menyiapkan jaket dan selimut tebal. Di musim tertentu, awan akan sangat dekat dengan kepala Anda. Tak heran jika Desa Tangkeno dijuluki dengan nama “Negeri di Awan”.
Gunung Sangia Wita sebenarnya lebih rendah dari tiga gunung lain, masing-masing Gunung Sabampolulu yang memiliki ketinggian 1,500 mdpl (gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara), Gunung Puputandasa dan gunung Putolimbo yang memiliki ketinggian 1,200 Mdpl. Sedang di bagian depan ke empat gunung tadi berdiri kokoh gunung Watu Sangia (1,100 meter Mpdl).
Sangia Wita berarti Tanah Dewa, Watu Sangia berarti Batu Dewa. Sedangkan, Sabampolulu artinya muncul dan mengejar. Sabampolulu sendiri memiliki arti muncul dan mengejar. “Jika dikaitkan dengan rencana Kabaena menjadi daerah otonomi baru maka berarti nama Sabampolulu menjadi strategis, yakni, daerah baru yang mengejar ketertinggalan dari daerah lain,”ujar Madjid Ege.
Sejak dulu gunung-gunung Kabaena menjadi incaran para investor tambang. Di jaman penjajahan, tentara Jepang pernah berusaha untuk menambang nikel di kawasan ini. “Saat datang, Mereka (Jepang) memaksa rakyat menggali tanah dan membawanya ke kapal yang berlabuh di Sikeli,”kata Marudi, warga Tangkeno. Tak heran banyak terdapat lubang-lubang galian di sekitar gunung Sangia Wita, Puputandasa dan gunung Putolimbo.
Perang berakhir tak berarti penjajahan sumber daya alam pergi dari Kabaena. Kabaena menjadi daerah incaran investor asing. PT INCO, Tbk, bahkan, mengklaim wilayah kabaena di bagian selatan dan tengah menjadi wilayah konsesi mereka, namun urun ditambang tanpa alasan yang jelas.
Booming tambang di tahun 2008 silam, negeri tokotua diserbu perusahaan tambang, dari investor luar hingga lokalan. Tanah di seantero pulau Kabaena tak ada yang tidak dikapling. Tambang benar-benar mengubah pola hidup rakyat. Mereka yang terlanjur tergiur duit instan berlomba menjual tanah. Budaya dan kearifan lokal pun terpinggirkan. Kondisi yang membuat Madjid Ege resah. “Dulu orang tua kami punya falsafah yang kuat atas tanah yang wajib dijunjung tinggi. Kehadiran tambang telah membuat orang-orang kabaena silau mata. Falsafah leluhur itu telah diabaikan,”kata Abdul Madjid Ege.
Bagi Madjid, tanah adalah ruang hidup orang-orang Tokotua. Tak heran tanah benar-benar mendapat perlakuan istimewa sebagaimana termaktub dalam falsafah hidup orang Tokotua.
Tentang itu, Madjid Ege menjelaskan tiga palsafah tentang tanah, yakni, wita wutonto atau Tanah adalah diri kita yang berarti, janganlah menjual tanah karena sama artinya menjual diri kita.
Kemudian, , wita toroanto atau tanah adalah tempat kehidupan, mengandung arti Tanah adalah kehidupan kita, maka janganlah menjual tanah karena sama saja kamu menjual sebagian kehidupanmu. Dan, wita petanoanto atau tanah adalah kuburan kita yang mengandung arti janganlah engkau menjual tanah, karena sama saja menjual kuburanmu sendiri.
Dengan falsafah itu, orang kabaena saat hendak menjual tanah, maka pantang bagi mereka menyebut menjual tanah, melainkan menjual kebun atau rumah. “Tidak boleh menyebut menjual tanah, mengingat tanah adalah sumber kehidupan kita,”kata Madjid.
Berpedoman pada falsafah itu, membuat Madjid teguh pada pendiriannya. Pria yang pernah meraih penghargaan sebagai Tokoh Anti Tambang dari Organisasi Jaringan Anti Tambang di Jakarta dengan tegas menolak tanah-tanah di Pulau Kabaena eksploitasi untuk kepentingan tambang. “Walau sebagian besar tanah Kabaena sudah dieksploitasi oleh pertambangan, namun tidak untuk Desa Tangkeno !!!,”tegasnya.
Madjid tak sedikit pun tergiur dengan bujuk rayu pengusaha tambang. Setidaknya itulah yang dilakukan Madjid Ege saat tiga perusahaan tambang nikel hendak mengeksploitasi tanah di Desa Tangkeno tahun 2009 silam.
Madjid bercerita, saat itu orang-orang suruhan perusahaan silih berganti masuk ke desa membawa surat ijin menambang yang diterbitkan pemerintah. Bukannya disambut baik, namun justeru ditolaknya dengan keras. Penolakan itu membuat orang-orang perusahaan tambang protes dan menanyakan dasar penolakan yang dilakukan Madjid.
“Kepada mereka (orang perusahaan tambang, Red) saya bilang, benar Anda punya ijin dari pemerintah, tapi harus melalui sosialisasi terlebih dahulu pada masyarakat adat. Dan kalau masyarakat adat tidak mengijinkan, maka perusahaan tambang tidak berhak untuk menambang di kawasan hutan adat. Jadi setiap masuk, perusahaan selalu tidak bisa menambang di Tangkeno,”ungkapnya.
Klaim hutan tangkeno sebagai hutan adat, terwariskan turun temurun. Jejak kejayaan peradaban masa lampau dengan mudah ditemukan di desa ini. Dalam catatan sejarah, kerajaan Tokotua atau kabaena pernah memerintah di sekitar abad 16. Pusat kerajaan berada di Tangkeno. Situs sejarah Benteng Tawulagi yang menjadi tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelusuran para ahli sejarah dan budayawan, bahwa, di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo.”Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan,” katanya. Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.
Selain Benteng Tawulagi, masih ada beberapa benteng lain, yaitu, Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari.
Madjid menjelaskan, Benteng Tawulagi merupakan benteng utama sekaligus tempat pelantikan mokole, sedangkan Benteng Mataewolangka merupakan tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara. Serta benteng Tuntuntari dan Tontowatu merupakan benteng mengintai dari arah timur. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal.
Keberadaan situs-situs sejarah masa lalu menjadi bukti tak terbantahkan, sekaligus menjadi alat perjuangan bagi masyarakat tangkeno untuk menjadikan desa wisata sekaligus alat untuk menolak kehadiran tambang.
Terlebih dicanangkannya Desa Tangkeno sebagai Desa Wisata, setidaknya membuat Madjid Ege sedikit bernapas lega. Menjadikan desa berpenduduk 200 KK sebagai destinasi wisata berarti telah ikut menyelamatkan daerah Tangkeno dan sekitarnya dari kerusakan akibat ancaman ekspoitasi tambang.
Sebagai Ketua Adat, harapan Madjid Ege memang tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin agar tanah kelahirannya itu tetap lestari. Berbicara dihadapan belasan wartawan, nada suara Madjid memelan. “Ketika bentang alam kita rusak, apalagi yang mau dilihat. Hari ini, boleh saja kita mencari kekayaan dari pertambangan, tetapi pernahkah kita berpikir, bahwa, di hadapan kita masih ada anak cucu kita yang masih mau menikmati keindahan alam,” ujarnya.
“Hari ini kita boleh perkaya diri, tapi ketika alam ini hancur, pernahkah kita pikirkan bahwa ke depan itu masih banyak generasi yang akan tumbuh. Kita yang tua ini akan mati,”tambahnya.
Berada di ketinggian, serta hutan alam yang masih perawan, membuat Tangkeno memiliki nilai strategis bagi lingkungan hidup di kawasan itu. Kawasan hutan menjadi benteng pertahanan alam khususnya pemasok ketersediaan air di kawasan Kabaena Tengah.
Penggiat LSM Sagori, Sahrul Gelo menyebut, di kawasan hutan tangkeno terdapat sungai-sungai besar yang mengalir ke berbagai kawasan di Kabaena Timur, Kabaena Utara, Kabaena Selatan, Barat dan Tengah. Dengan kata lain, hutan dan pegunungan di kabena tengah merupakan “menara air” bagi pulau berpenduduk sekitar 31.000 jiwa tersebut.
Ketegasan Madjid yang didukung warga, secara sadar telah menjadikan Tangkeno sebagai benteng pertahanan alam Pulau Kabaena, yang diharapkan dapat menyelamatkan kehidupan sebagian besar penduduk Tokotua. “Ini yang membuat saya harus bertahan menolak tambang. Kalau saya terima tambang, itu berarti saya ikut menghancurkan kehidupan alam Tangkeno, dan saya akan memikul dosa berkepanjangan. Tidak hanya itu, orang-orang yang tinggal di bawah sana akan protes dan berdemo di Tangkeno,”kata Abdul Madjid Ege.
Serbuan tambang sempat merambah hingga ke Tangkeno. Setidaknya, tiga perusahaan tambang saling berebut mengkapling tanah dan bukit-bukit di Tangkeno untuk dijadikan wilayah konsesi tambang. Namun, Kepala Desa bersama warga desa menentang keras. Mereka sepakat untuk tidak mengijinkan sejengkal tanah pun ditambang di daerahnya. “Tidak satu genggam pun tanah boleh dibawa dari Tangkeno,”tegas Majid Ege.
Sekali waktu, orang sewaan perusahaan mencoba mengambil sampel tanah di wilayah Tangkeno. Mereka memperalat warga dari desa tetangga melakukan penggalian tanah secara sembunyi-sembunyi. Aksi ini ketahuan warga Tangkeno dan langsung melaporkan ke Abdul Majid Ege, selaku kepala desa. Mendapat laporan. darah Madjid kontan mendidih. Lelaki tua itu marah besar dan langsung bergegas menemui para pelaku. “Saya minta, tanah yang ada di mobil ini tidak boleh dibawa pergi, saya minta tidak segenggam tanah pun kalian turunkan di desa terongko tua. Tanah-tanah kalian ambil ini harus dikembalikan di Desa Tangkeno,”hardik Madjid.
Kepada Madjid Ege, pesuruh perusahaan beralasan mengambil tanah sebagai sampel untuk diperiksa kadar nikelnya. “Mereka bilang hanya mau tau berapa kadar nikelnya. Tapi Saya bilang, tidak perlu kalian tau,”kata Madjid.
Sikap keras Madjid bukan tanpa alasan, sebab jika perusahaan mengetahui kadar nikel tanah di Tangkeno, maka dipastikan perusahaan dengan segala cara akan mengeksploitasi tanah di Tangkeno. “Kalau mereka tau kadar nikel di sini, maka itu artinya kami akan kalah. Karena perusahaan itu punya uang. Semua mereka bisa beli. Walau kami harus bertahan, tapi perusahaan bisa meminta pemerintah menekan kami. Perusahaan bisa leluasa karena didukung pemerintah dan mereka itu punya kekuatan untuk tekan kita,”jelas Madjid.
Aksi Madjid membuat orang-orang perusahaan menyerah. Tanah milik desa tangkeno yang sudah diambil langsung diturunkan dan setelah itu langsung pulang. “Perusahaan gunakan orang desa sebelah untuk mengambil sampel tanah, karena tidak berani mengambil orang tangkeno karena pasti saya pasti larang,”.
Madjid cukup sadar jika sikap kerasnya menentang kehadiran tambang di desanya, memiliki konsekuensi besar, bagi diri dan keluarganya. Namun, tanggung jawab sebaai ketua adat sekaligus kepala desa membuatnya teguh memilih berada di jalur yang dianggapnya benar.
“Saya tidak tau ke belakang nanti, saya tidak tau apakah anak-anak itu masih mau bertahan seperti saya atau tidak,”kata Madjid. “Tapi untunglah desa ini sudah menjadi desa wisata, semoga selalu terlindungi dan tidak lagi diganggu dengan tambang,”ujarnya.
“ Sangat sayang kalau bentang alam ini rusak, sebab sejak kecil kami ke hutan-hutan yang lebat, rimbun, sangat sayang kalau jadi tandus, nanti tidak ada lagi kesejukan di tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa kita andalkan,”.
Air Aren Kabaena Tengah
Semula saya mengira air enau atau aren itu mengandung alkohol. Ini tak lepas dari cerita miring tentang minuman keras di beberapa daerah yang berbahan air enau. Di Kabupaten Muna misalnya, air enau disebut Kameko, di Bombana orang menyebutnya Konau, sedangkan di Sulawesi Selatan disebut Saguer. Namun, setelah mendapatkan penjelasan dari pembuat gula aren di Desa Tangkeno, barulah saya mengerti, jika air aren yang sebenarnya adalah berasa sangat manis dan jika diminum tidak memabukkan.
Air aren lebih nikmat jika dimasak hingga mendidih dan jika hidangkan saat hangat, sensasinya membuat tubuh segar bugar. Oleh petani, air aren sendiri adalah bahan baku utama membuat gula aren atau gula merah. Inilah yang banyak dilakoni warga di Desa Tangkeno, Kecamatan Kabaena Tengah, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Dalam perjalanan jurnalis trip yang duigelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari, medio Agustus 2016, saya dan belasan jurnalis mendatangi sentra penbuatan Gula Aren yang berjarak sekitar dua Kilo Meter dari Desa Tangkeno. Letaknya, di lembah yang subur, penuh dengan aneka tanaman jangka panjang. Saat tiba, hari masih sangat pagi. Matahari belum nampak di ufuk. Kami mendapati Amar (26 tahun) bergulat dengan asap pekat di dalam gubuk miliknya. Sesekali Ia menyeka matanya yang terus berair dengan kain baju yang disampir di bahu. Asap berasal dari proses pembakaran kayu di tungku tanah yang dibuat khusus dengan cara melubangi tanah seukuran satu meter.
Ya, setiap pagi buta, pria bertubuh jangkung itu sudah berkutat dengan pekerjaan membuat gula aren. Kedua tangannya terus bekerja. Tangan kanan mengaduk-aduk air nira dalam wajan tua yang telah mendidih. Sesekali tangannya mengipas bara kayu di tungku tanah agar api tetap menyala.
Bagi Amar pekerjaan ini telah dilakoninya sejak masih duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar. Pengetahuan itu turun dari ayahnya, Burhan, yang juga seorang pembuat gula aren di Desa Tangkeno. “Ini sudah semacam bisnis keluarga, dan membuat gula aren sudah turun temurun,”ujar Amar.
Gubuk berukuran 6 x 5 meter dan berdinding papan kayu dibangun Amar di pinggir jalan desa, tepat di area kebun cengkeh miliknya. Ia tak sendiri bekerja di gubuk itu. Sehari-hari Ia ditemani, Rahul dan Gunar yang masih kerabat dekatnya. Namun di hari itu, kedua rekan Amar berhalangan hadir, membuat pemuda asal Tangkeno itu harus bekerja ekstra. Bekerja memproduksi gula aren memang tak gampang, karena, memerlukan beberapa tahapan pekerjaan, seperti, kegiatan menyadap air aren, memasak air aren hingga proses pencetakan. Karena kerumitan itu, warga menyiasati dengan membentuk kelompok usaha bersama.
Di seantero Pulau Kabaena, Desa Tangkeno dikenal sebagai desa penghasil gula aren bercita rasa tinggi. Karena kualitas gula yang dihasilkan cukup baik, maka banyak pedagang dari Sikeli dan sekitarnya memesan gula di desa ini. Setidaknya, terdapat 10 kelompok usaha gula aren di desa itu. Salah satunya kelompok usaha milik Amar. Pemuda yang baru saja menikah itu mengaku, dalam seminggu Ia dapat memproduksi gula aren sebesar 300 Kg. Namun, semua tergantung pesanan. Sebongkah gula aren dihargai 7000 rupiah, ukurannya kecil karena dicetak dalam batok kelapa.
Di Tangkeno, bahan baku air aren tidak lah sulit, sebab, pohon-pohon aren tumbuh subur di hutan desa, khususnya di lembah-lembah bukit dekat sumber air. Ada juga pohon aren yang tumbuh di areal perkebunan warga. Setiap pohon aren diberi tanda khusus berupa bambu betung berdiameter 30 cm dan memiliki panjang satu meter, lengkap dengan nama pemiliknya. Bambu tak sekedar sebagai penanda hak milik, tetapi berfungsi sebagai penyimpanan air nira yang telah disadap.
Sayang, tradisi membuat gula aren tidak lagi dilakoni banyak orang di Kabaena, seiring kehadiran pertambangan di Pulau berpenduduk 30 ribu jiwa tersebut. Pola hidup warga yang dulunya sebagai petani aktif, perlahan berganti menjadi masyarakat konsumtif. Banyak warga kini telah menjual tanah dan areal perkebunan mereka ke investor tambang karena tergiur uang instan.
Kondisi yang membuat penggiat LSM Sagori, Sahrul Gelo, sedih sekaligus geram dengan sikap pemerintah daerah yang terus mengeluarkan ijin tambang di daerah itu. “Terdapat 30 Ijin Usaha Pertambangan di Pulau Kabaena. Pemberian ijin tambang di Pulau Kabaena telah mengubah perilaku sosial dan budaya di masyarakat Kabaena. Masyarakat yang dulunya sebagai petani kini menjadi buruh tambang. Warga kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagai petani karena tidak ada lagi lahan yang dapat digarap,”ujar Sahrul Gelo.
Ancaman hilangnya pangan lokal kini semakin di depan mata. Hasil penelitian LSM Sagori, salah satu lembaga yang bernaung di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan telah 15 tahun bekerja di Pulau Kabaena, menemukan fakta mencengangkan, dimana, saat ini ketergantungan masyarakat dengan pangan impor telah mencapai 90 persen. “Dulu pangan lokal cukup tersedia di Kabaena, karena hampir setiap warga memiliki areal pertanian sendiri. Kita mau makan beras merah, sayuran dan daging semua tersedia dengan mudah. Nah, kini daun kelor saja sudah diimpor dari luar kabaena, ini sangat ironis,”kata Sahrul Gelo.
Naskah dan Foto: Yoshasrul