Tidak banyak masyarakat Kota Kendari yang mengetahui bahwa selama ini masyarakat yang tinggal di hulu daerah aliran sungai (DAS) yaitu Desa Ueesi Kecamatan Uluiwoi, (dulunya bernama Desa Alaha), Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), telah turun temurun dengan penuh kesadaran menjaga kelestarian pasokan air minum intake Pohara.
Sekitar tahun 1992 kebanyakan warga Desa Ueesi berprofesi sebagai petani padi ladang, dan seiring masuknya program Gernas Kakao, masyarakat pun mulai bertani cokelat. Terdapat pula masyarakat yang mencari nafkah dengan mencari rotan serta madu hutan dengan pengelolaan lestari.
Kondisi alam khususnya suasana hijau dan rimbun Desa yang sebelah Utara berbatasan dengan Pegunungan Tangkelemboke, sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Latoma, Selatan berbatasan dengan Pegunungan Tamosi serta Barat berbatasan dengan Pegunungan Mekongga, masih sama seperti tahun 2010 lalu ketika saya bersama tim kecil WWF melakukan jurnalis trip lingkungan ke sana. Yang berbeda hanya tambahan sarana fisik kampung seperti balai desa yang telah rampung serta terdapatnya SMP Satu Atap dan Puskesmas Pembantu (Pustu).
Menurut penjelasan Penggiat Lingkungan, sekaligus pendiri Yayasan Pecinta Alam (Yascita), yang merupakan lembaga pendamping masyarakat pengelola madu hutan, Amir, bangunan fisik yang terdapat di Desa Ueesi berdiri sekitar tahun 2011. Kondisi selebihnya untuk menuju ke Desa Ueesi masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya termasuk jalan masuk desa yang masih pengerasan serta harus melalui beberapa aliran sungai. Satu hal yang berbeda yaitu saat ini sedang dibangun jembatan penghubung antara Kabupaten Konawe dan Koltim, yang mana akses jembatan ini merupakan akses pertama memuluskan kita masuk ke Kecamatan Uluiwoi.
Saat ditemui dikediamannya, Amir tampak antusias berbagi kisah tentang aktivitas masyarakat Desa Ueesi yang dengan sadar tetap mau menjaga kelestarian hutan, tanpa tergiur aktivitas penebangan pohon yang dilakukan oleh oknum di luar desa mereka.
“Kami salut dengan warga desa yang tetap sadar menjaga hutan mereka, meskipun belakangan ini ada oknum yang konon dari Kabupaten Kolaka mengaku telah mengantongi izin penebangan pohon. Kami hanya sedikit khawatir jika tidak ada pembayaran atas jasa lingkungan yang telah mereka lakukan, mereka akan ikut-ikutan menebang pohon, mengingat kondisi kehidupan mereka yang masih sangat membutuhkan,”kata Amir.
Karena hutan di Desa Ueesi termasuk hutan lindung, yang mana masyarakat bisa menebang pohon kalau menanam dulu, maka Yascita mendorong hutan kemasyarakatan (HKM) kerjasama BPDAS Sultra, dengan luas 5 ribu hektar. Tetapi setelah ada verifikais Kemenhut, hanya 3.800 hektar yang boleh dijadikan HKM, pasalnya sisanya masuk dalam kawasan areal peruntukan lain (APL).
“Dalam Program HKM tidak ada penebangan, hanya diperbolehkan pemanfaatnnya untuk jasa lingkungan misalnya mikrohidro dan wisata lingkungan serta pengelolaan hasil hutan non kayu misalnya madu. Untuk madu kami telah cukup berhasil menjadikan pengelolaan madu lestari sebagai mata pencaharian tambahan warga agar tidak merusak hutan, sehingga saat ini kami berharap ada dukungan Pemda berupa rekomendasi HKM Desa Ueesi ke Kemenhut,”ungkap ayah dua anak ini.
Lebih jelas Sekretaris Desa Ueesi, Muharram membeberkan dengan masuknya pendampingan pengelolaan madu hutan secara higienis, semakin meningkatkan kesadaran warga untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Pasalnya mereka berpendapat jika hutan rusak maka mereka tidak akan mendapatkan madu lagi. Bagaimana tidak, sari pati tumbuhan tidak seaneka ragam dulu lagi.
“Untuk saat ini warga hanya berpikir sebatas itu saja, padahal dengan tindakan menjaga hutan, secara langsung mereka telah menjaga sumber air DAS Konaweha yang mengalir lintas kabupaten misalnya digunakan untuk sumber air minum warga Kota Kendari dan pengairan sawah di Kabupaten Konawe,”jelasnya.
Secara terperinci disebutkannya di Desa Ueesi terdapat 733 warga yang siap menjaga hutan, karena sebagian besar warga berprofesi sebagai petani kebun, pencari rotan dan madu hutan. Meskipun demikian pihaknya berharap warga tidak terpengaruh dengan pengambilan kayu di hutan Ueesi.
“Atas apa yang dilakukan itu, kami berharap ada sumbangsi dari warga pengguna aliran DAS Konaweha, entah dalam bentuk apa. Tetapi perlu diketahui fisik dan guru di SD serta SMP satu atap masih sangat dibutuhkan, begitu pula dengan tenaga kesehatan di Pustu, masyarakat pun sangat membutuhkan modal usaha untuk berdagang seperti sandang dan pangan,”harapnya.
Berkenaan dengan harapan itu, stakeholder terkait di Kota Kendari yang mengelola air DAS Konaweha, khususnya intake Pohara yaitu PDAM Kota Kendari melalui Humas PDAM, Sarmin membeberkan PDAM pada intinya tidak menutup mata terhadap kondisi warga di Desa Ueesi.
Tetapi untuk saat ini pihaknya belum dapat memberikan lebih, karena masih menunggu pembicaraan internal sekaligus dasar hukum pemberian bantuan, sebagaimana kebutuhan warga di sana. Apalagi mengingat wilayah administrasi Desa Ueesi yang lintas kabupaten.
“Untuk diketahui beberapa rasa simpati telah kami lakukan untuk warga penjaga kualitas sumber air PDAM Kendari, misalnya di intake Pohara menjadikan warga sekitar sebagai pegawai tetap untuk menjaga intake, begitu pula intake Matabondu menggratiskan air bagi warga sekitar,”bebernya.
Mantan jurnalis salah satu media cetak lokal ini juga mengatakan sebenarnya pernah terpikirkan oleh pihaknya untuk berinisatif membantu warga penjaga kelestarian DAS Konaweha, tidak terkecuali warga hulu Desa Ueesi. Hanya saja sejauh ini belum ada formula yang cocok misalnya dengan retribusi, mengingat alokasi retribusi untuk bantuan harus ada kajian hukum, tepatnya dalam bentuk peraturan daerah (Perda) atau semacamnya.
“Tentunya dalam pengalokasian retribusi untuk kebutuhan warga Ueesi yang berada di Kabupaten Koltim perlu kajian khusus, baik aturan maupun hitung-hitungan persentasenya yang tidak mengganggu biaya operasional perusahaan. Tetapi untuk sementara waktu, silahkan saja warga Ueesi bersilaturahmi ke kami, jika ada kebutuhan yang bisa kami bantu misalnya dalam pelaksanaan ivent hari besar,”kata Sarmin.
Meskipun begitu pungkasnya pihaknya sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan warga Ueesi dalam menjaga debit air DAS Konaweha, agar tetap deras mengalir sampai jauh. Apalagi untuk intake Pohara, dari hampir 20 ribu total pelanggan PDAM se-Kota Kendari, kurang lebih 70 persen dari jumlah itu mengkonsumsi air dari intake Pohara minus Baruga dan Anduonohu.
Sementara itu ditanya tentang keinginan PDAM Kota Kendari akan adanya Perda yang mengatur pemberian bantuan, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kota Kendari, Ir Samsuddin Rahim menjelaskan dilihat dari apa yang telah dilakukan masyarakat Ueesi dengan segala kesederhaaan hidup, ditengah melimpahnya hasil hutan, mereka tetap tidak gelap mata dan tetap mau menjaga hutan, sehingga sudah selayaknya ada jasa lingkungan yang diterima.
“Hubungannya dengan itu, saat ini kami menginisasi pembayaran jasa lingkungan semacam corporate social responsibility (CSR), selanjutnya kami akan meminta akademisi apakah perusahaan daerah seperti PDAM bisa memberikan CSR atau Comdev kepada warga yang berjasa terhadap sumber pengelolaan usaha mereka (air,red),”jelasnya.
Pihaknya berharap Perda tersebut segera disahkan, tentunya setelah melalui tahap studi kelayakan dan studi komparasi. Karena dengan adanya Perda ini PDAM dapat menyimpulkan apakah dapat atau tidak memberikan bantuan dari rekening air yang selama ini dibayarkan pelanggan. “Tetapi intinya komitmen pemberian CSR dikembalikan kepada PDAM Kota Kendari,”tandas pria yang sementara lanjut studi S2 di program perencanaan wilayah (PPW) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari ini.
Apresiasi dan dukungan terhadap pemberian jasa lingkungan juga datang dari Pemkot Kendari mendukung ide dan konsep atas pembayaran jasa lingkungan melalui retribusi PDAM.
“Kita memberi perhatian khusus dengan warga yang menjaga DAS Konaweha, hanya saja aturannya harus kita buat dulu. Tetapi satu hal yang kita ketahui bahwa mengambil air aliran permukaan ada aturan pembayarannya ke provinsi, yang mana sebenarnya dana seperti ini atau sekitar 70 persen harus dikembalikan kepada masyarakat dan ini mungkin yang harus kita diskusikan bersama Pemprov,”demikian Ir. H.Asrun, MEng, kala masih menjabat Wali Kota Kendari.
Penarikan pajak air permukaan rincinya layaknya penarikan pajak BPKB, yaitu pajak dipungut oleh Pemprov tetapi dikembalikan ke daerah asal misalnya Kota Kendari sebesar 70 persen sedangkan 30 persen untuk provinsi.
“Solusi lain keterlibatan Pemkot melalui PDAM dalam bentuk CSR, akan saya pertimbangkan lengkap dengan Perda apalagi ada UU yang mengatur sekian persen dari BUMN dan BUMD untuk masyarakat. Ide ini masukan baru bagi kami dan kami menjadi sadar dengan ide ini, karena itu semoga DPRD segera menyelesaikan Perda CSR itu,”bebernya.
Karena itu yang akan dilakukan pihaknya saat ini yaitu menjadikan PDAM untung dulu, sehingga ide CSR akan diboomingkan karena CSR merupakan kerja yang real. Apalagi sebenarnya bukan hanya Kota Kendari yang menggunakan air DAS Konaweha, mengingat kabupaten lain seperti Konawe pun menggantungkan 18 ribu hektar sawahnya pada DAS Konaweha.
“Dengan langkah pertama membuat PDAM menjadi profitable, antara lain melalui peningkatan harga air dan menurut hitung-hitungan kami bisa membuat PDAM untung dan membayar hutang, maka di tahun 2014 ini PDAM Kota Kendari bisa untung dan membayar hutang sehingga tahun 2015 bisa action CSR,”jelasnya.
Asrun menyarankan agar gubernur untuk menggagas pertemuan lintas daerah pengguna air DAS Konaweha, sehingga ego daerah tidak muncul. Tidak kalah pentingnya mendorong madu tetap terpelihara dan pengelolaan yang higienisnya pun semakin meningkat, siapa tahu bisa menjadi seperti madu Arab. Dengan begitu nilai jual semakin tinggi yang mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat.
“Saran dan masukan dari kami, sekali lagi kalau bisa Pemprov menghimpun kami yang menggunakan air DAS Konaweha, bagaimana menghimpun CSR serta pengelolaan madu demi kesejahteraan dan peningkatan SDM masyarakat daerah hulu. Kami pun siap memasarkan produk madu masyarakat daerah hulu melalui Disperindag dan kerjasama Yascita, mengingat masyarakat telah menjaga DAS Konaweha dengan baik,”sarannya.
Pihaknya pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat Desa Ueesi Kecamatan Uluwoi Kabupaten Koltim, karena tidak disadari mereka telah menjaga hutan sehingga air PDAM intake Pohara tetap masih bisa dikonsumsi masyarakat Kota Kendari.
“Fungsi DAS Konaweha sangat penting dan strategis, khususnya ketersediaan air baik untuk masyarakat maupun lingkungan seperti TNRAW Watumohai, sekaligus DAS Konaweha merupakan lokasi penyimpanan air Sultra, dan mencegah terjadinya kekeringan. Perlu juga kita sadari bahwa alam sudah disiapkan sedimikian rupa oleh sang pencipta, sehingga manusia tinggal menjaga keseimbangannya,”tandas ayah dua anak ini.
Potret Desa Ueesi
Sepintas tak ada yang berbeda dengan Desa Ueesi. Desa ini sama saja dengan desa-desa lain yang masih asri dengan aneka tanaman. Tetapi perbedaan mendasar akan kita temukan pada desa yang terletak dibagian hulu DAS Konaweha ini, tatkala kita berinteraksi dengan masyarakatnya.
Pasalnya meskipun desa berjarak 115 km dari Kota Kolaka atau 160 km dari Kota Kendari, dan jarak tempuh darat kurang lebih tiga jam ini, minim akan sarana dan prasarana memadai, tidak lantas membuat kesadaran masyarakatnya untuk menjaga hutan menjadi berkurang.
Kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga hutan dikarenakan adanya ketergantungan mereka dengan salah satu potensi hutan, yang juga menjadi mata pencaharian mereka yaitu mencari madu hutan. Selain bertani sayuran dan buahbuahan serta berkebun coklat, kemiri, kacang, merica,dankopi. Karena itu tidak mengherankan jika pemandangan desa yang dikelilingi gunung dan hutan senantiasa terlihat hingga saat ini. Yang juga berarti bahwa desa ini jauh dari aktivitas perambahan hutan, baik yang dilakukan masyarakat sekitarmaupun pendatang.
Beruntunglah masyarakat Sultra dengan kearifan local masyarakat Uesi, karena turut menjaga daerah aliran sungai (DAS) Konaweha. Kondisi DAS yang memprihatinkan memiliki korelasi besar terhadap fluktuasi debit sungai Konaweeha yang semakin tajam. Yang tentunya hal ini sangat membahayakan bagi warga Kota Kendari, pasalnya pasokan aliran PDAM berasal dari aliran Pohara (bagian DAS Konaweha), serta bagi Konawe karena sebagian besar pengairan sawah mengandalkan air DAS Konaweha. Karena itu sudah sepatutnya masyarakat Kota Kendari dan Konawe memberikan kontribusi bagi warga hulu, diantaranya warga Desa Ueesi (dulunya desa Alaha) Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka. Pasalnya 733 KK secara turun temurun menjaga hutan, dengan mengabaikan kepentingan pertanian padi mereka. Karena dulunya daerah ini merupakan salah satu lumbung beras (varietas padi gogo).
Untuk diketahui pada bagian Utara desa ini berbatasan dengan pegunungan Tangkelemboke, timur yaitu pegunungan Latoma, selatan yaitu pegunungan Tamosi, dan Barat yaitu pegunungan Mekongga. Berdasarkan data Dinas Kehutanan (Dishut) Sultra tahun 2007, pada daerah ini terdapat tiga jenis hutan, masing-masing Taman Hutan Rakyat (Tahura), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL). Hal ini seperti yang juga diungkapkan Kadishut Kolaka, Abdul Rahim bahwa Kolaka memiliki 631 hektar kawasan hutan yang terdiri dari HP, hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi biasa (HPB), hutan produksi yang bisa dikonversi, dan HL.
“Khusus untuk areal sekitar DAS Konaweha terdapat hutan lindung dan produksi, sehingga di Kecamatan Uluiwoi tidak keluarkan izin pemungutan atau pengolahan hasil hutan kayu. Tetapi lebih dianjurkan untuk memanfaatkan hasil hutan seperti madu dan rotan, mengingat daerah ini berada pada posisi strategis bagi penjagaan hutan, guna ketersediaan air bagi kota Kendari dan kabupaten Konawe,” ungkap Abdul Rahim dengan panjang lebar.
Mengenai cara pengolahan madu yang diterapkan, terdapat suatu NGO yaitu yayasan pecinta lingkungan (Yascita), yang selama ini melakukan pembinaan tentang pengelolaan madu lestari. Sebelumnya masyarakat hanya memikirkan cara mendapatkan madu, tanpa menjaga kelestariannya yaitu dengan sistem peras hingga menghilangkan larva lebah yang masih bisa berproduksi. Tetapi berkat bimbingan dan pelatihan yang difasilitasi Yascita hingga ke Kalimantan, saat ini masyarakat telah menerapkan panen alami dengan sistem iris.Dengan sistem iris ini selain lebih bersih dan higienis, sarang yang masih mengandung larva pun dapat diselamatkan.
Tentunya harganya pun semakin tinggi. Tidak heran tahun 2006 lalu, petani madu Desa Ueesi dapat memasarkan 60 ton madu dengan kualitas terbaik. Pasalnya umumnya kadar air madu dari daerah lain seluruh Indonesia diatas 18 persen, sedangkan madu Ueesi berkadar 18 persen. Kadar ini pun sekaligus menunjukkan kualitas madu Ueesi berskala internasional, pasalnya kadar air internasional maksimal 24 persen. “Karena kualitas madu yang semakin baik sejak adanya panen lestari, permintaan madu mengalami peningkatan, misalnya untuk Kecamatan Uluiwoi yang terdiri dari 13 desa bisa mencapai 7-8 ton per tahun. Belum lagi jika ditambah dengan permintaan Kolaka yang mencapai ratusan hingga ribuan ton per tahun, tentunya dengan harga sesuai kualitas yaitu Rp 36 ribu per botol,” jelas Ketua koperasi serba usaha (KSU) Ueesi Bersinar, Nasruddin.
Karena manfaat madu inilah, membuat masyarakat Ueesi sangat menjaga hutannya. Pasalnya mereka telah merasakan manfaat menjaga kelestarian hutan, guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Yang tanpa mereka sadari perilaku ini turut mendukung ketersediaan air bagi PDAM Kota Kendari dan pengairan sawah Konawe. Bayangkan jika mereka tidak lagi menjaga hutannya dan lebih memilih menebang pohon, yang tentunya pendapatan mereka akan lebih besar dari madu.
Pastinya selain krisis air akan terjadi, banjir pun tidak segan-segan menghantui masyarakat kawasan hilir. Oleh sebab itu, sudah saatnya jika tindakan penjagaan hutan masyarakat Ueesi, diberikan kontribusi oleh masyarakat hilir pengguna air. Misalnya dengan menyisihkan beberapa persen dari rekening PDAM, untuk diberikan pada masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka.
**
ULUIWOI merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Kolaka, yang letaknya paling ujung dari Kabupaten Kolaka dan merupakan daerah hulu dari daerah aliran sungai (DAS) Konaweha. Dibanding dengan kecamatan lainnya kondisi beberapa desa di kecamatan ini cukup lumayan. Misalnya pada Desa Ueesi yang dulunya bernama Alaaha, meskipun warga desa ini telah sadar menjaga hutan, namun kondisi ekonomi mereka masih memprihatinkan. Mereka memang menjaga hutan tanpa mengharapkan imbalan apa-apa dari para pengguna air DAS Konaweha.
Mereka merupakan salah satu desa selain desa Ahilulu, Alaaha dan Liku Walanapa yang sampai dengan saat ini tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih jauh dari layak. Karena awalnya warga masih bisa menanam padi bahkan menjadikan desa itu sebagai lumbung beras (sesuai dengan nama awalnya dari bahasa daerah Tolaki, Ala=lumbung dan aha=besar), tetapi karena untuk menjaga hutan sebagaimana yang diinstruksikan Dinas Kehutanan setempat berdasarkan UU kehutanan untuk menjaga hutan, maka masyarakat mulai mencari alternatif mata pencaharian lain selain bertani padi ladang, guna menjaga hutan yang berimplikasi pada keterjaminan air sawah irigasi Konawe dan air bersih PDAM Kendari.
“Sekitar tahun 1982 warga desa Alaaha (sekarang desa Uesi) Kecamatan Uluiwoi masih dominan bertani padi ladang, tetapi setelah beberapa tahun kemudian warga beralih menjadi petani cokelat, seiring dengan masuknya program Gerhan Dishut. Meskipun demikian warga tetap menjaga hutan, seperti mengganti pohon yang ditebang pada kemiringan diatas 30 derajat untuk keperluan membangun rumah, dengan tanaman jati,” terang Sekretaris Desa (Sekdes) Uesi, Muharam.
Selain bertani cokelat dengan membuka kawasan pada hutan produksi, warga pun mencari alternatif pencaharian menjadi pencari rotan di hutan,sesuai dengan nama desanya yaitu Ue= rotan dan esi yaitu kecil. Yang walaupun hasilnya kurang menjanjikan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tetapi warga terpaksa menjalaninya. “Menjadi pencari rotan saya jalani, sambil menunggu hasil kebun cokelat saya. Karena sebelum panen, saya tidak memiliki biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terang warga Uesi pencari rotan, Bio.
Dirinya menjelaskan demi mendapatkan uang senilai Rp 32 ribu saja, dirinya harus mencari rotan berkilo-kilo meter di dalam hutan selama tiga jam. Ditambah dengan waktu membawanya melalui jalur aliran DAS Konaweha, selama dua malam. “Dalam mencari rotan kami biasanya berkelompok sebanyak 10 orang, dengan perolehan 15 kwintal (35-40 batang rotan). Adapun harga jualnya hanya Rp 32 ribu per kwintal, yang untuk sampai di lokasi penjualan yaitu Unaaha, membutuhkan waktu dua malam dan itu pun melalui aliran DAS Konaweha yang deras,” jelasnya.
Selain bertani cokelat dan mencari roran di hutan, sebenarnya warga Uesi telah turun temurun berprofesi sebagai petani madu. Seiring dengan perkembangan pengelolaan madu yang memperhatikan kelestarian lingkungan, masyarakat pun mulai diperkenalkan dengan pengelolaan madu lestari dan memperlancar jalur pemasaran madu mereka, memalui wadah koperasi. Kontribusi nyata ini dapat terwujud dengan baik, atas pendampingan salah satu non goverment organisation (NGO) lingkungan yaitu yayasan pecinta lingkungan (Yascita).
Menurut Ketua Internal Control System (ICS) kelompok petani madu Ueesi, Dedi banyak keuntungan yang diperoleh warga semenjak mulai menerapkan panen madu lestari dan tergabung dalam koperasi serba usaha (KSU) Ueesi Bersinar. Keuntungannya dari hal perbaikan sistem panen, dari yang tadinya memeras (tradisional) menjadi irisan (modern). Yang tentunya berhubungan dengan peningkatan kualitas madu. “Dengan diiris selain sarang yang belum berproduksi dapat kembali difungsikan, anakan lebah madu pun dapat terselamatkan. Sehingga kualitas madu yang biasanya bercampur kotoran dan anakan lebah menjadi tidak lagi demikian, serta yang tadinya madu hanya bertahan dua tahun saja karena diperas, sekarang dengan menggunakan cara iris dapat bertahan hingga empat tahun,” ungkapnya.
Sementara itu Ketua KSU Ueesi Bersinar, Nasruddin menuturkan sejak 2006 lalu hampir semua petani madu Ueesi telah tergabung dalam kelompok petani madu KSU Ueesi Bersinar, tentunya dengan menerapkan sistem panen lestari. “Dengan diterapkannya sistem panen lestari, selain kualitas madu meningkat dari Rp 10 ribu pada 2009 lalu, menjadi Rp 35 ribu 2010 ini, sekaligus warga semakin menjaga kelestarian hutan. Pasalnya dengan tetap lestarinya hutan, lebah-lebah akan tetap menghasilkan madu karena masih tersedianya berbagai sari bungan di hutan,” tuturnya.
Karena berbagai manfaat yang diperoleh tersebut, tidak mengherankan jika saat ini anggota KSU Ueesi Bersinar berjumlah 100 orang lebih. Yang pada musim madu sejak Oktober hingga Januari bisa mencapai 7-8 ton. “Jumlah ini belum mencukupi kebutuhan madu lokal se-Sultra, yang mana berdasarkan hasil pertemuan antar anggota Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) 2006 lalu, diketahui bahwa madu Ueesi termasuk madu kualitas terbaik seluruh dunia, karena hanya berkadar air 18 persen dari kadar air internasional maksimal 24 persen. Berbeda dengan madu daerah JMHI lainnya yang berkadar air lebih dari 18 persen,” tambah Nasrudin.
Selain kesejahteraan masyarakatnya yang masih butuh perhatian pemerintah setempat dan masyarakat hilir, pendidikan dan kesehatan pun tidak kalah mendesaknya untuk segera dilakukan pembenahan. Pasalnya sekolah yang ada hanya SD dan SMP, itu pun dengan kondisi SD yang masih berdindingkan papan, serta hanya terdiri dari tiga bilik karena sebelumnya SD itu merupakan peninggalan dari Desa Alaaha. “Untuk mensiasati hanya terdapatnya tiga bilik yang berukuran 6×7 meter, maka murid kelas I sampai III masuk lebih awal dan kelas IV sampai VI masuk pagi. Karena itu kami masih sangat membutuhkan tambahan empat ruangan lagi, termasuk ruang guru,” pinta guru SDN 1 Ahilulu yang letaknya bersebelahan dengan Desa Ueesi, Anwar.
Permintaan serupa juga dilontarkan warga DesaUeesi, Sahtrul yang sejak 68 tahun lalu telah tinggal di Ueesi. “Kalau memang ada bantuan, tolong kami dibangunkan SMA dan Puskesmas karena kedua sarana itu hanya terdapat di Kecamatan, yang letaknya 23 km dari desa Ueesi. bayangkan saja anak-anak setiap hari harus berjalan kaki sejauh itu, begitu pula warga yang sakit yang harus mencari transportasi dulu, karena susahnya mobil,” kata Sahtrul.
Permintaan warga ini cukup berasal, pasalnya selama ini hanya program Kabupaten Kolaka (Gerbang Mastra) dan Provinsi (Bahteramas) yang diterima masyarakat. Itupun hanya berupa pengerasan jalan dan pembangunan kantor desa, yang lagi-lagi bantuan pembangunan kantor desa belum rampung hingga saat ini, padahal dana Rp 64 juta sejak 2009 lalu telah dikucurkan.
Padahal jika masyarakat hilir (Konawe dan Kota kendari) sadar, mereka pun dapat memberikan kontribusi berupa insentif dari rekening air yang mereka gunakan per bulannya. Bayangkan saja berapa banyak insentif yang dapat diberikan oleh pelanggan PDAM Kota kendari, jika 18 ribu pelanggannya dapat menyisihkan Rp 100 per bulan per pelanggan.
Tentunya hal ini butuh hitung-hitungan pihak berkompeten, begitupula persetujuan pelaksanaan pemberian insentif ini. Tetapi kalau masyarakat hulu sadar dan pemerintah memfasilitasinya, tidak menutup kemungkinan hal ini akan terealisasi. Tentunya insentif tersebut dipergunakan untuk skala prioritas warga setempat seperti pendidikan, kesehatan dan pengadaan mata pencaharian lain berupa pembelian bibit tanaman pertanian, yang sifatnya tidak merambah dan merusak hutan.
DAS Konaweha, Potensi Terabaikan
Meskipun telah banyak kali disuarakan dan dipublish melalui berbagai media massa se- Sultra, tidak membuat pemerintah daerah (Pemda) beserta stakeholder terkait peduli dengan kondisi daerah aliran sungai (DAS) Konaweha. Mungkin masing-masing Pemda hanya memandang permasalahan DAS sebagai tanggung jawab masyarakat hulu saja, padahal DAS merupakan suatu daerahyang dibatasi oleh garis ketinggianyang menerima, mengumpulkan airhujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui satu outlet. Dengan komponen yang meliputi hutan, sungai (hulu sampai hilir) dan daerah sekitar sungai. Sehingga kelestarian DAS menjadi tanggung jawab bersama.
Karena itu sistem DAS memiliki arti penting hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan mempengaruhi daerah komponen DAS di daerah hilir. Tentunya kerusakan hutan di hulu akan berpengaruh pada kondisi sungai di hulu hingga hilir, sehingga keterkaitan antara hulu dan hilir akan melahirkan konsep untuk mengembangkan suatu indikator yang mampu menunjukkan kondisi DAS yang baik.
Untuk DAS Konaweha dilalui kabupten Kolaka, Kolaka Utara (Kolut), Konawe, Konawe Utara (Konut), Konawe Selatan (Konsel) dan Kota Kendari. DAS yang merupakan aset besar Sultra yang terlupakan, memiliki hulu di kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka dan muara di Kecamatan Sampara kabupaten Konawe itu.
Saat ini terdapat 352.527,67 hektar lahan kritis, disebabkan karena terjadinya erosi dan sedimentasi yang tinggi, akibat adanya okupasi lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Seperti yang semakin marak tampak saat ini, yaitu penambangan pasir kali.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, hutan Ueesi telah jelas bertindak sebagai salah satu penentu tetap lestarinya DAS Konaweha. Sehingga tindakan masyarakat untuk mengelola madu hutan sangat mendukung terwujudnya DAS lestari. Mengingat hutan Ueesi dapat menjadi penahan tanah pada areal kelerengan tinggi, selanjutnya jika terjadi hujan maka air hujan akan meresap ke tanah dan menjadi air tanah. Dimana air tanah di daerah hulu juga merupakan cadangan air bagi sumber air sungai, yang juga berarti akan terdapatnya stok air di musim kemarau. Dan tidak terjadinya banjir di musim penghujan.
Sebagaimana yang dilakukan masyarakat daerah hulu (Desa Ueesi Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka) yang sadar untuk tetap menjaga hutannya. Mereka patuh terhadap peraturan yang ditetapkan Dishut setempat, yaitu masyarakat hanya boleh mengambil kayu maksimal lima kubik untuk membangun rumah, serta bagi pengambil kayu misalnya warga Ueesi yang bertempat tinggal di kabupaten lain seperti Unaaha harus mengantongi izin dari aparat desa.
Setelah menebang pun, masyarakat diharuskan menanam pohon jati pada areal tersebut, sehingga tidak ada satu pun masyarakat yang berani menebang pohon dengan seenaknya. “Selain itu warga pun sadar kalau hutan sangat penting, bukan hanya untuk ketersediaan air DAS Konaweha bagi pengairan sawah Konawe dan keterjaminan PDAM Kota Kendari. Tetapi juga bagi petani madu, yang saat ini telah menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan bagi warga,” tutur Sekretaris Desa (Sekdes) Ueesi, Muharam.
Meskipun demikian, ternyata perilaku masyarakat hulu untuk tetap menjaga hutan tidak dilakukan juga oleh masyarakat pengguna DAS lainnya, yaitu di bagian tengah dan hilir. Tampak dengan maraknya konversi DAS untuk pertanian, perkebunan dan tambak di bagian tengah (Konawe, Konsel dan Kolut), pasalnya Kabupaten tersebut sebagai penyumbang terbesar dari tingginya laju sedimentasi. Hal ini diperparah dengan masih terdapatnya aktivitas penambangan pasir kali di daerah hilir (Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe). Berbagai aktivitas tersebut semakin mempercepat erosi pesisir dan kekeringan beberapa mata air di DAS ini.
Untuk itulah, alangkah bijak dan arifnya jika Pemda menjadi pionor pergerakkan penyelamatan kawasan DAS. Tentunya dalam pengelolaan DAS juga melibatkan stakeholder lainnya. Mengingat permasalahan DAS tidak mungkin diselesaikan oleh satu instansi saja, misalnya Dephut dan BP DAS. Tidak kalah pentingnya dukungan dan keterlibatan masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi.
Hal ini seperti yang diungkapkan Kasi Kelembagaan BPDAS Sampara, (Henry Yono), jika perilaku masyarakat di daerah hulu (Kolut dan Konut), sangat menentukan pemenuhan airbagi masyarakat didaerah tengah (Konawe) dan hilir (Kota Kendari). Tetapi kendala yang dihadapi saat ini sering kali masalah DAS hanya dipandang sebagai kewajiban warga hulu, padahal manfaatnya digunakan masyarakat tengah dan hilir. Meskipun sampai dengan saat ini belum dilihat kontribusi nyata daerah tengah dan hilir. “Persoalan ini salah satunya muncul karena satu DAS dibagi per wilayah administrasi, sehingga ketika di daerah Konut dibuka kelapa sawit maka akan berdampak ke daerah hilir. Konsekuensinya dari segiekologi merubah ekosistem hutan, sedangkan ekonomi yaitu biaya pemulihan yang ditanggung sangat besar,” terang Henry Yono.
Meskipun telah banyak kali disuarakan dan dipublish melalui berbagai media massa se- Sultra, tidak membuat pemerintah daerah (Pemda) beserta stakeholder terkait peduli dengan kondisi daerah aliran sungai (DAS) Konaweha. Mungkin masing-masing Pemda hanya memandang permasalahan DAS sebagai tanggung jawab masyarakat hulu saja, padahal DAS merupakan suatu daerahyang dibatasi oleh garis ketinggianyang menerima, mengumpulkan airhujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui satu outlet. Dengan komponen yang meliputi hutan, sungai (hulu sampai hilir) dan daerah sekitar sungai. Sehingga kelestarian DAS menjadi tanggung jawab bersama.
Karena itu sistem DAS memiliki arti penting hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan mempengaruhi daerah komponen DAS di daerah hilir. Tentunya kerusakan hutan di hulu akan berpengaruh pada kondisi sungai di hulu hingga hilir, sehingga keterkaitan antara hulu dan hilir akan melahirkan konsep untuk mengembangkan suatu indikator yang mampu menunjukkan kondisi DAS yang baik.
Untuk DAS Konaweha dilalui kabupten Kolaka, Kolaka Utara (Kolut), Konawe, Konawe Utara (Konut), Konawe Selatan (Konsel) dan Kota Kendari. DAS yang merupakan aset besar Sultra yang terlupakan, memiliki hulu di kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka dan muara di Kecamatan Sampara kabupaten Konawe itu.
Saat ini terdapat 352.527,67 hektar lahan kritis, disebabkan karena terjadinya erosi dan sedimentasi yang tinggi, akibat adanya okupasi lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Seperti yang semakin marak tampak saat ini, yaitu penambangan pasir kali.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, hutan Ueesi telah jelas bertindak sebagai salah satu penentu tetap lestarinya DAS Konaweha. Sehingga tindakan masyarakat untuk mengelola madu hutan sangat mendukung terwujudnya DAS lestari. Mengingat hutan Ueesi dapat menjadi penahan tanah pada areal kelerengan tinggi, selanjutnya jika terjadi hujan maka air hujan akan meresap ke tanah dan menjadi air tanah. Dimana air tanah di daerah hulu juga merupakan cadangan air bagi sumber air sungai, yang juga berarti akan terdapatnya stok air di musim kemarau. Dan tidak terjadinya banjir di musim penghujan.
Sebagaimana yang dilakukan masyarakat daerah hulu (Desa Ueesi Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka) yang sadar untuk tetap menjaga hutannya. Mereka patuh terhadap peraturan yang ditetapkan Dishut setempat, yaitu masyarakat hanya boleh mengambil kayu maksimal lima kubik untuk membangun rumah, serta bagi pengambil kayu misalnya warga Ueesi yang bertempat tinggal di kabupaten lain seperti Unaaha harus mengantongi izin dari aparat desa.
Setelah menebang pun, masyarakat diharuskan menanam pohon jati pada areal tersebut, sehingga tidak ada satu pun masyarakat yang berani menebang pohon dengan seenaknya. “Selain itu warga pun sadar kalau hutan sangat penting, bukan hanya untuk ketersediaan air DAS Konaweha bagi pengairan sawah Konawe dan keterjaminan PDAM Kota Kendari. Tetapi juga bagi petani madu, yang saat ini telah menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan bagi warga,” tutur Sekretaris Desa (Sekdes) Ueesi, Muharam.
Meskipun demikian, ternyata perilaku masyarakat hulu untuk tetap menjaga hutan tidak dilakukan juga oleh masyarakat pengguna DAS lainnya, yaitu di bagian tengah dan hilir. Tampak dengan maraknya konversi DAS untuk pertanian, perkebunan dan tambak di bagian tengah (Konawe, Konsel dan Kolut), pasalnya Kabupaten tersebut sebagai penyumbang terbesar dari tingginya laju sedimentasi. Hal ini diperparah dengan masih terdapatnya aktivitas penambangan pasir kali di daerah hilir (Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe). Berbagai aktivitas tersebut semakin mempercepat erosi pesisir dan kekeringan beberapa mata air di DAS ini.
Untuk itulah, alangkah bijak dan arifnya jika Pemda menjadi pionor pergerakkan penyelamatan kawasan DAS. Tentunya dalam pengelolaan DAS juga melibatkan stakeholder lainnya. Mengingat permasalahan DAS tidak mungkin diselesaikan oleh satu instansi saja, misalnya Dephut dan BP DAS. Tidak kalah pentingnya dukungan dan keterlibatan masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi.
Hal ini seperti yang diungkapkan Kasi Kelembagaan BPDAS Sampara, (Henry Yono), jika perilaku masyarakat di daerah hulu (Kolut dan Konut), sangat menentukan pemenuhan airbagi masyarakat didaerah tengah (Konawe) dan hilir (Kota Kendari). Tetapi kendala yang dihadapi saat ini sering kali masalah DAS hanya dipandang sebagai kewajiban warga hulu, padahal manfaatnya digunakan masyarakat tengah dan hilir. Meskipun sampai dengan saat ini belum dilihat kontribusi nyata daerah tengah dan hilir. “Persoalan ini salah satunya muncul karena satu DAS dibagi per wilayah administrasi, sehingga ketika di daerah Konut dibuka kelapa sawit maka akan berdampak ke daerah hilir. Konsekuensinya dari segiekologi merubah ekosistem hutan, sedangkan ekonomi yaitu biaya pemulihan yang ditanggung sangat besar,” terang Henry Yono. <>