Pegunungan Lalolae, menyapih masyarakat jazirah Kolaka Timur (Koltim) dengan madu yang melimpah ruah. Namun ,bising mesin chainsaw penebang liar, selama 10 tahun terakhir, membuat lebah madu stres dan kehilangan rumah. Membuat madu menjadi langka.
————————-
Matahari baru sepenggalah. Di bulan April yang cerah, pagi-pagi benar Jumain (45) warga Desa Siambu Kecamatan Lalolae Kabupaten Koltim bersama keponakannya Imran (30 tahun) bersiap menuju hutan. Maklum di bulan April adalah musim kayu hutan mulai berbunga. Bagi petani Siambu. bulan april adalah bulan dimana lebah mulai bermadu, selain tiga bulan lainnya, yakni Juni, November dan Januari.
Berbekal parang dan ember, dengan penuh semangat keduanya menuruni lembah dan ngarai menggunakan roda dua. “Pagi ini kami akan mengambil madu,”ujar Jumain.
Berjalan sekitar dua kilometer jaraknya, Jumain menghentikan laju kendarannya, lalu berjalan kaki menuruni lembah yang cukup terjal di pinggir jalan raya bersama Imran. Motor dibiarkan terparkir dipinggir jalan.
Lembah berjarak sekitar 100 meter dari pinggi jalan raya, tak heran bunyi kendaraan masih terdengar dengan jelas. “Daerah ini masuk wilayah Desa Lalingato, Kecamatan Tirawuta, itu berarti tidak jauh lagi dari lokasi Kantor Bupati Koltim,”kata Jumain.
Saat berada di lembah, perlahan Jumain mengamati satu per satu batang pohon yang tumbuh cukup rapat. Matanya tajam salah satu pohon yang disebutnya “pohon bunga”. Disebut “pohon bunga” karena memiliki bunga yang banyak dan tinggal di tepat bagin tengah batang pohon yang berjarak kurang lebih empat meter dari permukaan tanah. Nah, sarang lebah yang panjangnya kurang lebih 40 centimeter biasa menempel di antara “pohon bunga”.
Urusan lebah Jumain memang bukan orang baru. Pria dua anak ini bercerita. saat masih duduk di bangku sekolah dasar, sekitar 35 tahun silam , Ia sering mengikuti ayahnya mencari madu di hutan sekitar pegunungan Lalolae. Saat itu hutan masih lebat dan sejuk.
“Dulu untuk mendapatkan sarang lebah, biasanya tak perlu jauh-jauh ke dalam hutan , cukup di dipinggir hutan saja. Dalam satu sarang, paling kurang akan terisi 20 botol minuman mineral ukuran 650 mililiter.
Lebah kata Jumain, paling banyak menempati jenis pohon yang banyak menghasilkan bunga dan kokoh berdiri. Yakni, Pohon Rambutan Hutan yang dalam bahasa latinnya dikenal “Nephelium sp”. Lalu ada Pohon Eha atau “Castonopsis Sp” dan Pohon Asa bahasa latinnya “Lithocarpus cf, Pseudomolucca” yang dalam bahasa daerah setempat atau Suku Tolaki, dikenal dengan Pohon “Eha”.
Namun kurang lebih 10 tahun belakangan, jenis pohon sudah semakin berkurang akibat praktik illegal logging. Tak hanya kehilangan rumah di pohon, bisingnya deru mesin chain saw (mesin pemotong kayu) ikut membuat lebah tak nyaman dan memilih meninggalkan habitatnya.
Panen Madu
Memanen madu memang tak semudah membalikkan tepalak tangan. Jika tak pandai, tubuh bias jadi sasaran jarum lebah. Inilah yang dilakoni Jumain dan Imran. Keduanya Nampak hapal betul bagaimana tidak menjadi sasaran amukan lebah. Mula-mula Jumai membuat obor berukuran besar. Obor dibuat dari kumpulan ranting kering yang dibalut daun aren, lalu diikat kuat dengan rotan. Obor kemudian dibakar dibagian ujungnya. Obor buatan Jumain tidak menimbulkan nyala api, melain hanya berupa asap tebal yang keluar pada bagian ujung. Memang itu tujuannya, hanya untuk mengasapi lebah agar meninggalkan sarangnya.
Sekitar 30 menit kemudian, Jumain berhasil mengusir lebah dan mengambil sarang berisi madu. Namun sayang, sarang madu kurang berisi. Tentu saja Jumain kecewa berat. “Ya beginilah jadinya, banyaknya gangguan membuat lebah malas meneteskan madu,”kata Jumain, ketus .
Meski begitu, Jumain tak membuang sarang lebah. “Sarang lebah tetap diambil, dimasak lebih enak,” cetusnya dengan logat Bugis yang kental.
Dalam mencari madu, memang ada pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh para petani, yakni, tidak boleh berbicara kotor atau sombong. “Kalau pantangan dilanggar, nanti madu yang dicari tidak berisi,” cetus Imran sedikit mengingatkan.
Makin menipisnya sarang lebah berpengaruh besar pada pendapatan warga pencari madu.”Sangat berpengaruh pak, sekarang ini, penghasilan kami bervariasi, paling besar Rp 5 juta per bulan. Kalau dulu, di atas angka itu,”ungkap Imran.
Maraknya perambahan hutan menjadi keluhan warga karena membuat banyak pohon-pohon besar yang ditempati lebah ikut menghilang. “Hutan dibabat membuat lebah pada lari,” tambahnya. sembari menyaksikan sang paman memanjati pohon untuk mengusir lebah dari sarangnya.
Jumain bercerita, bahwa, Ia dan puluhan pencari madu di desanya menjual madu secara eceran seharga Rp 60-70 ribu per botol ukuran 650 mililiter. Warga menjual pada pengumpul yang sudah siap menadah hasil olahan petani.
Di Desa Siambu hanya ada satu pengumpul madu, yakni Mutiara Madu. Ini menjadi langganan paforit petani dan penjual eceran madu di sekitarnya.
Kata Jumain, warga ingin beternak lebah madu sendiri, biar tidak perlu mencari madu di hutan belantara. Pasalnya warga membutuhkan waktu yang tidak sedikit mencari madu di hutan. “Kalau mau serius, dibutuhkan waktu sedikitnya empat hariuntuk mendapatkan madu dalam jumlah yang banyak. Sekarang, banyak permintaan tapi produksi sudah terbatas,” cetusnya, sambil menikmati larva lebah yang sudah dimasak.
Menanggapi keluhan warga, Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Koltim, Yanas, membenarkan, jika hutan dijarah maka pasti lebahnya akan lari. Itu berarti, habit hidup lebah terganggu akaan berdampak pula pada produksi madu yang dihasilkan tak akan banyak.
“Sebetulnya, kita sudah mengacu di hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT). Yang izin IPKHH itu, sebetulnya kita tidak menempatkan lokasi-lokasi itu pada produksi madu, tapi kan imbasnya tetap. Di Pegunungan Lalolae, sebagian ada hutan lindung (HL) sebagian ada HPT.
“Kalau ada pohon pinusnya itu hutan reboisasi dan tidak untuk diproduksi. Kalau ada praktek itu, illegal logging namanya, karena kita tidak memberikan rekomendasi untuk diolah kayunya. Untuk Lalolae, Tinondo dan Ulu Mowewe, hutan produksi terbatasnya hampir 26 ribu hektare,” Jelas Yanas.
Kedepan, kata dia, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Koltim, punya harapan agar masyarakat mau beternak lebah.
“Nah, untuk melestarikan lebah yang alami, nanti, akan dikelola oleh kelompok, agar lebih kuat posisinya dibanding perorangan, utamanya dari sisi pasar atau pemasaran,” ajunya.
Rencana ini, tambah dia, mulai berlaku pada 2015. Pasalnya, lanjut dia, tahun 2014 ini pihaknya tidak menganggarkan, akibat masih mengharapkan produksi madu alami yang ada di Ulu Iwoi dan Ueesi.
Berdasarkan data Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Koltim, Pegunungan Lalolae yang luasnya untuk hutan lindung (HL) 594,72 hektare dan hutan produksi terbatas (HPT) 2.374,06 hektare. Dan, jika dilihat arahnya, biasanya masyarakat bilang “Dari arah Kolaka menuju Kendari”.
Soal madu ini, pernah disampaikan Pejabat (Pj) Bupati Koltim Tony Herbiansyah, bahwa Koltim punya beberapa ikon, salah satunya adalah madu. Namun, akhir-akhir ini menurun disebabkan banyaknya illegal logging, meskipun pihaknya sudah melakukan pengawasan yang begitu ketat melalui polisi hutan (polhut).
Misalnya, dengan melakukann sweeping, yang hasilnya didapatkan 50 kubik kayu yang tidak memiliki surat-surat.
“Untuk memberantas habis pelaku illegal loging ini, sangat susah, karena kita punya personil hanya kurang lebih 30 orang, itupun masih pegawai kontrak. Tapi, pengawasan akan terus diperketat. Itu karena dulu mereka diberi izin untuk memproduksi kayu tertentu, dalam jangka waktu tertentu, tapi waktunya sudah habis, tapi kayunya masih ada,” bebernya.
Kedepan, janji Tony, ia akan mengundang salah satu investor, untuk berinvestasi di bidang penanaman pohon super polonia. Kayu jenis ini, berdasarkan penjelasan sang investor, punya banyak bunga, dan nantinya menjadi sumber makanan lebah untuk menghasilkan madu alami.
Dan, itu salah satu cara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Koltim mempertahankan salah satu ikon kabupaten, bahkan masuk juga menjadi ikon Sultra.
Soal rencana bupati ini, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Koltim Bambang Setyo Budi, merespon, akan menjadikan ikon ini sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) Koltim, yang dikelola melalui Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Koltim.
Sayang, keinginan sang Kepala DPPKAD ini, tak sejalan dengan kenyataan di lapangan, karena hari ini telah kelangkaan produksi madu alami.
Yunus, pemilik Mutiara Madu yang juga pengumpul dari para pecari seperti Jumain menuturkan, seingatnya, dulu usahanya pernah mengekspor dan permintaan itu selalu terpenuhi.
“Namun sekarang, menurun drastis,” ujarnya. Ia mengungkapkan, di Kecamatan Ulu Iwoi, misalnya, tahun 2009 sempat mengumpul hingga 70 drum madu (satu drum setara 300 liter). Namun pada 2013 lalu, dirinya tinggal mengumpulkan sembilan drum, itu pun dari berbagai kecamatan di Koltim.
“Begitu pula di Pegunungan Lalolae, pada 2001 orang bisa mengambil madu hanya di belakang rumah. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ini semua karena ulah pelaku illegal logging. Jangankan kayunya, dengan bunyi chainshaw saja lebah sudah lari. Saya yakin, tahun depan (2015, red), produksi madu alami di Pengunungan Lalolae ini, sudah akan habis” cetusnya dengan nada pesimis.(***)
Dengan teknik panen lestari dan akses pasar yang lebih baik, bukan tidak mungkin madu-madu dari hutan Alaaha, sebuah desa yang terletak di Pulau Sulawesi bagian Tenggara ini dapat menjadi salah satu sumber penghasilan penduduk di pulau yang berbentuk menyerupai huruf “K” ini selain kakao.
Desa yang diapit oleh empat pegunungan yaitu Tangkelemboke, Abuki, Mekongga, dan Tamosi ini memiliki potensi madu hutan (Apis dorsata) sebesar 45 ton/tahun (30 ton diperoleh saat panen pada bulan Oktober-November dan 15 ton diperoleh saat panen pada bulan Maret-April). Cara panen madu hutan di desa ini terbilang unik. Untuk mengusir lebah dari sarangnya, para petani madu membuat asap buatan dari beberapa bilah bambu sepanjang sekitar satu meter yang diikatkan menjadi satu sehingga membentuk silinder.
Agar asap hanya keluar dari satu arah, yaitu melalui bagian atas ikatan bilah bambu, maka sebelum diikat menjadi satu, bagian luar ikatan bambu tersebut ditutupi daun walae. Setelah diikat kuat, bagian bawah ikatan bambu tersebut dibakar. Lalu ketika dirasa cukup banyak asap, barulah ikatan bambu tersebut dibawa mendekati sarang lebah yang akan dipanen.
Di hutan Alaaha, pada satu pohon setinggi 5-6 meter dapat dijumpai 1-2 buah sarang lebah. Masing-masing beratnya dapat mencapai sekitar 10-30 kg. Sarang lebah hutan berukuran sekitar 1x1m ini dapat menghasilkan madu sekitar 25-30 kg.
Proses pemisahan madu dan lilin ternyata cukup mudah. Madu-madu yang telah dipanen, dikumpulkan lalu diiris bagian pipanya kemudian diletakkan di atas kain kasa yang dibentangkan di atas jerigen putih. Cairan madu yang berada di sarang lambat laun menetes ke dalam jerigen. Untuk menunggu cairan madu habis menetes ke jerigen diperlukan waktu sekitar 5-8 jam. Setelah itu, madu baru dapat dikemas ke dalam botol dan siap dipasarkan.
Berbeda dengan panen madu hutan tradisional yang kebanyakan dilakukan hampir di seluruh kawasan di Indonesia, teknik panen di desa ini dilakukan pada siang hari. “Teknik panen di Alaaha yang dilakukan pada siang hari ini merupakan satu keuntungan tersendiri. Di waktu siang, kita dapat melihat larinya lebah sehingga dapat menghindar jika akan disengat, juga memperkecil tingkat kematian lebah yang timbul akibat pemanenan,” tutur Robert Leo dari Keystone Foundation, India yang sengaja datang ke Alaaha untuk melakukan studi banding teknik panen madu hutan.”Ratu lebah yang terbang bersama para pekerjanya kemudian dapat membuat koloni baru di tempat baru pula,” tambah Leo yang turut menyaksikan panen madu hutan pagi itu.
Pemasaran madu hutan
Petani madu di Alaaha tergabung dalam sebuah koperasi yang bernama Koperasi Ueesi Bersinar. Koperasi ini didirikan pada bulan Februari 2006 yang lalu. Salah satu usahanya adalah pengembangan madu hutan yang kini mempunyai anggota sebanyak 30 orang petani madu yang terbagi dalam enam kelompok.
Teknik panen lestari yang kini diterapkan di Alaaha membuat harga madu hutan di kawasan ini terdongkrak naik. “Kalau dengan teknik diperas, 1 kg madu dihargai Rp.10.000,- – 12.000,-. Sekarang, dengan teknik panen lestari, koperasi berani membayar hingga Rp.20.000,- per kilogramnya,” ungkap Dedi, kepala divisi madu hutan di Koperasi Ueesi Bersinar tersebut.
“Jika masyarakat telah melakukan cara panen seperti ini, ditambah harga yang lebih baik, kemungkinan masyarakat di sini akan melakukan teknik panen lestari dan menjualnya ke koperasi. Tapi apakah koperasi mempunyai modal untuk membeli madu-madu tersebut?” tanya Dedi.
Madu dari hutan Alaaha mempunyai kadar air cukup rendah yaitu 21% (biasanya kadar air madu hutan di hutan-hutan tropis berkisar 24% -red), ditambah lagi proses panen lestari yang telah diterapkan oleh para petani madu. Hal ini membuat madu hutan Alaaha tidak akan kesulitan menembus pasar nasional. Terlebih Dian Niaga Jakarta (DNJ) tetap berkomitmen membantu memfasilitasi aspek pemasaran. Ditambah YASCITA, yang yang juga merupakan salah satu anggota Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), yang setia mendampingi masyarakat di desa ini.
“Pemasaran melalui satu pintu untuk pasar nasional dan ekspor mutlak diperlukan. Dian Niaga Jakarta akan membantu ekspor, packaging development, lab test dan lain-lainl,” kata Johnny Utama dari DNJ mengungkapkan komitmennya terhadap madu hutan JMHI. “Yang sudah pasti, untuk tahun 2007 ada permintaan pasar madu hutan sebanyak lima ton. Peluang ini dapat diisi oleh semua anggota JMHI,” ungkapnya.
Ditambahkannya bahwa tahun lalu JMHI memiliki potensi pasar sekitar 200 ton madu hutan, namun DNJ hanya mampu memasarkan tiga ton saja. Yang perlu diingat, ada beberapa persyaratan sebagai supplier yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya harus memiliki SIUPP, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), ijin dari Departemen Kesehatan, ada bar code, dan sertifikat organik.
Pengelolaan madu dengan teknik baru (sistem sunat dan panen siang hari) dan tanpa pemerasan, jelas akan meningkatkan kualitas serta ketersediaan madu di alam. Dengan mutu yang terjaga baik dan label organik maka daya tawar madu hutan semakin meningkat sehingga masyarakat mampu menjual dengan harga yang lebih baik. Selain itu kelestarian alampun akan tercapai. ***
Naskah dan Foto: Sukrianto
Naskah Diterbitkan tahun 2015 Dalam Buku Bunga Rampai Jurnalis Lingkungan Kendari
Penerbit AJI Kendari