Penceramah Ramadan punya satu “password” seragam saat memodium. Rata-rata dari mereka selalu mengimbuhi wejangan spritualnya dengan kalimat “bersyukurlah kita karena masih diberi kesempatan bertemu Ramadan tahun ini, ada saudara kita yang tahun lalu masih sama-sama tarawih, sekarang sudah tak ada lagi”. Biasanya itu diucap saat memulai tauziah.
Setiap kali mendengar itu, jujur saja, saya kerap merinding. Rasa syukur saya membuncah karena masih masuk kategori golongan orang-orang yang dipertemukan kembali dengan Ramadan. Itu berarti, Tuhan masih sayang dan memberi kesempatan saya meratapi segunung dosa, melangitkan ampunan, membenahi diri dan memperbanyak kebajikan.
Bukan apa-apa, rasa gentar saya itu selalu muncul manakala mengingat ada belasan kali Ramadan datang ke kehidupan saya, tapi rasanya hanya melintas saja. Saya hanya ikut puasa, menahan lapar dan dahaga, tapi tak kurang-kurang menggibah orang. Aib saudara sendiri diungkit-ungkit. Pekerjaan saya sebelumnya ada di zona itu, meski mungkin berlindung di balik kata “sudah tabbayun”, dan demi kebaikan bersama.
Dulu saya bekerja di sebuah surat kabar besar di Kota Kendari. 15 tahun saya menghabiskan waktu di tempat itu. Tentu saja demi mencari nafkah. Sayangnya-syukur betul saya karena masih bertemu Ramadan-saya amat jarang atau lebih tepatnya malas ibadah salat malam. Tarawih abai.
Di tempat kerja sebelumnya, mulai 2003 saya diamanahi posisi sebagai redaktur. Tugasnya itu menyeleksi tulisan reporter yang layak terbit, membenahi hurufnya agar memenuhi kaidah berbahasa, mengubah sudut pandang tulisan dan menyesuaikan dengan politik keredaksian. Tugas-tugas itu dilakukan sejak sore, atau paling lambat lepas senja.
Pun bila Ramadan, ritme kerjanya tetaplah seperti itu. Ketika orang lain bergegas ke masjid, untuk Isya dan tarawih, saya justru bergegas ke meja petugas pra cetak, menyiapkan isi koran yang hendak cetak dan terbit esok. Selalu begitu iramanya, sampai lebih 10 tahun. Saya hanya lapang ketika besoknya penanggalannya libur. Malam hari, saya bisa lega. Jika sedang “sadar” saya ikut tarawih. Kalau dibawah pengaruh setan, ya berleha-leha saja di rumah, sambil nonton atau main gawai.
Masalahnya, bila ada acara buka puasa di kantor, pembawa kultum jelang waktu berbuka selalu bilang, kami ini juga sedang ibadah meski bekerja malam. Makin jadilah kemalasan saya akibat mendapat pembenaran ustaz. Hitungan saya, tiap Ramadan itu paling banyak saya hanya punya empat atau lima kali berbaur bersama jamaah tarawih di masjid.
Untung saja, saya masih berusaha untuk istiqamah menjalankan puasa. Soal pahalanya terhitung atau hanya sekadar menahan lapar dan haus, biarlah Tuhan yang mengkumulasinya. Saya hanya menyesali, bertahun-tahun saya abai terhadap salat malam, meski itu hukumnya hanya sunat, tapi saya sudah kehilangan keutamaan Ramadan.
Kini, telah tiga kali saya bertemu Ramadan pasca tidak lagi bekerja di tempat sebelumnya. Alhamdulillahnya, kesadaran spiritual saya juga ikut membaik. Setidaknya dari kaca mata saya sendiri. Kuantitas tarawih saya juga ada kemajuan. Subuh telaten berjamaah, sesekali sudah mau mengaji saat siang. Sesuatu yang dulu ada saja dalih saya untuk meninggalkannya.
Tentu saja yang saya kerjakan ini masih sangat jauh dari kategori ahli ibadah. Ini hanya cara saya menurunkan tensi “kengerian” saat mendengar kalimat “bersyukurlah karena masih bertemu Ramadan, karena ada saudara kita, tahun lalu masih ada, sekarang sudah tidak bersama kita lagi”.
Saat menulis ini, saya baru saja pulang dari tarawih. Lagi-lagi kalimat itu berulang disampaikan penceramah. Kali ini, ada narasi tambahannya yakni “bisa jadi tahun ini kita masih bersama Ramadan, tahun depan, shaf tempat biasa kita sujud sudah diganti orang lain. Kita sudah dipanggil Tuhan dan tidak diberi kesempatan lagi bertemu Ramadan”. Contohnya sudah banyak.
Sungguh, kalimat itu laksana teror dari mimbar. Ramadan tahun ini masih ikut tarawih, tahun depan…wallahu a’lam…!
Itu ngeri sekali epribadeh…!
—–
#AMR, Penyuka Kopi