Tradisi gandrang masih hidup dan lestari di Bulukumba. Gandrang dalam bahasa konjo berarti Gendang . Tradisi gandrang biasanya diadakan khusus untuk hajatan pesta pernikahan.
Gandrang dimainkan oleh empat orang yang masing-masing memegang alat yang berbeda. Dua orang memegang gendang, satu orang memegang alat gong besar dan satu orang lainnya memegang gong kecil. Pukulan gandrang mengikut dirigen, artinya setiap ketukan alat wajib saling mendukung, olehnya itu ketukan tak boleh salah. Sang Dirigen kan memegang alat gendang sebagai patokan untuk setiap ketukan.
Memainkan gandrang didasarkan pada permintaan pemilik hajatan. “Kalau diminta lima kali pukul, ya itu saja,”kata halin, salah satu personil grup gandrang asal konjo.
Sejak dua hari, Halin dkk bermain gandrang. Mereka diundang khusus ke Desa Bantalaroang, Kecamatan Bulukumpa oleh pemilik hajatan di sana. Di grup yang gawanginya pria bertubuh tambun itu memegang dua alat gong besar. Satu Gong digantung dan gong lainnya dipegang sambil terus menerus ditabuh mengikuti alunan gendang. Setiap dua jam sekali gandrang dimainkan dengan durasi permainan bervariasi.
“Durasi main tak ditetapkan, tergantung kemampuan sang dirjen kandrang, bisa lima menit atau paling lama 10 menit kami mainkan,”ujarnya.
Gandrang sendiri sudah menjadi industri bisnis bagi para penggiat seni budaya di bulukumba. Kata halin, ada ratusan grup gandrang yang meramaikan jagat budaya Sulawesi Selatan. Tentu ada tarif bagi pemain gandrang. Tarif sekali bermain kandrang bervariasi antara satu smpai 3 jutaan rupiah. Tergantung kesepakatan antara pemilik hajatan dan pemain kandrang. Para pemain masih berusia antara 30 sampai 50 tahun.
Satu yang membuat saya salut dengan masyarakat dan pemerintah daerah di sulsel karena masih peduli dengan tradisi seni budaya mereka hingga ke pelosok yang tentu tidak saya temukan di daerah saya. Lestarinya tradisi gandrang di Sulsel seolah ‘menampar’ wajah Saya sebagai warga Sulawesi Tenggara. SK