JelajahHeadline

Senandung Ombak dan Bakau di Lanowulu: Kisah dari Tepian Taman Nasional

×

Senandung Ombak dan Bakau di Lanowulu: Kisah dari Tepian Taman Nasional

Sebarkan artikel ini
FB IMG 1744901377211

SUARAKENDARI.COM-Mentari pagi belum sepenuhnya merekah, sinarnya masih malu-malu menyentuh permukaan air kala perahu motor yang saya tumpangi perlahan merapat. Bukan dermaga megah, hanya sekadar tepian kayu yang lebih mirip area parkir perahu bagi penduduk Kampung Nelayan Lanowulu. Namun, justru kesederhanaan inilah yang menjadi gerbang menuju denyut kehidupan yang telah berakar puluhan tahun di sini.

Saya menginjakkan kaki di tanah yang terasa basah dan berpasir, mencoba menyelami ritme kampung nelayan tradisional Lanowulu. Tersembunyi di “miniatur” Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), tepat di perbatasan antara Konawe Selatan dan Bombana, kampung ini adalah rumah bagi sekitar 20 kepala keluarga. Mereka memilih berdiam di tengah keajaiban hutan mangrove Lanowulu, bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk menjadi penjaga setia kekayaan alam ini.

FB IMG 1744985130625Bayangkan, rumah-rumah panggung sederhana berdiri kokoh di atas air, menyambut pertemuan sepuluh muara sungai yang menjadi jantung kehidupan komunitas Suku Bugis ini. Di sini, waktu seolah berjalan lebih lambat, segalanya terasa tradisional dan menyatu dengan alam. Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada hasil laut, menjadi nelayan tangkap tradisional yang setiap hari akrab dengan jala dan perahu. Ikan, kepiting, udang, dan beragam kerang adalah sahabat setia mereka. Termasuk membudidaya rumput laut.

 

Saya melihat bagaimana tangan-tangan terampil mereka mengoperasikan “togo,” perangkap bambu sederhana untuk menangkap udang ribbon (yang mereka sebut “balaceng”), bahan baku utama pembuatan terasi yang harumnya khas. Ada pula “bubu” yang setia menanti kepiting bakau dan rajungan yang bersembunyi di antara akar mangrove, serta “sero” dan jaring konvensional untuk menjaring udang putih dan ikan-ikan muara lainnya.

Yang menarik, dalam setiap gerak dan langkah mencari rezeki, mereka memegang teguh aturan adat yang tak tertulis. Sebuah kearifan lokal yang selaras dengan kaidah alam. Lebih dari itu, semangat untuk melestarikan dan melindungi hutan bakau begitu kuat terasa. Mereka sadar betul, bahwa hijaunya hutan mangrove adalah harapan bagi keberlangsungan hidup mereka.

Menyusuri kampung ini, mata saya dimanjakan oleh panorama alam yang luar biasa. Hutan bakau yang masih perawan dan lebat tertata rapi secara alami. Sesekali, hamparan “tappareng” atau rawa payau seluas satu hingga empat hektar menambah keunikan ekosistem mangrove ini. Suara debur ombak yang berbisik di antara akar-akar bakau, hembusan angin yang membawa aroma asin laut bercampur tanah basah, semuanya menciptakan simfoni alam yang menenangkan.

Di Lanowulu, saya belajar tentang kesederhanaan hidup yang kaya akan kearifan lokal dan rasa syukur terhadap alam. Lebih dari sekadar mencari nafkah, mereka hidup berdampingan dengan hutan mangrove, menjaganya sebagai ibu yang memberikan kehidupan.

Sebuah potret harmoni antara manusia dan alam yang patut direnungkan. Matahari mulai meninggi, meninggalkan jejak kehangatan di Lanowulu. Namun, cerita dan keindahan kampung ini akan terus terukir dalam ingatan, sebuah oase kedamaian di tengah hiruk pikuk dunia modern.

(JOSSH)