HumanioraHeadline

Saat Kartini Hanyalah Ejaan Biasa di Kalender

×

Saat Kartini Hanyalah Ejaan Biasa di Kalender

Sebarkan artikel ini
20250421 125433

KENDARI, suarakendari.com-Debu jalanan seolah menjadi bedak sehari-hari bagi Ina (48). Di bawah terik Kendari yang mulai memanggang, ia memanggul bakul bambu berisi aneka sayuran segar. Langkahnya теgap menyusuri gang-gang sempit, menawarkan dagangan dari pintu ke pintu.

Teriakan lembutnya, “Sayur… sayur…” menjadi melodi знакомая di telinga para ibu rumah tangga.
Hari ini, 21 April, kalender menandai peringatan Hari Kartini.

Namun, bagi Ina, tanggal ini tak ubahnya hari-hari lain yang telah ia lalui selama bertahun-tahun. Tak ada perayaan istimewa, tak ada refleksi mendalam tentang emansipasi wanita seperti yang mungkin digaungkan di berbagai tempat. Baginya, Kartini hanyalah nama yang sesekali didengarnya dari layar televisi tetangga, tanpa pernah benar-benar memahami esensi perayaannya.

Realitas hidup Ina jauh dari gemerlap perayaan. Sejak sang suami, La Madi, berpulang karena asma beberapa tahun silam, Ina harus seorang diri menopang keempat anaknya yang kini beranjak dewasa.

Pagi buta warga asal Kelurahan Alolama ini sudah beranjak ke pasar tradisional, memilih dan memilah sayuran terbaik untuk kemudian dijajakan. Panas menyengat, hujan deras, tak pernah menjadi penghalang bagi tekadnya untuk mencari nafkah.

“Untuk apa dirayakan? Yang penting bisa makan,” ujar Ina dengan nada datar saat ditemui di sela-sela menjajakan dagangannya. Kerutan di wajahnya menceritakan kerasnya kehidupan yang telah ia lakoni. Tangannya yang kasar namun cekatan membungkus seikat kangkung pesanan seorang pelanggan.

Ia tak punya waktu untuk memikirkan sejarah perjuangan seorang tokoh wanita di masa lalu. PikirannyaFocus sepenuhnya pada bagaimana caranya agar periuk di rumah tetap mengepul. Anak-anaknya adalah motivasi terbesar. Ia ingin mereka mendapatkan pendidikan yang layak, meski ia sendiri hanya mengenyam bangku sekolah dasar.

“Saya ini Kartini untuk anak-anak saya,” katanya sambil tersenyum tipis. “Saya harus kuat, harus berjuang, seperti yang saya lakukan setiap hari.”

Di tengah modernitas dan berbagai perayaan Hari Kartini yang mungkin sarat akan simbolisme, sosok Ina menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan Indonesia masih terus berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Ia adalah potret nyata seorang ibu tunggal yang gigih, yang tanpa gembar-gembor terus berjuang demi menghidupi keluarganya. Baginya, setiap hari adalah medan pertempuran, dan kemenangannya adalah ketika melihat anak-anaknya tersenyum dan kebutuhan mereka terpenuhi.

Mungkin Ina tak pernah membaca surat-surat Kartini, atau memahami betul makna “habis gelap terbitlah terang”. Namun, dalam setiap langkahnya menjajakan sayur, dalam setiap peluh yang menetes di dahinya, terpancar semangat pantang menyerah seorang wanita yang menjadi terang bagi keluarganya.

Di balik kesederhanaannya, Ina adalah Kartini masa kini, yang berjuang dengan caranya sendiri di kerasnya kehidupan kota. Jh