Saat tiba, hari baru mulai terang. Dikejauhan hutan hujan masih berselimut kabut. Matahari di timur baru saja mau menampakan diri. Warga yang umumnya nelayan baru saja memulai aktifitas mereka. Deru katinting nelayan terdengar di kejauhan mulai riuh saling bersahut-sahutan. Sampan-sampan hilir mudik di sepanjang perairan tak berujung itu. Inilah suasana Desa Woruworu, sebuah desa terpencil di pesisir Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pagi itu, memang tak beda dengan hari-hari sebelumnya. Ada nelayan yang pulang dari melaut dengan membawa berkeranjang-keranjang ikan. Ada juga nelayan yang baru berangkat menuju ladang rumput laut yang ramai memadati laut.
Air laut baru saja mulai pasang. Jaraknya masih seratus meter lagi dari bibir dermaga, membuat perahu yang saya tumpangi sedikit terhambat. Amrin (35 tahun) yang mengantar saya berusaha memutar haluan perahu sejauh setengah mil ke arah selatan, hingga perahu benar-benar mencapai bibir pantai desa.
Di kejauhan puluhan bocah-bocah berkumpul di bibir dermaga. Mereka tengah menanti air laut pasang untuk bisa menyeberang ke desa seberang, tepatnya di Desa Tambeanga, tempat sekolah mereka berada. Air pasang memudahkan kapal berlabuh di dermaga desa.
Seperti hari-hari sebelumnya, mereka menunggu tumpangan kapal yang sesekali merapat di dermaga desa. Kapal bertonase sedang ini milik seorang juragan desa. Kapal sesekali mampir mengambil penumpang di desa-desa pesisir yang akan menuju kota. Para pelajar pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menumpang menuju desa seberang, tempat sekolah mereka berada. Namun itu berlaku sesekali saja. Saat kapal absen merapat, anak-anak pesisir ini terpaksa menggunakan perahu sampan ke sekolah. Anak-anak harus mendayung sekitar satu jam untuk mencapai sekolah.
Di tengah keterbatasan infrastruktur jalan raya, perahu memang menjadi moda transportasi andalan satu-satunya di desa itu. Ada jalan darat, tetapi baru berupa jalan setapak, itu pun harus melewati pegunungan yang jaraknya tiga kali lipat jauhnya. Rata-rata orang tua murid tidak mengijinkan anak-anak mereka melalui jalur darat ini. Jalan melewati gunung banyak resikonya, selain jaraknya yang jauh juga karena banyaknya hewan liar seperti babi hutan dan anoa yang dapat mengancam jiwa anak-anak mereka.
Namun, bersekolah dengan melewati lautan bukan berarti tidak kalah membahayakan. Terlebih saat musim ombak tiba, sebagain besar anak-anak terpaksa memilih tidak bersekolah karena gelombang besar yang bisa mengancam jiwa mereka. Saat musim ombak para orang tua tidak mengijinkan anak-anaknya bersekolah karena ombak besar sangat beresiko. “Kami tidak berani membiarkan anak anak ke sekolah,”kata Umar, warga woru woru.
Melewati laut memang beragam resiko. Ombak air laut terkadang membuat baju anak-anak sekolah basah. Beberapa kejadian menimpa anak-anak yang terpaksa mengalami kapalnya rusak atau terbalik di tengah laut. Meski begitu sebagain besar anak-anak mengaku tidak gentar menghadapi gelombang laut, selain sudah terbiasa, anak-anak nelayan ini juga sudah piawai mengayuh perahu. Satu perahu kecil bahkan bisa ditumpangi empat sampai lima anak. Tergantung ukuran sampannya.
Kondisi infrastruktur yang minim ini berlangsung sejak desa-desa pesisir berdiri puluhan tahun silam dan hingga kini belum lagi mendapat perhatian pemerintah daerah setempat.
Tahun 2002 silam, pernah ada bantuan perahu untuk mengantar anak-anak sekolah di desa ini. Tapi perahunya rusak dan tidak lagi bisa dipakai. Ini tentu merepotkan anak-anak sekolah di sini karena tidak lagi bisa bersekolah dengan tepat waktu. Dan sudah dapat ditebak jika kondisi ini ikut mempengaruhi kualitas pendidikan anak-anak di pesisir. Pemakluman praktis berlaku bagi anak-anak didik di sana. Namun syukurlah mereka masih mau bersekolah.
Tidak berlebihan jika banyak dari warga yang berharap agar pemerintah dapat segera memberikan bantuan kapal demi masa depan anak-anak didik mereka.
Pembangunan gedung sekolah yang tidak merata di pesisir memang cukup merepotkan warga. Sebagian warga desa Woru-woru harus bersekolah di Desa Tambeanga. Begitu pula sebaliknya, warga Tambeanga harus bersekolah di Desa Woruworu.
Pembangunan yang serampangan ini, tak sebanding dengan besarnya animo anak-anak di pesisir untuk bersekolah . Tahun ajaran baru saja terdapat kurang lebih seratusan murid yang mendaftar. Mungkin karena sekolah ini satu-satunya SMP di sini, sehingga banyak anak-anak pesisir seberang yang bersekolah di sini.
Tak hanya itu, harapan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana jalan raya yang menghubungkan Desa Woruworu dan Desa Tambeanga segera direalisasikan agar anak-anak bisa terbebas dari keterisoliran. SK