Mata Ramo (nama samaran) tertuju pada tanah dekat saluran air. Bermodal linggis kecil, Ia berusaha keras menggali hingga kedalaman satu meter. Sesekali aktifitasnya terhenti setelah mendengar kode dari rekannya yang duduk tak jauh dari lokasi galian. “Setop dulu ada mobil lewat,”kata rekannya. Setelah dirasa aman Ia itu pun kembali menggali. Pria itu memang tak sendirian. Pemuda berambut cepak itu ditemani dua rekannya di hari menjelang pagi itu. Ketiganya bergantian menggali.
Lima belas menit berlalu, wajah ketiganya sumringah, kala menemukan gulungan kabel tembaga. Kabel warna warni itu kemudian dipotong dan ditarik keluar dari dalam tanah. “Lumayan,”kata Ramo, . Ketiganya lalu meninggalkan lubang galian tadi dan berpindah menggali lubang baru di sampingnya. Ini adalah lubang ke enam yang berhasil mereka gali hari itu, yang lokasinya dekat saluran air depan sebuah hotel di bilangan kemaraya, kota kendari.
Para pelaku beraksi dari tengah malam hingga lepas subuh, meninggalkan lubang lubang menganga di sepanjang bahu jalan, serta kerusakan pada fasiltas umum seperti trotoar jalan. Lubang lubang ini terlihat sepanjang jalan MT Haryono, Kota Kendari hingga ke arah lampu merah di perbatasan kelurahan kemaraya.
Beberapa pemilik rumah terkaget-kaget kala menemukan galian berserakan di halaman mereka, tapi tak tau mau mengadu kepada siapa. “Ini sudah keterlaluan, orang orang itu membongkar trotoar jalan seenaknya, lalu membiarkan terbengkalai,”protes Harman, warga Kendari Barat.
Tentu saja aksi tiga pemuda tadi tidak hari itu saja, tetapi sudah berlangsung tahunan. “Setau Saya aksi merusak trotoar jalan ini sudah berlansung dua tahunan, dan orang orang yang menggali beraksi secara terang terangan tanpa ada tindakan dari pihak pemerintah kota,”kata Harman. Bahkan, lanjut Harman, aksi para pelaku terbilang berani, karena berhasil membongkar fasilitas umum meski di depan kantor Kodim 1417 Kendari.
Lantas kabel kabel apa saja sebenarnya diburu orang orang ini? Oleh petugas Telkom, kabel bawah tanah biasa disebut kabel jaringan lokal akses tembaga ( Jarkolat ), yakni jaringan akses dari sentral ke pelanggan dengan menggunakan tembaga sebagai media aksesnya. Konfigurasi dasar jarlokat dimulai dari RPU ( Rangka Pembagi Utama ) sampai dengan KTB ( Kotak Terminal Batas ) pada pesawat pelanggan. Jadi, pada jaringan ini, semua pasangan urat kabel dari KP tersambung secara tetap ( permanen ) ke RPU.
Jaringan model ini, biasanya dipakai untuk wilayah Kota kecil yang masih menggunakan sentral manual dengan jumlah pelanggan telepon sedikit. Sedangkan pada kota besar, sistem ini untuk mencatu daerah sekitar sentral telepon ( radius sampai dengan 500 meter). Dan untuk daerah terkonsentrasi yang mempunyai kebutuhan telepon cukup tinggi dan komplek yang tidak memungkinkan dipasang RK.
Kabel-kabel ini sebenarnya sudah tidak lagi digunakan pemiliknya dalam hal ini PT Telkom. Mereka memburu kabel jarkolat ini karena harga yang menggiurkan.
Mereka memburu kabel jarkolat ini karena harga yang menggiurkan. Untuk satu kabel seberat satu kilo gram dihargai 75.000 rupiah, dan para pemburu kabel dalam sekali operasi bisa mengumpulkan hingga 30 kg kabel bekas milik PT Telkom ini. Aksi perburuan kabel ini sendiri memang tidak lagi dipersoalkan pihak Telkom, tetapi aksi penggalian justeru merusak fasilitas umum lainnya sepeti trotoar jalan dan pipa PDAM.
Satu kilo meter dari kemaraya, ke arah baypass, kita akan menyaksikan kondisi serupa, dimana fasilitas halte dalam kondisi memprihatinkan tak terurus. Kursi dibirkan karatan, kaca kusam berdebu, dinding halte dicorat coret, hingga papan landasan halte bolong dicopot orang tidak bertanggung jawab. Beberapa botol minuman keras tampak di atas kursi. Halte yang dibangun tahun 2015 sedianya disediakan untuk public kini tak lagi menjadi tempat nyaman menunggu kendaraan bus.
Fasiltas milik pemerintah lainnya yang rusak terlihat di kawasan wisata trancking mangrove di wilayah bypass Lahundape. Sejumlah papan jembatan penghubung terlihat copot, pengunjung terpaksa berhati hati melewati jembatan. Hilanganya papan jembatan diduga digondol maling. Masih di lokasi trancking mangrove, sejumlah fasilitas gazebo terlihat kusam dan catnya telah memudar. Proyek tracking mangrove dibangun tahun 2015 silam, menelan biaya miliaran rupiah. Tracking mangrove merupakan sarana penunjang wisata kota kendari, di bangun di era pemerintah Asrun sebagai walikota kendari. Sayang fasiltas ini terkesan tak lagi terurus. Bahkan sejumlah pedangan kaki lima memanfaatkan badan jembatan tracking mangrove untuk berjualan.
Rusak dan tak terurus itu kata yang tepat menggambarkan kondisi sebagian bangunan pemerintah di ibukota sulawesi tenggara, kendari. Tudingan minimnya perhatian pun dialamatkan ke pemerintah kota kendari. Masalahnya, pemerintah selaku pemangku kebijakan nyaris tak bereaksi dengan kerusakan trotoar, fasiltas halte dan fasiltas tracking mangrove yang nota bene fasilitas publik ini. Dan ini memantik kekecewaan publik.
“Saat menemukan fakta banyaknya sarana /fasiltas publik milik pemerintah yng dibiarkan hancur dan atau dirusak, maka nurani kita biasanya langsung terusik, itu karena dalam diri kita sebagai manusia tertanam kuat jiwa kepedulian. Lalu kita akan bertanya; apa mungkin ini kelakuan orang jahil atau sengaja dibiarkan rusak untuk dibangun lagi? Apa yang sebenarnya terjadi?,”tanya Ridwan, pemerhati social perkotaan.
Ridwan melihat pengawasan yang tidak berjalan dari pemerintah selaku pemangku kebijakan. “Seperti ada keputusaasaan dari mereka yang berkuasa dan akhirnya memilih membiarkan waktu menggerogoti satu persatu bagian bangunan-bangunan tadi. Sungguh ini sebuah pembiaran nyata,”ujarnya.
Ada kejengahan public melihat pemegang kuasa tak kuasa menghentikan aksi vandalisme fasilitas public ini, dengan kata lain unsur pembiaran atas ketidakaturan yang terus bergerak tengah berlaku, tanpa ada usaha menegakkan aturan demi menghentikan ketidakteraturan tadi.
“Semua keadaan yang berlaku tak lepas dari minimnya perhatian, minimnya pengawasan dan tidak adanya biaya perbaikan sarana yang rusak tersebut,”kata Ridwan.