LELAKI kecil yang berdiri di depan itu adalah Ario. Ia bocah bungsu dari tiga bersaudara. Kehidupan desa menjadikan ia tumbuh sebagai pribadi yang simple-simpel saja. Saya pernah hidup bersamanya (tinggal dirumahnya) – tiga tahun lamanya. Dalam pada itu, saya tahu betul bagaimana ia tumbuh ditengah kondisi desa yang induk kabupatennya sangat jauh – menempuhinya butuh tenaga ekstra fit. Kita akan melewati banyak kubangan air ditengah jalan, jembatan rangka besi beralas papan, juga fla lumpur kala hujan tidak bisa dihindari ditengah jalan tambal sulam yang super licin dan berbahaya.
Tapi itu perkara lain.
Bocah seusia Ario mustahil merengek meminta itikad baik pemerintah untuk melirik desa tempat hidupnya. Ketimpangan itu adalah hal natural dimatanya. Ia manut-manut saja ketika debu jalan depan rumahnya menghantam wajah, bercokol dihelai-helai rambutnya. Bahkan ia lugu saja ketika rumah tinggalnya ditampar debu jalan yang hanya ditimbun “sirtu” pengerasan, memutihkan dinding papan rumahnya. Ia hanya merengek keras ketika porsi indomie telur – jatah dari ibunya diembat oleh kedua kakak lelakinya. Pelan ia besungut-sungut kemudian meninggikan tangisnya. Dalam hal ini, ia memang tidak punya kuasa dibawa intimidasi kedua kakaknya. Air mata menjadi senjatanya, ia mengirimkan alarm kepada ibunya bahwa rantangan telah dicaplok saudaranya. Fenomena ini memang kerap memantik kaget ketika saya sedang rehat di bilik kamar berjarak sepetak kamar dengan dapur tempat ketiganya makan bersama.
Saat itu Ario masih duduk dibangku kelas II SD. Masih ingusan. Bersekolah melewati jembatan beralas papan adalah rutinitas sehari-harinya. Ia kebanyakan tak bersepatu ke sekolah. Ini semacam kenyamanan tersendiri, sebab tekstur jalan yang dilewati kerap berbuah petaka – bisa merobek alas sepatu yang belum lama dibelikan ibunya. Belum lagi jika musim penghujan tiba, halaman rumah yang awalnya kering seketika berubah menjadi hamparan air yang tingginya sebetis orang dewasa. Dan saya pernah mengalami ini.
Rumahnya berubah serupa onggokan batu ditengah kepungan air bah yang lama surutnya. Sumur umum satu-satunya di depan rumah meluap bertambah debit airnya. Airnya memerah bercampur lumpur terbawa dari bebukitan belakang rumah yang sudah tidak berpohon selama bertahun-tahun. Kawasan hutan yang dulu mengepulkan udara sehat didesanya, sudah lama pula digunduli. Kini akibatnya cukup tragis, sebuah rumah panggung sekitar kawasan pasar di desa sebelah hanyut terbawa arus bah dihempaskan jauh di tengah laut yang mulutnya menganga di kaki jembatan tua di desanya.
Bagaimana mungkin Ario mengenakan sepatu ke sekolah melewati rendaman air yang cukup tinggi jika musim penghujan tiba: begitu saya membatin.
Pun, bila bersepatu – Ario kecil memilih melepas sepasang sepatunya menyimpul ujung talinya melilitkan dikepalan tangannya. Sepatu digelantung sesekali diayun mengikuti langkah kaki telanjangnya. Setiba disekolah barulah sepatu dikenakan, pulang sekolahpun sepatunya kembali dipegang sambil diayun-ayun. Begitu seterusnya.
Sepulang sekolah
Laiknya anak-anak sebayanya, masa-masa kecil Ario adalah masa yang cukup mengasyikkan. Sepulang sekolah, ia bergegas mengganti seragam sekolah kemudian berlari kecil menapaki tiga anak tangga menggapai ruangan dapur yang posisinya lebih tinggi dari ruang utama dalam rumahnya. Menyingkap tudung hidangan, melahap seadanya makanan yang sudah disiapkan ibunya. Setelahnya, ia berlari melesat diantara pohon kelapa yang tumbuh berjejer di halaman rumahnya. Ia membuntuti kawan-kawannya yang lebih dulu bergerombol di dermaga rusak bekas tambatan perahu orang dikampunya.
Ario dan kawan-kawannya juga cukup lihai, mereka berseliweran diantara pohon kelapa memungut buah kelapa yang jatuh diterpa angin keras. Kelapa dikumpulkan kemudian dibawa ke lokasi perapian kopra milik pamannya menawarkan dengan harga murah – seratus rupiah per buah. Uangnya dipakai belanja di warung dekat rumahnya. Mereka kemudian berkomplot lagi, berlarian menuju tepian sungai.
Tidak banyak fasilitas bermain bagi anak-anak di desa ini. Sebagai desa muara, perahu reot yang terparkir rusak di bibir sungai tidak jauhnya dari rumahnya adalah arena bermain paling favorit bersama kawan-kawannya. Buritan perahu yang masih utuh papanya dijadikan sebagai pijakan sebelum melompat salto menceburkan diri kesungai. Sebagian dari mereka berlari memanjat talud penopang jembatan mencapai palang pembatas jembatan kemudian dengan sorak-sorai terjun sampai kedasar sungai. Begitulah pemandangan anak-anak desa.
Sejak membelalak di dunia, mata mereka sudah disuguhkan segala asesoris yang berkait kelindan dengan ekosistem muara yang mereka huni. Ada hamparan pasir tempat mereka bermain bola kala sore hari, pohon-pohon mangrove tempat mereka ber-petak umpet. Ada pula batangan kayu yang tampak mengular – mengambang sepanjang aliran sungai. Kayu tersebut digiring melewati aliran sungai, sebuah langkah praktis mendistribusikan kayu hasil tebangan sekitar hulu sungai. Selanjutnya ditampung ke rumah warga, sebagian lainnya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di desa ini.
Begitulah Ario kecil tumbuh menapaki usia dewasanya. Ia dikungkungi fasilitas yang sangat sederhana juga infrastruktur yang minus. Tidak putus asa, ia tetap teguh menempuh pendidikan.
Dus, apakah Ario putus asa?. Tidak…!! Ario tetap tegar. Ia bersikukuh ingin belajar seperti kawan-kawannya. Kelas belajar yang kami adakan selepas maghrib didesanya kala itu, merupakan ajang terbaru bagi Ario. Bersama kawan-kawannya kami tempa mereka dengan tehnik-tehnik belajar yang agak beda dengan cara belajar yang mereka dapatkan di sekolahnya. Dulu semasa tinggal didesanya, kami fokus mendikte kemandirian mereka dalam ber-ekspresi, mengemukkan pendapat serta melakukan training terhadap mereka agar secara psikologis stigma marginal anak desa bisa mereka runtuhkan jika kedepan berhadapan dengan anak-anak kota yang parlente itu.
Kami hadir di desa mereka sebagai pegiat sosial “meningkatkan kapasitas masyarakat desa”. Di bawah naungan sebuah yayasan yang konsen melakukan advokasi bagi masyarakat asli dan pedesaan.
Malam itu Ario sengaja saya undang kedepan di hadapan kawan-kawannya. Memperkenalkan namanya secara lantang: perintahku sebelum ia maju kedepan. Selanjutnya ia disuruh me-review materi belajar yang barusan kami jelaskan. Awalnya malu-malu namun setelahnya ia lancer saja merapalkan poin-poin penting materi ajar malam itu. Ditutup dengan aplaus dari teman-temannya.
Ario Sudah Dewasa
Empat tahun silam saya berkunjung ke desanya. Infrastruktur desa bertambah satu lagi. Pasar desa bertiang beton berdiri kokoh hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari tepian sungai – tempat Ario dan kawan-kawannya kegirangan mencebur diri dalam aliran sungai. Tak adalagi perahu reot disekitar sungai itu. Jalan depan rumah Ario masih berkerikil, batu-batunya masih terpental ketika dilindas mobil penumpang yang lalu lalang didesanya.
Rehat dirumah kepala dusun – adalah juga ayah angkatku – dulu beliau adalah mitra kerja kami dalam menyukseskan program di desanya. Ia sekaligus paman Ario, officer lokal yang didapuk mengawal, memonitor program kerja ketika kami tidak berada didesa saat itu. Rumahnya yang juga sebagai secret kami, berdampingan dengan rumah Ario.
Lama tak mendapati Ario, tiba-tiba ia muncul keluar dari pintu rumahnya. Saya tidak menegurnya, ia sibuk dengan teman-temannya. Dikejauhan saya memandanginya, ia tampak seperti remaja kekar, badannya berisi. Lengannya dipenuhi gelembung-gelembung otot, badannya bersih tidak sedekil kala itu. Ia sudah menempuh pendidikan SMA. Sepertinya ia berkarakter, semoga saja ia menjadi pribadi yang cerdas mampu menentang kebijakan pemerintah yang meng-anaktirikan orang-orang desa.
Rasa penasaran terhadap Ario tidak sampai disitu – semalam asyik berselancar di dunia maya mendapati notifikasi Facebook ada kenangan foto yang saya posting tahun 2014 silam. Style Ario seperti meliuk difoto kenangan tersebut. Sontak saja saya melakukan pencarian terhadap sosok Ario dewasa. Tak butuh waktu lama namanya muncul di berandaku “RENDRA YAHYA’’. Inilah profil Ario rupanya, dibalut baju singlet kuning bergaris warna biru navy – tangan kanannya ditekuk tepat didadanya. Tiga jemarinya dikepal, ibu jari dan kelikingnya dibiarkan mengacung ala-ala seorang rocker. Hehe.
Deskripsi akunnya juga tertulis “Bismilaah. Kau jodoh ku yang lagi liat..Atau yang lagi baca”.