Kita semua tahu jika penularan corona sangat cepat dan wabahnya bak gunung es. Sebagian teori menyamakan persebaran virus corona ibarat teori multi level marketing yang bekerja membangun jaringan persebaran dari orang per orang. Berkaca dari negara-negara yang lebih dulu gejala terpapar covid-19, bagaimana virus ini begitu cepatnya berjangkit dari orang ke orang dan dalam hitungan minggu angka kematian telah mencapai ribuan angka kematian di seluruh dunia.
Di Wuhan tempat asal virus corona mewabah misalnya. sebagian besar kasus menunjukkan gejala, hasil tes 320.000 pasien menunjukkan sebagian besar orang yang positif covid 19 menunjukkan gejala sekitar 90 persen yang terinfeksi mengalami demam, 70 persen batuk kering, dan 30 persen mengalami kesulitan bernapas. Gejala yang sama pula terjadi Italia, Amerika, Korea Selatan, Iran dan tentu saja Negara kita Indonesia.
Di negara-negara yang notabene sangat modern, kaya dan teknologi kesehatannya sangat maju saja kewalahan menangani pandemic corona, apalagi negara yang pas-pasan ekonominya seperti Indonesia. Data pemerintah per 25 Maret 2020 korban positif covid19 mencapai 790 orang, jumlah kematian mencapai 58 orang dan yang dinyatakan sembuh 31 orang.
Kondisi yang menunjukkan betapa Indonesia dengan penduduk yang besar sangat rentan terpapar covid-19, Diprediksi negeri kita bakal mengalami ledakan wabah corona mengikuti jejak Negara-negara lain. Dalam kondisi yang serba terbatas seperti ini tentu saja pemerintah sangat dilematis, baik dari sisi kesiapan alat kesehatan, kesiapan petugas medic hingga proporsi anggaran Negara menanggulangi corona.
Jika melihat protokol penanganan covid 19 yang dikeluarkan organisasi kesehatan dunia, maka sejauh ini pemerintah baru secara bertahap menutup sebagian fasilitas public seperti sekolah, pelayanan pemerintahan, rumah ibadah, tempat hiburan malam selama 14 hari sebagai langkah antisipatif memutus mata rantai penyebaran virus korona.
Sementara akses ekonomi public yang lebih besar dan padat penduduk seperti, pasar tradisional, pelelangan ikan, pasar modern seperti mall dan hotel sama sekali belum dilakukan penutupan. Ini tentu dilema bagi masyarakat, terutama para pelaku usaha di tengah belum adanya jaminan pemerintah untuk memberikan konpensasi Negara atas penutupan usaha mereka.
Di sisi lain, masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah sebagian belum mendapat jaminan konpensasi biaya hidup selama wabah berlangsung. Langkah antisipasi yang terkesan lamban pemerintah ini membuat masyarakat seakan ‘ogah’ menuruti himbauan pemerintah agar warga bekerja, belajar dari rumah. Warga yang diharapkan bisa patuh justeru terkesan sangat abai dan meremehkan keputusan pemerintah.
Bagi masyarakat imbauan pemerintah memang memantik simalakama, jika imbauan dituruti masyarakat mati tidak bisa makan dan jika tidak dituruti wabah corona yang ganas ini akan mematikan seluruh penduduk. Tak heran jika hingga pekan pertama himbauan dimasih banyaknya warga yang memilih beraktifitas seperti biasa; kaum buruh tani, pedagang, pekerja swasta masih terus bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
Begitu pula umat beragama masih memilih beribadah di rumah-rumah ibadah mereka. Sementara masyarakat di area terbuka, banyak masyarakat masih memilih berkumpul dalam jumlah besar, seperti masih aktifnya pusat aktifitas jula beli di pasar, pelelangan ikan, mall, warung kopi yang nota bene sebagai pusat sirkulasi pertemuan manusia.
Lantas bagimana dengan pemerintah daerah? Di Sulawesi Tenggara, di awal awal covid 19 merebak , resah dan gelisah dirasakan sebagian besar warga Sulawesi Tenggara khususnya Kota Kendari. Terlebih, kala mendengar pengumuman dari pemerintah pusat, terkait adanya tiga pasien positif covid19 di Sulawesi Tenggara.
Keresahan ini seolah menumpuk dan setelah heboh kasus 49 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal tiongkok masuk via bandara Halu Oleo untuk bekerja di salah satu perusahaan pertambangan. Kasus ini menunjukkan pemerintah khususnya di daerah seolah tak punya kuasa menempuh langkah penanganan yang serius terkait pandemic corona yang sudah mendunia ini.
Keresahan public kian mengkristal kala pemerintah pusat melalui gugus tugas penangan Covid-19 mengumumkan tiga orang yang positif corona di Sulawesi Tenggara positif corona dan satu orang dinyatakan meninggal dunia pada Senin 23 Maret 2020. Ketiga kasus positif ini dianggap akan menjadi “pintu masuk” penularan kepada orang disekitarnya jika pemerintah daerah tidak sigap memutus mata rantai penyebaran covid 19.
Saat itu , pemerintah Sulawesi Tenggara dapat dikata bekerja dalam bayang-bayang minimnya kesiapan alat kesehatan, kesiapan petugas medis hingga minimnya proporsi anggaran menanggulangi corona. Tak heran jika puluhan tenaga medis (dokter dan perawat) di RS Bahteramas harus menjalani masa karantina setelah adalah dugaan kesalahan procedur dalam menangani pasien positif corona tanpa menggunakan alat pelindung diri.
Kecerobohan dan kelambanan pemerintah daerah mengadakan alat pelindung diri pada tenaga medis pada pekan pertama ditemukannya pasien positif sempat membuat pelayanan medis di rumah sakit pemerintah Sultra terhenti sementara akibat mogok kerja yang dilakukan tenaga medis yang menuntut segera diadakannya alat pelindung diri tenaga medis. Dilema yang berujung kegagapan petugas kesehatan menangani pasien juga terlihat saat salah satu pasien yang bersatatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) meninggal dunia saat tengah di rawat di RS Bahteramas.
Ironisnya, keluarga pasien langsung mengambil jenasah yang sudah dibungkus plastic itu dan membawa pulang ke rumah di Kolaka dengan menggunakan kendaraan pribadi. Mirisnya, hasil pemeriksaan sampel darah pasien yang berstatus PDP ini belum keluar dan masih diperiksa di laboratorium milik pemerintah di jakarta. Ketidakpatuhan public dan lambanya pemerintah mengantispasi penanganan korona khususnya penyediaan alat kesehatan dan percepatan pemeriksaan darah pasien terduga korona adalah masalah serius pada protocol penangan corona. Apa yang terjadi di RS Bahteramas untuk pasien PDP asal Kolaka adalah kecerobohan besar di tengah usaha keras membasmi pandemi korona di daerah ini.
Indonesia Bergerak yang terdiri dari koalisi masyarakat sipil di Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan maklumat untuk mendesak pemerintah segera segera mengadakan APD dari berbagai sumber, baik impor maupun menggerakkan produksi APD dalam negeri dengan melibatkan pelaku usaha di berbagai daerah, termasuk UMKM, dengan standar teknis dan sesuai persyaratan WHO. Pemerintah perlu melibatkan pihak swasta, ahli tekstil, ahli kesehatan, organisasi kesehatan yang relevan untuk mendorong terwujudnya pengadaan dan produksi APD yang sangat urgen ini.
Pemerintah didesak segera mendistribusikan APD ke semua rumah sakit yang terlibat dalam respon terhadap Covid19, sekaligus melarang penjualan APD dengan harga yang tidak wajar dan memfasilitasi dan mengatur rumah sakit dan program respon COVID-19 untuk mengatur lebih baik jadwal tenaga kesehatan guna memastikan ketersediaan waktu istirahat dan pemulihan tenaga. Memastikan semua rumah sakit dan program respon COVID-19 menerapkan protokol untuk secara lebih ketat melindungi tenaga medis dari penularan; dan seluruh tenaga medis perlu mendapatkan insentif dan apresiasi sebagai pasukan yang bekerja di garda depan melawan Covid19;
Pemerintah menggerakkan korps pekerja sosial guna menjadi mitra sejawat bagi para tenaga medis dalam mengelola tingkat stress dan menguatkan strategi koping dan pemeliharaan diri yang memadai; dan Mendukung jaga jarak fisik, demi memutus rantai penularan, dan merekatkan solidaritas.
Belajar dari Tiongkok
Harusnya Meniru Tiongkok
Negara kita harusnya belajar dari Negara-negara lain cara menangani pandemi korona, seperti Tiongkok, Singapura dan Vietnam yang berhasil memutus mata rantai penyebaran korona agar tidak meluas. Ada banyak sekali pelajaran bagaimana mengatasi pandemic ini. Cara Tiongkok bisa ditiru di tiru Negara kita; Dimana Tiongkok memilih langkah agresif.
Sejak kasus covid 19 di Wuhan pihak otoritas kesehatan memberlakukan secara ketat akses, termasuk wajibnya pengecekan diri dan isoloasi, upaya tersebut berhasil mencegah infeksi ribuan jiwa yang menyebabkan penurunan drastis kasus hari ke hari. Petugas yang bergerak cepat, berhasil mengidentifikasi dimana sebagian besar kasus menunjukkan gejala, hasil tes 320.000 pasien menunjukkan sebagian besar orang yang positif covid 19 menunjukkan gejala, sekitar 90 persen yang terinfeksi mengalami demam, 70 persen batuk kering, dan 30 persen mengalami kesulitan bernapas.
Tiongkok menempuh untuk memberi perawatan medis online. China memindahkan 50 persen dari perawatan online sehingga orang mengunjungi rumah sakit hanya jika diperlukan. Pemimpin negeri tirai bamboo juga memberi layanan lain secara online dimana sekolah dan pesan antar adalah contoh layanan yang telah dilakukan online sejak terjadinya wabah.
Segera isolasikan yang terinfeksi di “klinik gejala demam”, para staf medis berpakaian pelindung penuh saat melakukan tes cepat. Sedangkan, pasien terinfeksi ditempatkan pada pusat isolasi.
Faktor biaya dapat memperlambat penanganan tes dan perawatan rumah sakit untuk pasien covid-19 disediakan secara gratis di tiongkok, sehingga pasien tidak perlu khawatir dengan tagihan biaya medis.
Semangat kebersamaan sangatlah membantu. Sebagian besar dari 40 ribu dokter dan perawat secara suka rela turun ke wuhan setelah wabah di mulai. Bahkan pekerja jalan tol bersatu mengukur suhu tubuh dan menganggap mereka ada di garis depan dari upaya melindungi china dan seluruh dunia dari penyebaran virus.
Pemerintah Indonesia sendiri, sejak November 2020 telah menyediakan vaksin coviod 19, berikut pelaksanaan vaksin massal dengan tetap didasari pada protokol kesehatan. Presiden Joko Widodo bahkan menjadi orang pertama yang disuntik vaksin covid 19 . “Kalau oleh tim diminta, maka Saya akan menjadi orang pertama disuntik dan saya siap,”tegas Jokowi. Semoga dengan adanya vaksi covid 19, wabah yang berkepanjangan ini segera berlalu.