JAKARTA, suarakendari.com-Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak bisa dipidana merupakan angin segar bagi ruang aktifitas pegiat lingkungan di Indonesia. Tak sedikit yang menilai jika peraturan tersebut cukup progresif, apalagi Peraturan ini muncul di tengah meningkatnya kasus-kasus pidana yang menjerat pejuang lingkungan.
Auriga Nusantara mencatat telah terjadi setidaknya 133 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan sepanjang 2014-2023.
Namun peraturan menteri ini tidak bisa mengikat lembaga penegak hukum yang “sering kali belum punya perspektif melindungi pejuang lingkungan”, kata pakar dan pegiat.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Raynaldo Sembiring, mengatakan salah satu tantangan dari implementasi peraturan ini adalah memastikan bahwa aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang sama soal perlindungan pejuang lingkungan.
Menurutnya, ini bukanlah peraturan pertama dengan napas serupa. Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung pernah menerbitkan pedoman untuk menangani serta mengadili perkara terkait lingkungan hidup.
“Tapi aparat penegak hukum sering kali memilih tidak menggunakan ketentuan yang sudah ada. Saya melihatnya pemahamannya belum penuh, lalu [mereka] melihat para pegiat lingkungan ini sama seperti pelaku kejahatan lainnya, padahal kan tidak,” kata Raynaldo ketika dihubungi, Jumat (13/09).
Sampai bulan ini saja, masih ada kasus-kasus pejuang lingkungan yang berhadapan dengan hukum.
Di Sulawesi Tenggara sejumlah aktifis lingkungan hidup tengah diperhadapkan ke meja hijau oleh aksi protes warga terhadap aktifitas pertambangan yang dinilai telah merebut ruang hidup masyarakat dan merusak lingkungan hidup di daerah itu. Seperti di Kabupaten konawe selatan dan Konawe kepulauan.
Pada 5 September 2024, dua nelayan di Kwala Langkat, Sumatra Utara, divonis bersalah karena menolak hutan mangrove menjadi kebun sawit.
Tina Rambe, seorang ibu di Labuhan Batu, dituntut enam bulan penjara karena diduga melawan polisi saat berdemo menolak pabrik kelapa sawit. Video Tina memeluk anaknya dari balik jeruji sempat viral di media sosial.
Dari Halmahera Tengah, Cristina Rumalutu dipanggil oleh Bareskrim Polri imbas aksi protesnya menyoroti kerusakan lingkungan akibat tambang nikel. Dia dilaporkan atas tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada April 2024, aktivis lingkungan di Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan sempat divonis tujuh bulan penjara karena memprotes tambak udang yang merusak lingkungan. Daniel akhirnya bebas pada Mei lalu setelah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.SK/Bbc