SINARIAH, nama perempuan muda itu. Tubuhnya yang kecil lagi kurus tak menghalanginya mendayung di atas sampan kecil menjelajahi teluk kendari, Sulawesi Tenggara, suatu Sabtu pagi di Medio Mei 2014 Silam. Bukan ikan, udang, mutiara atau kekayaan laut pada umumnya yang Ia cari melainkan sampah yang mengambang di laut yang dikumpul.
Ya, Sinaria adalah satu di antara warga di perkampungan miskin nelayan di Kampung Tanjung Perak, Kelurahan Petoaha, Kecamatan Abeli, Kota Kendari yang sejak beberapa tahun terakhir mencari penghidupan dari mengumpulkan sampah di laut. Hal yang tentu belum lazim, utamanya di kota lulo ini.
Pasalnya, selama ini kampung nelayan identik dengan penghasilan ikan, tidak demikian. Kampung yang dihuni masyarakat bajo pesisir ini justeru kini identik dengan kampung pemulung, sebab sebagain besar warganya, khususnya anak-anak dan orang tua lanjut usia, kini menjadi pemulung laut. Termasuk Sinaria.
Perempuan yang lahir dan besar di pesisir itu mungkin juga merasa lebih ”nyaman” dengan lingkungan laut ketimbang daratan. Pekerjaan tak ringan dan penuh tantangan itu terpaksa dilakoni Sinariah sejak sekitar tujuh tahun terakhir.
Apalagi sejak ditinggal pergi suaminya setahun silam. Ia bersama adiknya Sumiana, mau tidak mau harus bisa menghidupi diri sendiri. Itu terpaksa dilakoni karena untuk menjadi nelayan seperti kebanyakan warga khususnya lelaki di kampungnya, Sinariah tak punya keterampilan maupun peralatan. Apalagi Ia sama sekali tidak memiliki sumber penghidupan lain seperti warga lainnya yang memiliki areal rumput laut.
Memulung di laut mulai dijalani Sinaria setelah melihat beberapa tetangganya yang lebih dulu melakukannya dan terbukti bisa memperoleh penghasilan tambahan lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Peluang itu semakin besar karena setiap hari sampah selalu ”terhampar” di teluk.
Sampah-sampah itu merupakan buangan langsung dari warga yang beraktivitas di sepanjang teluk atau terbawa aliran sungai yang bermuara di sana. Maka, jadilah setiap hari Sinariah dan adiknya turun ke laut saat matahari mulai bersinar, sekitar pukul lima pagi. Ia menjelajahi teluk seluas 1236 hektar itu dengan sampan dayung sepanjang dua meter.
Bersama adiknya, mereka menyisir pesisir tempat dimana banyak sampah plastik terdampar. Kedua kakak beradik ini mengumpulkan sampak plastik yang terbawa oleh air pasang. Sampah plastik mereka muat ke dalam perahu kecil peninggalan kedua orang tuanya.
Dengan tangannya, Ia memunguti berbagai gelas kemasan air mineral, botol sampho, pecahan ember ataupun botol minuman kaleng yang mengambang di perairan. Satu per satu sampah berbahan plastic, logam, besi ataupun tembaga itu dinaikkan ke sampan.
Tidak seluruh sampah dipungut, melainkan hanya keempat macam bahan itu yang laku dijual. Untuk memenuhi sampan itu biasanya dibutuhkan waktu hingga tengah hari.
Sinaria mengaku dalam sehari, Ia bisa mengumpulkan sampah plastik sebanyak 10 kilogram yang dijual dengan harga 1500 rupiah perkilogramnya kepada seorang kerabat yang kebetulan menjadi pengumpul barang bekas di desanya.
Atas jerih payah dan usaha kerasnya itu, Sinaria bisa memperoleh uang bervariasi dari Rp 5000 hingga Rp.20.000 untuk sekali memulung. Jika masih ada sisa tenaga, Sinariah bisa melanjutkan lagi memulung pada sore hari.
Degradasi Ekosistem Teluk
Di satu sisi, apa yang dilakukan para pemulung laut itu telah turut membantu mengurangi permasalahan sampah di Teluk Kendari. Namun di sisi lain, Sinariah merasa miris dengan kenyataan bahwa sudah sedemikian besarnya masalah lingkungan hidup yang kini mengalami degradasi ekosistem yang hebat di teluk kendari, sehingga memunculkan fenomena pemulung laut tersebut.
Diperkirakan endapan sampah di teluk kendari saat ini telah mencapai 54 juta meter kubik atau 70 persen dari kapasitas tampung maksimal teluk. Jika endapan ini tak tertangani diperkirakam dalam 10 tahun mendatang teluk akan penuh tertutup sedimen. Endapan setara dengan muatan sekitar 10 juta truk pasir itu sebagian besar disumbang sedimentasi alami dari sungai-sungai yang bermuara di teluk. Namun limbah rumah tangga dan berbagai macam sampah tak bisa disangkal juga turut menyumbang kerusakan.
Bagi warga, sampah-sampah itu nyatanya telah menjadi berkah tersendiri. Berkah yang membantu mereka untuk bisa sekadar bertahan dari getirnya kemiskinan. TM