Seperti di banyak tempat indah, selalu ada pertanyaan yang sama; kenapa lokasi wisata kita seperti ‘teraniaya’ ? Dibiarkan rusak dan tak terurus? Seperti nasib pantai Batu Gong kini, terpuruk, bahkan, hilang dari hitungan peta kepariwisataan daerah ini. Tak ada upaya pemerintah darerah, baik provinsi terlebih pemerintah kabupaten konawe selaku pemilik wilyah adminstrasi memperbaiki asset wisata ini. Mungkin karena itu pula batu gong jadi terbengkalai, kotor dan jadi lautan sampah.
“Sudah bertahun-tahun kondisinya seperti ini pak, kotor dan tak terawat lagi,”kata Arman, warga Batu Gong.
Kondisi yang berbanding terbalik dengan dua puluh tahun lalu, dimana pantai Batu menjadi surga bagi para wisatawan untuk berlibur.
Padahal jika mau jujur, lanjut Arman berwisata paling pas untuk wisatawan lokal itu di sini, karena cukup terjangkau dan lengkap amenitas. Infrastruktur jalan dari kota hingga ke obyek wisata seluruhnya terbungkus aspal. Akses batu gong dari wilayah kota kendari pun terbilang cukup dekat, karena ditempuh dalam tempo 20 menit saja. Di tambah lagi banyaknya pedagang kaki lima yang bergantung hidup di wisata pantai ini, menjadikan pantai batu gong sebagai wahana wisata yang sangat layak di kunjungi wisatawan.
Batu gong dalam bahasa tolaki disebut Watunggarandu. Penyebutan batu gong didasari penomena alam berupa bebatuan karang di kawasan pantai yang berbunyi seperti gong saat dihajar gelombang. Panjang garis pantainya mencapai 2 KM dengan lebar pantai kurang lebih seratus meter. Warna pasirnya kehitaman, berbeda dengan pasir pantai kebanyakan yang berwarna terang. Pasir pantai dari pulau atau tempat tropis misalnya, berwarna terang karena mengandung unsur kalsium (kapur) yang tinggi. Mengapa? Karena dihasilkan dari kerang laut kaya akan kalsium. Kerang-kerang ini pecah menjadi kecil-kecil hingga seukuran pasir. Sementara itu, pasir sungai yang berada di pedalaman pulau tinggi kandungan silikon. Sebab, batu-batuan terbentuk dari beragam jenis silikat yang pecah menjadi pasir di sana.Nah, pasir hitam pohara dihasilkan dari pertemuan dua arus berbeda (arus sungai pohara dan laut di muara sampara.
Di waktu senggang saya selalu menyempatkan diri ke pantai ini seorang diri dan sesekali bersama keluarga. Tempatnya asyik dan eksotik. Tempat dimana saya betah untuk berlama-lama. Dari sini Saya leluasa melihat padu padan hutan hijau dan laut biru dan menonton buih berkejaran. Sesekali melempar jauh pandangan ke batas langit di timur. Saya melewati hari di sini untuk mencipta barisan hurup menjadi tulisan ringan dan juga beberapa bait puisi… “ buih tak pernah bosan melukis lautan, kala ombak mencipta irama?angin menari tanpa busana. Ia terlihat begitu telanjang disini”….dst…
Pastinya,setiap kali ke sini Saya selalu membawa kamera dan laptop, dua benda yang menjadi “isteri kedua” saya, sembari duduk di bawah pohon akasia yang rindang ditemani segelas kopi hangat, onde-onde, kue lapis, lopis dan taraju.
Lalu beranjak pergi saat battery laptop sudah habis. (SK)