Dari puncak gunung Rafi dan Nizar terpana menyaksikan hutan hutan yang tadinya lebat telah menjadi gundul. Hutan alam masih tersisa separuh di bagian tengah, ini menjadi pemandangan kontras.
Keduanya saling bertanya, bagaimana orang-orang bisa sekuat itu membuka hutan hingga beratus hektar luasnya. Sampai sampai mereka membuka jauh ke puncak yang telah mendekati awan.
Tak cukup sampai di situ, orang orang kuat ini juga membangun rumah rumah kayu beratap seng, hingga ke puncak pegunungan. Kilau seng tterpantul cahaya matahari terlihat hingga belasan kilo meter.
“Bagaimana mereka cara mengangkut seng yang akan menjadi atap rumah-rumah mereka?,”tanya Rafi.
Membangun rumah tentu untuk menetap sambil terus membuka hutan untuk kebun kebun baru.
“Saya bingung bagaimana cara orang orang itu menyediakan perbekalan, karena, sesuatu yang mustahil untuk bisa belanja ke pasar desa yang jauh berada di bawah kaki gunung itu,”tanyanya penasaran.
Itu sekelumit dari pertanyaan dibenak Rafi tentang orang orang kuat membongkar hutan hingga puluhan hektar di pegunungan kolaka. Alih fungsi kawasan hutan alam menjadi perkebunan menjadi pemandangan kontras di bumi mekongga selama lebih dari dua dekade.
Hampir seluruh wilayah hutan alam telah berubah fungsi, dimana masyarakat dan perusahaan menjadi pelaku utama. Kondisi yang tidak saja mengubah bentang alam, tetapi juga meninggalkan jejak jejak kerusakan yang sewaktu waktu dapat menjadi malapetaka.
Amir, salah satu warga mengaku, bukan perkara gampang mengubah hutan alam menjadi perkebunan, butuh anggaran tak sedikit untuk mengupah pekerja dan waktu berbulan bulan agar lahan bisa bersih dan dimanfaatkan jadi lahan perkebunan. “Biasanya pemilik lahan menggaji pekerja untuk membersihkan lahan, istilahnya sistem borong dan pemilik tinggal terima jadi,”ungkap Amir.
Ada banyak proses yang harus dilakukan dari menebangi kayu, membersihkan semak belukar, membakar hingga membersikah akar kayu. “Itu baru pekerjaan membuka lahan, belum menanam dan merawat tanaman perkebunan,”ungkapnya.
Saat membuka lahan perkebunan, lanjut Amir, seorang pekerja membutuhkan lokasi untuk tinggal, maka biasanya mereka membuat rumah sementara, jadi mau tak mau bahan atau ramuan untuk membangun rumah harus dibawa, seperti atap seng sebagai pelindung dari panas dan hujan. ” Kalo dulu orang berjalan kaki mengangkut bahan rumah, sekarang orang naik motor karena sudah banyak jalan yang dibuka ke kawasan hutan,”jelas Amir.
Banjir Bandang
Praktik pembukaan lahan perkebunan secara sporadis memang bukan hal baru di kolaka dan kolaka utara. Tak hanya gunung gunung kecil yang diterabas, bahkan gunung mekongga pun telah kena imbas kerakusan manusia. Praktik ilegal perambahan kawasan mekongga bahkan menyebab malapetaka berupa banjir bandang m di Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu. Ini terlihat dari material berada di bekas lokasi banjir di lima desa yang tertimpa bencana. Material sepeti kayu gelondongan sisa hasil tebangan dan lumpur yang terbawa menunjukkan ada jejak kerusakan dalam kawasan.
Puluhan kayu berdiameter antara 50- 70 Cm yang sudah diberi nomor juga ditemukan di lokasi banjir. Kayu-kayu ini diduga milik perusahan kayu yang kini beroperasi di sekitar kawasan hutan mekongga.
Nur Alam saat masih menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam pernah berkunjung ke lokasi banjir bandang di Kolaka Utara hingga tercengang-cengang melihat fakta banyaknya kayu sisa olahan di lokasi banjir. Tak urung Nur Alam pun mengaku prihatin dengan maraknya pembalakan liar di kawasan hutan Kolaka dan Kolaka Utara sehingga menyebabkan bencana banjir bandang.
Sebagai Gubernur, Nur Alam pun meminta agar pemerintah daerah segera menindak tegas para pelaku pembalakan liar di kawasan tersebut. “Saya sudah melihat langsung ke lokasi banjir dan disana terdapat sisa hasil tebangan berupa kayu olahan. Pemda Kolaka Utara sebaiknya segera membenahi dan menertibakan para pembalak liar,”kata Nur Alam, Sabtu (23/1) .
Para pencinta alam bahkan berani mengklaim jika kerusakan hutan tersebut merupakan hasil ilegal logging yang kini marak di kawasan pegnungan mekongga.
“Beberapa kali kami melakukan perjalan menunju puncak pegunungan Mekongga kami menemukan jejak pembalakan liar besar-besaran.
Bahkan sudah terdapat jalur mobil yang menuju pos empat jalur Mekongga,”kata Irfan, seorang pencinta alam di Sultra.
Irfan yang menunjukkan peta lokasi pegunungan Mekongga ini menduga perusahaan kayu yang kini beroperasi dalam kawasan berada di balik kerusakan kawasan ini. “Pemeritah Kolaka seharusnya segera menindak para pengusaha kayu yang beroperasi di sekitar lokasi,”kata Irfan.
Selain kerusakan hutan akibat ilegal logging, aktifitas pembukaan kawasan perkebunan rakyat dengan cara menkonversi hutan menjadi lahan perkebunan juga diduga menjadi penyumbang kerusakan lingkungan di daerah Kolaka Utara.
Jejak perkebunan telah terlihat membentang saat memasuki pintu kawasan Kabupaten Kolaka hingga Kolaka Utara. Warga yang gemar menanam tanaman produktif jangka panjang seperti kakao dan cengkeh dan lada terlihat sejauh mata memandang. Tak heran di dua daerah ini 10 tahun silam masyarakatnya pernah mengalami ‘booming’ hasil pertanian.
Pegunungan Mekongga sendiri merupakan kawasan yang menyimpan resapan air cukup besar yang mengalir ke seluruh sungai di kawasan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Diantara sungai yang menerima limpahan air dari Mekongga yakni sungai Tinukari dan Lasusua.
Bukan kali ini saja Kolaka Utara dilanda banjir bandang. Tahun 2008 silam, wilayah yang telah telah lima tahun memisahkan diri dari kabupaten induk Kolaka ini juga dilanda banjir bandang, tepatnya di Kecamatan Rante Angin. Terdapat dua desa tertimba bencana dimana banjir besar merendam ratusan rumah dan puluhan diantaranya rusak parah. Meski tidak ada korban jiwa, namun bencana tersebut menyebabkan kerugian cukup besar bagi masyarakat yang terkena banjir.
Dan tahun 2010 ini Kabupaten Kolaka Utara membali tertimpa bencana dan telah menelan korban jiwa 10 orang tewas dan 5 orang dinyatakan hilang dan diduga telah tewas. Sk