“Disayangkan, Nikel Indonesia Tidak Sesuai Harapan”
KENDARI, suarakendari.com- Narasi global yang menyebut nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dan solusi transisi energi tampaknya tidak sesuai harapan. Pada praktiknya, hilirisasi nikel melalui produksi dalam negeri justru lebih banyak menghasilkan produk stainless steel rumah tangga, seperti sendok, paku, dan pacul, daripada baterai kendaraan listrik.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, sekitar 70 persen nikel diolah untuk produksi stainless steel, sementara hanya 30 persen yang digunakan untuk baterai. Ironisnya, kebutuhan baterai dari nikel Indonesia ini hanya untuk menopang industri kendaraan listrik di Eropa dan Amerika, bukan untuk Indonesia sendiri.
“Kendaraan listrik sendiri hanya beredar di Eropa, yang berarti kebutuhan baterai dari nikel Indonesia ini hanya untuk menopang industri kendaraan listrik di Eropa dan Amerika dan tidak untuk indonesia,” kata Andi Rahman, Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara dalam diskusi sarasehan jurnalis, CSO dan Akademisi tentang transisi energi di Kendari, Jumat-Sabtu (21-22 Maret 2025)
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah hilirisasi nikel di Indonesia. Alih-alih menjadi pemain utama dalam industri baterai kendaraan listrik global, Indonesia justru lebih banyak menjadi pemasok bahan baku untuk produk rumah tangga. “Harapan dari hilirisasi nikel tadinya mau baterai untuk kendaraan listrik tapi ternyata banyak dibuat hanya sendok makan,”ungkapnya. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat potensi nikel Indonesia yang sangat besar.
Berikut adalah beberapa poin penting dari permasalahan ini:
* Mayoritas nikel Indonesia diolah untuk produk stainless steel rumah tangga.
* Hanya sebagian kecil nikel yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik.
* Kebutuhan baterai dari nikel Indonesia lebih banyak untuk industri kendaraan listrik di Eropa dan Amerika.
* Indonesia belum menjadi pemain utama dalam industri baterai kendaraan listrik global.
* Dampak Lingkungan yang di timbulkan dari penambangan nikel juga menjadi perhatian khusus bagi para aktifis lingkungan.
Kondisi ini memerlukan evaluasi mendalam terhadap strategi hilirisasi nikel di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa nikel Indonesia dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara dan masyarakat, serta dapat digunakan untuk kepentingan dalam negeri.
Seperti diketahui, di dunia terdapat 8 negara penghasil nikel dan menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar cadangan deposit nikelnya yakni sekitar 55 juta ton (hasil penelitian AS) sehingga Indonesia ditarget sebagai negara dengan investasi nikel terbesar.
Pada tahun 2008 indoensia melakulan eksport ore nikel ke cina yang oleh Walhi menuding kebijakan ini sebagai kebijakan “menjual tanah air”. Setelahnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ekspor ore nikel menjadi kebijakan hilirisasi nikel yang tujuannya pengolahan nikel berada dalam negeri.
Bertahun jorjoran ekspor nikel ke cina ini diduga indonesia kehilangan besar cadangan deposit nikelnya dan tentu saja kerugian atas pajak yang diduga telah terjadi praktik korupsi SDA di dalamnya. Sementara cadangan nikel Indonesia hanya ada dibeberapa daerah saja yakni, Maluku utara, Sultra, Sulteng dan Sulsel. Dimana deposit nikel Sultra menempat urutan teratas dengan 23 persen deposit cadangan nikel dari 55 juta deposit nikel yang ada di negara ini.
Data Walhi sultra menyebut terdapat 160 IUP tambang nikel, dari data itu kabupaten konawe utara menjadi daerah terbanyak sebaran IUP yakni sekitar 70 IUP tambang nikel. Ini menempatkan Konut daerah pengahasil deposit nikel sekaligus dinobatkan sebagai daerah paling sering tertimba bencana banjir.SK