Keberadaan Rawa Aopa menjadi berkah sekaligus ruang hidup bagi mahluk hidup di sekitarnya. Bertahun-tahun, warga local etnik tolaki yang berprofesi sebagai petani ladang, peternak dan nelayan tangkap memanfaatkan rawa untuk memenuhi kehidupan mereka. Dan salah satu kearifan lokal yang masih eksis memanfaatkan jasa rawa adalah para pombakani kiniku atau penggembala kerbau.
Terhitungan ada ratusan penggembala kerbau yang kini bergantung pada ekosistem rawa aopa. Sejak jaman belanda para peternak kerbau sudah memanfaatkan jasa rawa aopa sebagai lokasi gembala. Ini tak lepas keberadaan ekosistem alami rawa aopa yang menyediakan banyak nutrisi untuk kerbau, khususnya di blok selatan rawa aopa tepatnya di daerah Angata-Puao. Tak heran jika para peternak begitu leluasa melepasliarkan ternaknya tanpa khawatir dengan resiko.
Namun kegundahan peternak kini makin nyata di depan mata mereka, kala ekspansi perusahaan perkebunan dan pertambangan mulai masuk di wilayah ini, bahkan telah menguasai hampir seluruh lahan di kawasan yang selama ini menjadi wilayah kelola masyarakat petani, peternak,dan nelayan tangkap ramah lingkungan (pukat, bubu dan pancing / parata’a).
Sayangnya, kini wilayah kelola masyarakat local tersebut telah diambil alih investor perusahaan perkebunan. Perusahaan menutup seluruh akses masuk dan melarang peternak menggembalakan ternak mereka ke rawa aopa karena diklaim telah menjadi hal milik perusahaan.
Pelarangan itu diwujudkan dengan menyurati seluruh pemilik ternak sapi dan kerbau di sekitar perkebunan untuk tidak melepasliarkan ternak mereka, ternak-ternak yang ada diminta untuk dikandangkan atau diikat agar tak memakan tanaman tebu yang di tanam perusahaan.
“Miris juga, dulunya kawasan rawa aopa merupakan wilayah kelola yang selalu menjadi kebanggaan cerita dan sandaran hidup orang-orang tua kita di kampong. Mereka menafkahi keluarga dan menyekolahkan anaknya hingga sarjana dan sukses dari hasil bumi juga air di wilayah kelolanya,”kata Harjuna, warga Angata.
Lantas perusahaan apa saja yang kini men guasai hak kelola warga Angata-Puao di rawa aopa? Proses jual beli lahan memang cukup massif dilakukan para oknum warga dan oknum kepala desa di kawasan ini, mereka memperjual belikan lahan kepada perusahaan. Tanah yang dianggap sebagai tanah leluhur dijual dengan harga relative murah ke perusahaan. Dulu diawal masuk masyarakat menjual tanah ke PT Sumber Madu Bukari (SMB) dan setelah PT SMB hengkang, lahan kemudian di take over ke perusahaan PT Marketindo Selaras.
“Penggusuran tanah kini telah mencapai bibir rawa, tanah bekas gusuran kemudian ditanami tebu. Ya, sekarang sebagian lahan sudah ditumbuhi tebu,”ungkap kisran.
Namun, diduga tebu yang ditanam hanya sebagai kecil saja dan dinilai hanyalah upaya kamuflase untuk mendapatkan legitimasi untuk pengakuan atas hak usaha perusahaan.
“Sudah 24 tahun perusahaan menguasai lahan, toh tak ada juga hasil. Perusahaan dicurigai hanya menguasai lahan tanpa ada kegiatan perkebunan sebagaimana ijin yang diterbitkan,”kata Kisran.
Take Over
Historisnya masyarakat kawasan Angata pernah melakukan aksi penolakan besar keberadaan investor kala itu PT.Sumber Madu Bukari (SMB). Tetapi aksi masyarakat mendapat penentangan dari pemerintah dan investor. Bahkan warga dipaksa untuk menerima keberadaan investor dan yang menolak mendapat perlakuan kekerasan dan dikriminalisasi dan kekerasan.
Dan pada perkembangannya kepemilihan ijin usaha ditake over dari PT SMB ke perusahaan milik Tomi Winata. Andil Ali Mazi 2003 membawa Tomi winata untuk mentake over PT Muda Bina Perkasa lalu tahun 2009 ditake over lagi ke PT Marketiondo Selaras. Manajemen sama dan pemilik yang sama. Total seluruh lahan mencapai 20.000 Ha.
“Infonya perusahaan baru mendapatkan lahan seluas 3000 Ha, tapi saya tidak yakin, karena izin perkebunannya saja sekitar 20.000 Ha. Tapi kalo perusahaan mau nambah lahan, pertanyaan mau ambil dimana lagi lahan di Konsel? Semua perusahaan sudah menumpuk di konsel ini, ada di Benua, Basala, Mata Iwoidan lokasi produksinya berbatasan dengan taman nasional rawa aopa watumohai (TNRAW).
“Luasan 3000 Ha, itu tidak masuk akal sebab sejak 2009 perusahaan telah ekspansi membeli dan menguasai lahan-lahan masyarakat di Angata dan sekitarnya. Dan jika ditelusuri, lokasi PT Marketindo bukannnya hanya Angata tapi sampai landono. Jadi tidak masuk akal hanya 3000 ha,”ungkap Kisran.
Di lokasi bekas PT SMB terdapat bekas pabrik, dan disana hanya teronggok mesin yang sudah berupa besi tua. Tak lagi ada yang bisa digunakan untuk memproduksi gula sepeti yang dijanjikan.
Menurut Kisran seharusnya secara aturan, setiap tahun sekali harus ada laporan resmi terkait aktifitas perusahaan ke pemerintah daerah, tapi ini sudah 24 tahun perusahaan kerjanya cuma cari tanah saja. Dan ironisnya tidak ada verifikasi yang serius dari pemda soal ini.
“Saya sudah lama minta pemda konsel agar mengecek secara serius aktifitas PT Marketindo Selaras karena minim aktifitas. Bahkan saat itu Saya meminta agar pemkab konsel meninjau ulang ijin, jika perlu dihentikan saja aktifitas perusahaan tersebut di sana,”kata Kisran.
Sekitar 80 persen orang sudah tidak memiliki tanah kebun untuk ditanami, yang ada hanya tanah untuk halaman pekarangan dan rumah. “Masalahnya kini masyarakat tak lagi punya lahan kelola. Faktanya masyarakat sekarang sudah pinjam tanah untuk tanam sayur. Lebih parah dari pembatasan peternakan kerbau,”jelas Kisran.
Dulu di tepi rawa ada perkampungan, itu telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa ratusan kuburan atau makam serta sumur dan jalan perkampungan. “Makanya di sana masih ada dibilang sumur belanda, jalan belanda ada situs sejarah yang tembus di puriala. Ada ribuan kuburan warga menandakan warga bermukim di pinggiran rawa aopa,”ungkap Kisran.
Kini, lanjut Kisran, sebagaian besar komoditas pangan local seperti sagu makin sedikit dan sebagain besar sudah dimusnahkan khususnya disepanjang rawa. “Habitat tempat hidup sagu umumnya berada di rawa dan dipastikan saat ini sudah tidak ditemukan lagi. Perusahaan telah menggusur lahan-lahan yang ada, bahkan, penggusuran tanah sudah mencapai tepi rawa aopa,”ungkapnya.
Dan yang paling mengkhawatirkan adalah jika perusahaan menggunakan pupuk tanaman maka dikuatirkan akan mencemari air rawa. “Rawa ini punya peran ekologi sangat besar bagi kehidupan mahluk hidup di dalam maupun di sekitar rawa. Rawa aopa adalah lumbung air bagi kota kendari dan menjadi tumpuan hidup warga local etnik tolaki yang berprofesi sebagai petani ladang, peternak dan nelayan tangkap yang selama ini memanfaatkan rawa untuk memenuhi kehidupan mereka,”jelas Kisran.
Ironisnya, masalah agraria ini tidak hanya di angata saja, tetapi hampir seluruh wilayah di konawe selatan. Ijin perusahaan numpuk di setiap daerah kecamatan.
Mengutip Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nah, apakah kebijakan perluasan investasi perkebunan sudah sejalah amanah UUD ? Wallahualam.