Jakarta, suarakendari.com- Sejak diproklamirkan pada tahun 1957, Deklarasi Djuanda kini berusia 66 tahun. Ini adalah momen penting bagi Indonesia untuk memperingati keutuhannya sebagai Negara Kepulauan, tidak terkecuali keutuhan pulau-pulau kecil yang kini di bawah ancaman pembangunan ekstraktif dan krisis iklim.
Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) dalam satu butirnya berbunyi, “Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam Rangka Memperingati 66 Tahun Deklarasi Djuanda; KORAL, Ekomarin, dan PBHI menggelar Diskusi Kebijakan dengan tema, “Refleksi 66 Tahun Deklarasi Djuanda: Tambang di Pulau Kecil Dibolehkan, Hak Asasi Nelayan dan Rakyat Pulau Kecil Dirampas” Deklarasi Djuanda merupakan bagian dari sejarah nasional Negara Kepulauan. Konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa sumber daya kepulauan dikuasakan kepada negara untuk dipergunakan secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Disayangkan, momen 66 tahun Deklarasi Djuanda itu bertolak belakang dengan paradigma ekstraktif yang kian menggerus pulau-pulau kecil.
Pelaku usaha berupaya meretas jalan guna melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil. Perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (PT. GKP) menggugat Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai terdaftar dalam Perkara Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XII/2023. Upaya ini bertujuan agar MK menafsirkan kedua pasal dalam UU No. 27/2007 tersebut menjustifikasi kegiatan pertambangan di wilayah yang berada dalam kategori Pulau Kecil. “Jika gugatan PT GKP dikabulkan MK, maka sekitar 13.466 pulau kecil atau lebih dari 90% pulau Indonesia dengan mayoritas tidak berpenghuni terancam hancur dan tenggelam. Juga publik perlu mengingat pengalaman Pulau Nipa di Kepulauan Riau yang tenggelam karena ditambang.” tegas Marthin.
Perwakilan dari Tim Advokasi Penolakan Pertambangan di Pulau Kecil (Terpukau) yang diwakili Annisa Zahra menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi telah memutus Uji Materil terhadap UU 27/2007 yang telah mengakui hak-hak asasi nelayan dan masyarakat atas pulau kecil dan perairan sekitarnya yang harus dihormati. Juga adanya Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 tertanggal 22 Desember 2022 telah menyatakan bahwa kegiatan pertambangan adalah “abnormally dangerous activity” serta kegiatan pertambangan yang selama ini terjadi mengakibatkan adanya perampasan hak asasi nelayan dan rakyat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau kecil. Sehingga Uji materil PT GKP harus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,”tegasnya.
Sementara, Harimuddin dari Integrity Law Office selaku kuasa hukum Idris dkk sebagai pihak terkait langsung dalam Uji Materil UU 27/2007 tersebut menjelaskan, putusan Mahkamah Agung telah menyatakan tambang di Pulau Wawonii tidak bisa dilanjutkan. Kemudian, tidak hanya persoalan putusan MA tersebut, perizinan PT GKP juga bermasalah, di antaranya IPPKH yang juga sudah dibatalkan oleh PTUN Jakarta meskipun belum berkekuatan hukum tetap.
Jull Takaliuang dari Koalisi Save Sangihe Island menceritakan perjuangan masyarakat menolak tambang di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. “Rakyat harus benar-benar menguatkan diri untuk menghadapi perampasan sumber daya alam dan ruang hidup,” pungkas Jull.
“Kita telah berjuang hingga pada akhirnya Izin Operasi Produksi PT Tambang Mas Sangihe dicabut. Untuk selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perlu juga mencabut Kontrak Karya PT TMS yang statusnya adalah bukan IUPK atau tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga Kontrak Karya tersebut harus ikut dibatalkan. Kementerian ESDM juga harus tegas terhadap penambangan liar di Pulau Sangihe,” tandasnya.
Hariyono seorang nelayan kecil dari Pulau Bunyu, Kalimantan Utara menceritakan dampak buruk tambang batubara yang dialami masyarakat. Mulai dari pencemaran di perairan, hingga ancaman bencana ekologis karena adanya tiga pertambangan di Pulau Bunyu dengan luas tidak lebih dari 198,32 km2.
Penggiat sejarah JJ Rizal menjelaskan Deklarasi Djuanda sebagai proklamasi ketiga setelah Sumpah Pemuda 1928 sebagai Negara Bangsa, Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 dan Deklarasi Djuanda 1958. “Pulau kecil adalah artefak sejarah yang hidup karena sejarah panjang Indonesia sebagai Negara Laut bertaburan pulau. Jika membolehkan pertambangan di pulau kecil terjadi, maka itu adalah sebuah pengkhianatan proklamasi Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia memiliki sejarah dan budaya kelautan mulai dari pertempuran melawan kolonial yang terjadi di perairan laut yang menjadikan pulau kecil tersebut sebagai benteng pertahanan melawan kolonial. Deklarasi Djuanda adalah proklamasi yang menyatukan tanah dan air sebagai satu kesatuan yang terhubung dimana laut utama beserta pulau-pulaunya sebagai gerbang terdepan adalah paradigma. Membolehkan pertambangan di pulau kecil seakan pengulangan sejarah kolonialisme, dimana perusahaan tambang mengeruk dan menghisap sumber daya yang kemudian menggusur dan mengusir rakyat di pulau kecil,” jelas Rizal.
Mida Saragih, Koordinator Sekretariat KORAL menyebutkan, “Terhadap pulau-pulau kecil, negara secara tegas menunjukkan keberpihakan dan kehati-hatian dalam pengelolaan. Sebab pulau kecil selain memiliki potensi biodiversitas, juga merupakan ruang hidup bagi petani, nelayan dan masyarakat pesisir. Pulau-pulau kecil juga memiliki kerentanan ekologis. Mengeruk pulau kecil beserta sumber dayanya adalah sama saja dengan merusak ekologi pulau kecil, melemahkan perekonomian petani dan nelayan. Sudah tidak dapat ditawar bahwa MK harus pertahankan pulau-pulau kecil dengan melarang secara mutlak penambangan di pulau-pulau kecil, demi menjaga keutuhan Negara Kepulauan sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi Djuanda dan Konstitusi RI,”
Deklarasi Djuanda diadopsi melalui UU No. 4/PRP/ 1960 tentang Perairan Indonesia. Implikasinya adalah NKRI yang sepenuhnya berdaulat, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kemudian luas wilayah Republik Indonesia bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Dengan dasar perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, maka tercipta garis maya batas mengelilingi Indonesia sepanjang 8.069,8 mil laut. Perjuangan Indonesia untuk mendapatkan status Negara Kepulauan berlangsung selama 25 tahun yakni dengan diterimanya “Negara Kepulauan” dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.