Kami berangkat selepas shalat subuh, saat matahari masih dalam peraduan. Melewati ilalang basah dan merasakan betapa kuatnya cinta rumput padang di ujung celana. Sayang saat perjalanan ke puncak, kami tak menemukan kabut tebal, sebagaimana cerita banyak orang yang pernah datang, jika kabut di sana menebal abadi, entah karena cuaca pas tengah bagus bagusnya saat kami hadir.
Perjalanan di hari yang cerah membuat kami leluasa melihat batas alam yang jauh, menyaksikan cahaya menyiram pokok pokok kayu, cahaya emas perlahan membentuk batas garis di dinding alam yang semula gelap menjadi terang benderang hingga puncak ahuawali nampak begitu jelas di hadapan kami.
Gunung ahuawali, memang tempat favorit bagi siapapun yang ingin melihat matahari terbit di dataran tinggi konawe. Selain panorama keindahan alamnya, ada yang menarik perhatian kami, yakni, keberadaan seekor merpati di puncak ahuawali.
Saya menyebutnya merpati sebatangkara karena sama sekali tak memiliki pasangan apalagi koloni. Merpati ini konon adalah penunggu puncak ahuawali, sosoknya telah ada sejak puncak ahuawali resmi dibuka 2017 silam. Saat Kami tiba di puncak, si merpati menyambut bak sahabat lama, Ia lebih banyak berjalan di tanah ketimbang terbang seperti kebanyakan burung pada umumnya, sembari terus mengawasi gerak gerik kami. Saya mencoba mendekat, tapi selalu menghindari dengan bergerak berjalan atau pun terbang rendah.sk