Nama Gunung Tincu pernah sangat sohor di Pulau Kabaena. Sejatinya ia bukanlah gunung, cuma bebukitan belaka. Ia hanya puncak dari sebuah jalan menanjak menuju Desa Larolanu, Kecamatan Kabaena Utara. Kawasan itu terkenal bukan karena viewnya memukau tapi entah dari mana, ada signal Ponsel kesasar di area itu. Jaraknya dari pusat pemukiman ramai sekira belasan kilometer.
Tak jelas siapa yang pertama kali menemukan keberadaan jaringan telepon seluler di titik itu, tapi langsung viral. Nyaris semua orang Kabaena yang kebetulan punya Ponsel akibat sering bepergian keluar pulau, kerap mendatangi area itu. Hanya sekadar ber-SMS ria atau menelepon kenalannya. Kala itu belum dikenal berbagai aplikasi, biru atau hijau. Saking niatnya, ada yang mengajak keluarga untuk sekalian “rekreasi”. Bawa bekal nasi kuning.
Kisah soal ramainya kunjungan ke Gunung Tincu ini terjadi di akhir tahun 2008 silam. Saya pun pernah ikut merasakan service signalnya sekira tahun 2009 silam kala punya urusan politik di wilayah itu. Uniknya, titik signalnya amat terbatas. GSM saja, alias geser sedikit mati. Tapi tidak menyurutkan niat para pemburu signal. Apalagi, saat itu, punya Ponsel dan bisa menelepon, sama dengan menaikan prestise pemiliknya.
12 tahun berlalu, eksistensi jaringan telekomunikasi di Kabaena saat ini belumlah banyak berubah. Gunung Tincu memang sudah tak pernah lagi di kunjungi, tapi tak berarti kebiasaan mencari signal sudah berkurang. Hanya jarak pencariannya saja yang berkurang, tapi rutinitas itu masih ada. Hiburan yang sebenarnya ironi di era 4.0 ini. Pulau itu masih lumayan terisolir dari jangkauan teknologi.
Signal 4G hanya tersedia di dua desa utama di Kabaena Barat yakni Sikeli dan Baliara. Di Kabaena Timur, jaringan 4G available di Dongkala dan Lambale. Sedangkan di Kabaena induk, ada di Rahampuu dan Teomokole. Itupun, hanya di jalan dan teras rumah. Begitu masuk kamar, kembali ke pengaturan pabrik, hanya E atau sesekali kedap-kedip H.
Bagaimana dengan daerah lainnya? Jikapun ada signal, rata-rata triji alias telepon ji, sms ji dan senter ji. Tapi jauh lebih banyak daerah yang tidak terjangkau. Di Kabaena Utara misalnya, ada kampung yang memodifikasi cara menangjap jaringan. Mereka menggunakan semacam antena yang dicantolkan di pohon tinggi lalu kabelnya dilekatkan di punggung Ponsel di dalam rumah. Menerima panggilan harus pakai headset atau speaker Ponsel.
Di Kabaena Selatan masih agak ramah. Tiga dari empat desa di kecamatan itu avaliabel jaringan berlogo E atau EDGE, yang mendandakan bisa menerima dan menelepon seseorang. Tapi kalau untuk urusan yang memerlukan jaringan internet, mereka berpindah ke tepi pantai yang titiknya pun bersistem GSM alias geser sedikit mati.
Di Kabaena Tengah malah jauh lebih parah. Tak ada sama sekali spot area yang terjangkau signal. Penduduk desa itu, bila ingin berinternet ria, mengirim WA, membuka FB atau menonton Yutub, mesti berkendara melintasi hutan menuju Kabaena Timur. Biasanya, mereka tak masuk kampung. Nangkring saja di tepi jalan, di jok motornya atau masuk semak-semak, jongkok lalu membuka segala rupa aplikasi.
Kerap kali, signal itu malah benar-benar hilang. Biasanya itu terjadi jika listrik padam atau ada masalah lain. Bila sudah begitu, jika pun ada yang terlihat memainkan Ponselnya, paling hanya main game offline atau membaca ulang WA atau SMS. Efek gabut.
Saat Pemilu 2019 lalu, saya berulangkali mengalami kendala komunikasi dan transfer data pemilih termasuk data kebutuhun logistic TPS. “Sudah pleno kalian?” tanya saya ke penyelenggara di tingkat kecamatan, lewat telepon. “Sudah Pak, tapi datanya belum ditransfer. Saya ke pantai dulu—atau ke desa sebelah dulu-cari signal untuk kirim via WA,” selalu begitu jawaban mereka.
Tapi kami, orang Kabaena memang makhluk paling sabar. Tak pernah ada yang protes berlebihan hanya soal signal Ponsel yang tak merata. Jalan yang tak pernah diaspal berpuluh tahun pun, kami tak rebut. Mencari signal bahkan dianggap satu urusan tersendiri. Sudah jamak bila malam hari, bila seseorang tak ada di kampung, sudah dipastikan ia ke tepi hutan kampung sebelah. “Cari jaringan,” begitu istilahnya.
Tahun 2021 ini ada kabar menggembirakan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi RI. Lembaga itu kabarnya akan mendirikan ribuan Base Transceiver Station (BTS) di berbagai daerah terpencil di negeri ini demi melayani keterisolasian daerah gara-gara jaringan. Nah, konon, dari ribuan BTS itu, akan ada 14 unit dibangun di Pulau Kabaena.
Belum begitu jelas, di daerah mana saja 14 tower penangkap dan pelantang jaringan telekomunikasi itu bakal dibangun. Setidaknya janji ini sudah lebih baik, daripada tidak dijanji sama sekali. Pun bila tidak ditepati, percaya saja tidak akan ada riak. Wong tanah mereka diangkut ke luar pulau oleh para cukong tambang saja mereka tenang-tenang saja.(***)
—–
“Boleh aku pinjam dulu janjimu yang manis? Soalnya hari ini kopiku terasa pahit”
#AMR, Penyuka Kopi