KONAWE UTARA, suarakendari.com-Banjir kembali menerjang wilayah Sabandete, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, meninggalkan duka dan kerugian bagi masyarakat. Bantuan dan uluran tangan mengalir, namun pertanyaan mendasar terus mengemuka: mengapa bencana ini seolah menjadi siklus tahunan?
Di balik derasnya air bah dan lumpur yang melumpuhkan aktivitas, tersembunyi dugaan kuat akan akar permasalahan yang jauh lebih kompleks dan berakar pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Sorotan tajam pun mengarah pada masifnya alih fungsi kawasan hutan untuk aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara telah lama menyuarakan kekhawatiran terkait dampak lingkungan dari ekspansi industri ekstraktif di Konawe Utara. Data yang mereka himpun mencengangkan: sekitar 70 Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi di wilayah ini, sebuah angka yang mengindikasikan betapa luasnya kawasan hutan yang telah dan berpotensi terusik. Aktivitas pertambangan, dengan segala prosesnya mulai dari pembukaan lahan, penggalian, hingga pengolahan material, secara inheren membawa risiko kerusakan lingkungan yang signifikan.
Pembukaan lahan untuk pertambangan seringkali melibatkan penebangan hutan dalam skala besar. Hutan, sebagai ekosistem yang kompleks, memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan hidrologis. Pepohonan dengan sistem perakarannya yang kuat berfungsi sebagai penahan air alami, memperlambat aliran permukaan, dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Ketika hutan dibabat habis, fungsi alami ini hilang. Air hujan yang seharusnya terserap dan tertahan di dalam tanah akan langsung meluncur ke permukaan, membawa serta sedimen dan material lainnya, yang pada akhirnya meningkatkan risiko banjir dan longsor.
Selain itu, aktivitas pertambangan juga berpotensi mencemari sumber-sumber air melalui limbah tambang yang tidak dikelola dengan baik. Sedimen dan zat-zat kimia berbahaya dapat mencemari sungai dan badan air lainnya, mengurangi kualitas air dan merusak ekosistem perairan. Kerusakan ekosistem ini secara tidak langsung juga dapat memperparah dampak banjir, karena hilangnya vegetasi alami di sepanjang sungai yang berfungsi sebagai penyangga alami.
Tak hanya pertambangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit juga disinyalir turut berkontribusi pada permasalahan banjir di Konawe Utara. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga seringkali dilakukan dengan cara menebang hutan atau bahkan membakar lahan, yang jelas-jelas merusak tutupan vegetasi alami. Monokultur kelapa sawit, dengan sistem perakarannya yang dangkal dan kurang efektif dalam menahan air dibandingkan hutan heterogen, tidak mampu menjalankan fungsi hidrologis hutan secara optimal.
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit juga dapat mengubah pola drainase alami wilayah tersebut. Pembangunan jalan dan infrastruktur perkebunan dapat menghambat aliran air, menyebabkan genangan dan memperparah dampak banjir saat curah hujan tinggi. Penggunaan pupuk dan pestisida dalam perkebunan sawit juga berpotensi mencemari air tanah dan permukaan, menambah beban lingkungan di wilayah tersebut.
Korelasi antara deforestasi akibat pertambangan dan perkebunan dengan peningkatan risiko banjir bukanlah isapan jempol belaka. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan secara signifikan meningkatkan kerentanan suatu wilayah terhadap bencana hidrologis. Tanah yang gundul kehilangan kemampuannya untuk menyerap air, sehingga air hujan dengan cepat menjadi aliran permukaan yang deras dan berpotensi meluap menjadi banjir.
Oleh karena itu, banjir yang kembali melanda Sabandete seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan sumber daya alam di Konawe Utara. Pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan kelapa sawit harus dilakukan dengan kajian lingkungan yang mendalam dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan serta risiko bencana. Penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar aturan dan menyebabkan kerusakan lingkungan juga menjadi krusial.
Lebih dari sekadar penanganan pasca-banjir, upaya pencegahan dan mitigasi harus menjadi prioritas. Ini meliputi restorasi kawasan hutan yang telah terdegradasi, penataan ruang yang berbasis pada mitigasi bencana, serta pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan dan perkebunan. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan juga menjadi kunci keberhasilan jangka panjang.
Masyarakat Sabandete dan Konawe Utara pada umumnya berhak atas lingkungan yang sehat dan aman dari bencana. Kerugian materi dan trauma psikologis akibat banjir seharusnya tidak lagi menjadi siklus yang berulang.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab besar untuk mencari akar penyebab permasalahan ini dan mengambil tindakan nyata untuk menghentikan kerusakan lingkungan yang diduga kuat menjadi pemicu utama bencana banjir. Jika alih fungsi hutan demi kepentingan ekonomi jangka pendek terus dibiarkan tanpa pengawasan dan pertanggungjawaban yang jelas, maka mimpi masyarakat Konawe Utara untuk hidup aman dan sejahtera akan terus terancam oleh bayang-bayang banjir di masa depan. **