SUARAKENDARI.COM-Tahun 1863 menjadi saksi bisu bagi sebuah gambar yang tak hanya tercetak di atas kertas, namun juga terpatri dalam hati nurani bangsa Amerika Serikat. Sebuah foto sederhana, hitam putih, menampilkan seorang pria berkulit gelap dengan punggung menghadap kamera. Namun, kesederhanaan itu sirna seketika saat mata menangkap detail yang mengerikan: jaringan luka cambuk yang saling silang, membentuk peta penderitaan yang tak terperi. Pria itu dikenal sebagai “Whipped Peter” atau Gordon, seorang budak yang berhasil melarikan diri menuju kebebasan.
Di tengah hiruk pikuk perang saudara dan perdebatan sengit mengenai moralitas perbudakan, foto Gordon hadir bagai tamparan keras. Pada masa ketika banyak pihak di Selatan bersikeras bahwa kengerian perbudakan hanyalah “propaganda” kaum abolisionis, gambar ini membungkam segala penyangkalan. Punggung Gordon berbicara lebih lantang dari ribuan orasi. Ia adalah bukti bisu namun tak terbantahkan bahwa perbudakan bukanlah sekadar kerja paksa, melainkan sebuah sistem penyiksaan yang dilegalkan, sebuah praktik dehumanisasi yang merobek kemanusiaan.
Perbudakan sendiri telah mengakar dalam sejarah Amerika Serikat sejak awal kolonialisasi. Kedatangan dua puluh orang Afrika yang diperbudak di Point Comfort, Virginia, pada tahun 1619 menjadi titik awal dari sebuah sistem yang akan mencengkeram bangsa ini selama berabad-abad. Seiring berkembangnya perkebunan tembakau dan kapas yang menguntungkan, permintaan akan tenaga kerja paksa pun melonjak. Sistem perkebunan dengan lahan luas dan para budak sebagai tulang punggungnya menjadi ciri khas negara-negara bagian Selatan.
Ekonomi Selatan sepenuhnya bergantung pada sistem perkebunan. Para budak adalah motor penggerak produksi komoditas vital seperti tembakau, beras, dan kapas yang menjadi andalan ekspor. Hal ini melahirkan kelas pemilik tanah yang kaya raya dan memiliki pengaruh politik yang kuat. Lebih dari sekadar sistem ekonomi, perbudakan merasuki tatanan sosial dan budaya Amerika Serikat, terutama di Selatan. Ia menciptakan hierarki rasial yang kaku, menempatkan orang-orang yang diperbudak di posisi terbawah dan para pemilik tanah kulit putih di puncak kekuasaan. Budaya supremasi kulit putih dan dehumanisasi terhadap kaum budak pun tumbuh subur.
Selama bertahun-tahun, sistem perbudakan di Amerika, khususnya di Selatan, menjelma menjadi sebuah rezim brutal. Orang-orang Afrika dan keturunan Afrika diperlakukan layaknya properti, dipaksa bekerja tanpa upah di perkebunan-perkebunan luas. Mereka dicabut haknya, dipisahkan dari keluarga, dan tak jarang menjadi korban kekerasan fisik dan psikologis yang mengerikan. Luka di punggung Gordon hanyalah satu contoh dari jutaan luka tak terlihat yang diderita oleh mereka yang terperangkap dalam rantai perbudakan.
Namun, di tengah kegelapan dan penindasan yang mendalam, semangat perlawanan tetap membara. Para budak menemukan berbagai cara untuk melawan sistem yang kejam ini. Mulai dari tindakan sabotase kecil, melarikan diri dengan mempertaruhkan nyawa melalui jalur bawah tanah Underground Railroad, hingga pemberontakan skala besar yang meskipun seringkali berujung tragis, menunjukkan keberanian dan keinginan kuat untuk bebas.
Perbudakan akhirnya menemui titik akhir formalnya melalui Perang Saudara dan Proklamasi Emansipasi pada tahun 1865. Namun, warisannya yang pahit terus membayangi Amerika Serikat. Setelah era Rekonstruksi, sistem-sistem baru seperti sharecropping dan penyewaan narapidana ( convict leasing) muncul, meneruskan pola eksploitasi ekonomi dan sosial yang mirip dengan perbudakan.
Foto “Whipped Peter” tetap menjadi pengingat yang kuat akan kebrutalan dan ketidakadilan perbudakan. Lebih dari sekadar gambar, ia adalah monumen bagi penderitaan jutaan manusia, sebuah saksi bisu yang menggugah hati nurani dan mendorong bangsa Amerika untuk terus merenungkan sejarah kelamnya serta berjuang demi keadilan dan kesetaraan yang sesungguhnya. Luka di punggung Gordon adalah luka bangsa, sebuah pengingat bahwa kebebasan yang dinikmati hari ini dibangun di atas perjuangan dan pengorbanan yang tak terhingga. **