HukumHeadline

KKJ: Kejaksaan Agung Harus Koordinasi dengan Dewan Pers Terkait Penilaian Karya Jurnalistik

×

KKJ: Kejaksaan Agung Harus Koordinasi dengan Dewan Pers Terkait Penilaian Karya Jurnalistik

Sebarkan artikel ini
20250423 143733

JAKARTA, suarakendari.com – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait penetapan tiga tersangka dalam kasus dugaan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan perkara suap ekspor minyak sawit mentah (CPO). Ketiga tersangka tersebut adalah advokat Junaedi Saibih (JS), Marcela Santoso (MS), dan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB).

Kejagung menilai bahwa para tersangka berupaya membuat narasi negatif melalui publikasi sejumlah berita untuk mengganggu konsentrasi penyidik. Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dalam siaran pers tersebut, Kejagung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan oleh Perusahaan Media Jak TV sebagai alat bukti yang disita. Sejumlah konten publikasi pemberitaan tersebut telah dihapus dan sudah tidak dapat diakses oleh Publik.

Publikasi Pemberitaan Media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya. Penghalangan proses hukum (obstruction of justice) harus merupakan tindakan secara langsung/material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan. Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Fokus atau tidaknya Konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan.

“KKJ menilai penetapan tersangka dan penggunaan karya jurnalistik sebagai alat bukti obstruction of justice menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis, perusahaan media, dan masyarakat sipil. Menurut KKJ, penghalangan proses hukum seharusnya berupa tindakan langsung yang menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan, bukan melalui pemberitaan atau opini publik. Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” tegas Erick Tanjung, Koordinator KKJ dalam pernyataan resminya, Rabu (23/4/2025).

Lebih lanjut, KKJ menekankan bahwa konten publikasi yang dijadikan alat bukti harus dapat diakses publik dan Dewan Pers untuk dinilai apakah melanggar kode etik jurnalistik atau merupakan kritik terhadap proses hukum. Tindakan pengawasan oleh masyarakat sipil, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan UU Hak Asasi Manusia, tidak dapat dipidanakan.

KKJ juga mengingatkan Kejagung terkait Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers melalui Dewan Pers. Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kejaksaan Agung pun secara jelas mengatur koordinasi dan konsultasi terkait substansi pemberitaan yang dijadikan alat bukti.

“Dimana ketentuan MoU tersebut memandatkan institusi Kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice,” jelas KKJ.

Dewan Pers diharapkan dapat memberikan penilaian etik dan petunjuk terkait dugaan pelanggaran dalam proses penyusunan berita tersebut.
Pengabaian mekanisme penilaian etik ini dinilai KKJ berpotensi mengarah pada kriminalisasi kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Meskipun mendukung pemberantasan korupsi, KKJ mendorong penegak hukum menggunakan instrumen hukum pidana secara hati-hati agar tidak menjadi “pasal karet” terhadap kritik publik.

Menyikapi situasi ini, KKJ menyampaikan sejumlah tuntutan:
* Kejaksaan Agung untuk melakukan koordinasi langsung dengan Dewan Pers terkait seluruh konten media yang dijadikan alat bukti, sesuai dengan Nota Kesepahaman yang berlaku.
* Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang penggunaan delik Pidana Obstruction of Justice dan membuka akses atau menjelaskan substansi konten yang dijadikan alat bukti agar publik dapat menilai objektivitasnya.
* Dewan Pers didesak untuk segera melakukan pemeriksaan etik terhadap oknum jurnalis yang diduga melakukan pelanggaran, termasuk menelusuri karya jurnalistik yang dipublikasikan.
* KKJ tetap mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi, namun mendorong agar proses hukum dilakukan secara akuntabel, proporsional, dan tanpa melanggar kebebasan pers.
* KKJ mendorong jurnalis dan media untuk bekerja secara profesional, menjaga independensi, dan menaati kode etik jurnalistik, termasuk larangan penyalahgunaan profesi dan penerimaan suap.

Tentang Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ)

KKJ merupakan koalisi dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil yang dideklarasikan pada 5 April 2019 di Jakarta. Lembaga ini bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. Organisasi yang tergabung dalam KKJ antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Foto Ilustrasi by AJI