Desa Torobulu merupakan salah satu desa yang terkenal dengan hasil rumput lautnya. Sejak tahun 2005 keberhasilan budi daya rumput laut di desa tersebut mulai terlihat. Dengan modal awal Rp.10 juta per 100 bentangan tali rumput laut mereka dapat menghasilkan 800 kilo rumput laut. Dengan kisaran harga Rp.15.000 per kilo setelah dikeringkan, mereka bisa menghasilkan pendapatan Rp.12 juta per satu kali panen dalam 20 hari untuk jenis agar-agar merah. Sedangkan untuk jenis rumput laut palipin mereka bisa panen dalam jangka waktu 40 hari.
Dengan hasil tersebut, mereka sampai bisa membangun rumah, membeli kebutuhan rumah tangga dan kehidupan serba berkecukupan. Rata-rata setiap petani rumput laut menanam 200 sampai 300 bentangan yang bisa menghasilkan Rp.24 juta hingga Rp.36 juta per satu kali panen.
Bukan hanya petani pengolah rumput laut yang merasakan keberhasilan tersebut, bahkan juga pekerja rumput laut. Dari hasil upahnya menanam dan memanen rumput laut yang hanya Rp. 5000 per satu bentangan tali, ternyata mereka juga ikut menikmati hasil yang cukup menggembirakan. Bahkan pekerja yang punya tanggungan 3 anak sampai bisa membangun rumah dan menyekolahkan anaknya.
Namun itu cerita dulu, jauh sebelum korporasi tambang nikel bernama PT. Billy Indonesia datang ke kampung mereka. Aktivitas PT. Billy Indonesia ternyata telah membawa petaka bagi petani rumput laut di Desa Torobulu. Hasil investigasi LSM Yayasan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Sulawesi Tenggara menemukan, limbah pertambangan PT. Billy Indonesia sejak beberapa tahun terakhir telah merubah semuanya. Wilayah pesisir dan laut desa Torobulu kini tak bisa lagi digunakan untuk budi daya rumput laut.
“Limbah korporasi tambang tersebut telah mencemari daerah yang sebelumnya dimanfaatkan oleh petani rumput laut. Apa hendak dikata, petani rumput laut di desa Torobulu terus mengalami gagal panen, bahkan menderita kerugian selama beberapa tahun terakhir,”kisah Yusuf aktifis YPSHK.
Bukan tidak beralasan petani rumput laut menyatakan, bahwa, gagal panen yang dialami adalah akibat dari limbah peruasahaan. Bagaimana tidak, setiap kali hujan turun, air laut di desa Torobulu berubah menjadi kuning kecoklat-coklatan bercampur lumpur. Limbah lumpur tersebut mengalir melalui 2 sungai di desa Nuakongga dan 2 sungai di desa Torobulu. Meskipun perusahaan telah membangun instalasi penjernihan air, namun bila curah hujan cukup tinggi, instalasi tersebut tak mampu menampung limbah lumpur yang meluap dan mengalir sampai ke muara sungai hingga akhirnya mengalir dan mengendap ke laut.
Ditambah lagi dengan aaktivitas bongkar muat material di sekitar Jetty perusahaan yang tidak jauh dari wlayah tempat budi daya rumput laut, secara otomatis aktivitas bongkar muat material ore yang juga menghasilkan limbah mengganggu pertumbuhan tanaman rumput laut warga.
Meskipun pada awalnya petani rumput laut berprasangka baik dan mengira gagal panen yang diderita hanya akibat musim dan cuaca yang lagi tidak berpihak.
Namun dengan kegagalan beruntun yang terus diderita selama 3 tahun, akhirnya mereka menyadari kegagalan yang terus berkepanjangan tersebut memang akibat dari limbah perusahaan setelah melihat keberhasilan tanaman rumput laut di desa lain yang tidak jauh dari desa Torobulu. Seperti keberhasilan petani rumput laut di daerah Torokeku, Tinanggea yang tidak terkena dampak limbah pertambangan. Bilapun ada yang terkena dampak limbah perusahaan, mereka mendapatkan ganti rugi.
Ulah perusahaan yang tak bertanggung jawab tersebut bukan tidak mendapatkan reaksi dari petani rumput laut desa Toro Bulu. Belajar dari pengalaman petani rumput laut daerah lain yang mendapatkan ganti rugi atas gagal panen yang diderita, mereka melakukan upaya. Pada tahun 2014, 169 orang petani rumput laut yang mendapatkan dukungan dari tokoh masyarakat dan warga desa Torobulu kemudian melakukan aksi untuk menuntut ganti rugi ke PT. Billy.
Pihak perusahaan hanya merespon tuntutan warga dengan melakukan pemeriksaan sampel air laut dan rumput laut yang diindikasikan tercemar. Namun pemeriksaan tersebut dilakukan tidak transparan dan terkesan tidak adil. Karena tidak ada perwakilan warga korban yang mengawal proses pemeriksaan air dan rumput laut tersebut.
Walhasil, dari hasil pemeriksaan ‘semu’ yang dilakukan di Makassar tersebut menyatakan bahwa air laut dan rumput laut di desa Torobulu tidak tercemar limbah perusahaan. Padahal pada saat itu petani rumput laut menyarankan agar pemeriksaan dilakukan di Kendari. Dengan alasan tidak adanya fasilitas laboratorium pemeriksaan di Kendari sehingga akhirnya pemeriksaan dilakukan di Makassar.
Bahkan PT. Billy Indonesia seakan lari dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh petani rumput laut. Korporasi tambang tersebut selalu berkilah dan menjadikan dana comdev yang telah dikucurkan ke pemerintah Desa dan Kecamatan sebagai alasan untuk lari dari tanggung jawabnya atas kerugian yang dialami oleh petani rumput laut desa Torobulu.
Bahkan dalam aksi tersebut, 3 orang perempuan petani rumput laut mengalami luka ringan dan harus segera dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan medis sebagai akibat pukulan pentungan dan rotan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang tengah mengamankan aksi. YPSHK menilai apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut menunjukkan keberpihakan aparat negara terhadap korporasi dan terkesan menunjukkan pembelaannya terhadap perusahaan.
Tidak mendapatkan respon positif dari perusahaan, warga pun kemudian mengadu ke DPRD dan Bupati. Namun tak juga membuahkan hasil yang diharapkan. Bupati, DPRD, Kepala Desa dan Camat bahkan terkesan lepas dari tanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap warganya atas dampak hilangnya mata pencaharian yang dialami oleh warganya. Dari berbagai upaya tersebut, petani rumput laut desa Torobulu tak sedikit pun mendapatkan titik terangnya.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh warga petani rumput laut desa Torobulu, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dari 169 orang petani rumput laut diperkirakan telah mengalami kerugian sedikitnya Rp.109,5 milyar. Kerugian yang diderita sangat jauh diatas jumlah dana Comdev yang selalu dijadikan alasan oleh perusahaan. Dimana pemerintah desa Torobulu hanya menerima dana comdev sebesar Rp.1.1 milyar lebih yang dikucurkan secara bertahap selama 4 tahun.
Padahal sesungguhnya dana comdev hanyalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, bukan jaminan ganti rugi seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh pihak perusahaan. Hingga kini petani rumput laut desa Torobulu tetap menanti kebijakan dari pemerintah untuk mendesak PT. Billy Indonesia agar bertanggung jawab atas kerugian yang dialaminya, ataupun memberikan rasa keadilan dengan melakukan pemulihan atas hak atas penghidupan yang layak yang telah hilang sebagai akibat dari limbah pertambangan nikel PT. Billy Indonesia. Sk