Humaniora

Kisah Pedagang Tua dari Binongko

×

Kisah Pedagang Tua dari Binongko

Sebarkan artikel ini
Aneka jenis parang asal binongko, foto: Joss

Haji Muklis hanya diam terpaku di sudut kios tepat di pintu masuk pasar basah mandonga, di jalan lasandara kota kendari. Lelaki uzur itu tak sedikit pun mengeluarkan suara. Ia hanya mengamati satu persatu orang yang lewat di depannya, sembari mulutnya terus berzikir. Sudah setengah hari Ia duduk bersila di tengah tengah dagangannya menanti pembeli mampir.

“Begini setiap hari, menunggu orang mampir, alhamdulillah ada yang membeli , kadang ada juga yang sekedar liat-liat,”kata Muhlis membuka pembicaraan.

Haji muklis menggelar dagangan sejak pagi dan baru pulang menjelang shalat ashar. Ia mengatur barang dengan rapi di sudut depan sebuah kios milik pedagang sembako. “Pemilik kios memberi Saya tempat di sini, biar tempatnya sempit yang bisa menjual,”katanya, lirih.

Beruntung Haji Muklis menjual dagangan yang jarang dijual kebanyakan pedagang di pasar ini, yakni berjualan aneka senjata tajam; ada parang berbagai bentuk, kapak dengan ragam ukuran, pisau, sabit, pacul, linggis hingga pekuel, peralatan yang biasa dipakai untuk menebang pohon, memotong dan menggali tanah.

Aneka peralatan tajam ini semua dibawa dari kampung halamannya di Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi. Daerah yang sejak lama terkenal masyhur dalam membuat peralatan senjata tajam. Karena itu pula wakatobi punya julukan kepulauan tukang besi karena warganya kebanyakan berprofesi sebagai pandai besi.

“Kalau sudah habis, saya biasanya minta kirim lagi dari anak saya di binongko, mereka kirim lewat kapal nanti saya tinggal jemput di pelabuhan,”jelasnya.

Dari berdagang parang dan sejenisnya, setiap hari Haji Muklis bisa memperoleh antara 400 ribu sampai 600 ribu rupiah. “Alhamdulilah, setiap hari selalu ada yang laku,”ujarnya.

Baginya, berdagang segala jenis barang tajam ibarat menjual makanan. “Sepanjang orang masih ada yang berkebun atau membuka lahan maka sepanjang itu pula dagangan parangnya akan laku. Seperti halnya orang menjual makanan, selama masih ada orang makan, maka akan selalu ada yang membeli,”katanya.

Namun berdagang dengan tekun dan jujur merupakan kunci dari kesuksesan yang akan diraih semua pedangang. “Itu kuncinya, kalau tidak ada kemauan dan tidak jujur, maka dagang apa pun tidak akan sukses,”kata prria yang sudah berpuluh tahun berdagang ini.

Meski usia terbilang senja, namun semangat berdagang Haji Muklis tetap bersinar. Dari hasil berdagang peralatan tajam ini, setidaknya haji muklis dapat berhaji di tanah suci Mekkah Almuqoramah dan menyekolahkan tujuh orang anaknya di perguruan tinggi, yang semuanya kini sudah menjadi orang sukses di perantauan .

Di kota kendari Haji Muklis tinggal di rumah kerabatnya di wilayah Kelurahan Kambu, dekat kawasan kampus baru Universitas Haluoleo, kendari. Sebagai orang rantau, muklis tentu selalu rindu dengan kampung halaman. “Rencana puasa tahun ini Saya mau pulang lagi ke binongko, biar bisa menjalankan ibadah bersama keluargaku di kampung,”terangnya. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *