Hujan lebat selepas magrib memendekkan jarak pandang. Curahnya tak kunjung reda diiringi kilatan cahaya petir yang menerangi lautan. Horor alam ini membuat perahu kecil yang ditumpangi Sri perlahan melambat. Beberapa detik berlalu gelombang datang membentur perahu, airnya pecah tampias ke tubuh perempuan muda itu. Bajunya basah kuyup. Nakhoda tak berani lagi menarik gas lebih dan memilih menjaluri pinggiran pesisir. Mahfum laut Laonti tengah tak bersahabat. Sri hanya bisa terduduk diam. Tubuhnya gemetaran. Bukan karena didera dingin tapi gemetar ketakutan. Tapi Sri tak punya pilihan, tekatnya sudah bulat. Ia harus tiba di desa seberang sebelum isya, seorang ibu yang tengah bunting tua menanti uluran tangannya di sana. Saya begidik mendengar cerita ini, kisah pahit para tenaga medis di pelosok konawe selatan di masa lalu.
“Saya selalu nangis kalo membayangkan saat pertama kali bertugas di tempat ini pak,”cerita Sri, petugas bidan yang sudah 20 tahun bertugas di wilayah kecamatan Laonti.
Perempuan yang sehari hari bertugas di pos layanan medis desa (polides) desa namu, kecamatan laonti, kabupaten konawe selatan, provinsi sulawesi tenggara masih setia dengan pekerjaannya, melayani penanganan kesehatan masyarakat, sekaligus membantu persalinan ibu ibu desa. Wilayah tugasnya meliputi tiga desa, Batu Jaya, Namu dan Malaringgi. Di Desa Namu, bidan Sri berdomisili di Dusun 2 bersama suami dan anaknya.
Setiap tiga bulan sekali Ia ke Puskesmas yang berada di ibu kota kecamatan Laonti, yang jaraknya 17 KM dari rumahnya. Dulu Ia menumpang kapal kecil mengarungi lautan. Beruntung sekarang sudah ada kapal yang ukurannya lebih besar sehingga keselamatan dalam bertugas lebih terjamin.
Ia mengaku tidak pernah membayangkan akan bertugas di wilayah itu, apalagi Ia tipe orang yang sangat takut dengan ombak besar. Tapi karena pekerjaan, Ia hanya bisa pasrah menjalani tugas sembari terus berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dan keselamatan selama bertugas.
“Dari dulu saya sangat takut dengan laut, karena di bulan bulan tertentu ombaknya akan sangat besar,”katanya. Waktu rupanya menempa Sri untuk betah dan semakin terbiasa dengan kondisi cuaca. “Alhamdulillah sampai sekarang masih bisa bertugas. Yah, mau bagaimana lagi, ini amanah yang harus saya jalani,”ujarnya.
Perempuan asal jawa ini memiliki segudang cerita suka duka menjalani hidup di pelosok dan punya banyak kisah pahit selama bertugas.
Kisah paling ia kenang adalah kala warga terserang wabah diare yang membuat 9 orang warga meninggal dunia di desa namu. Saat itu warga memilih berobat dukun, dan sangat sedikit yang mau berobat ke pustu.
“Saat pertama bertugas warga enggan datang berobat. Warga lebih mempercayai dukun ketimbang petugas medis,”ungkap Sri.
Rupanya peristiwa memilukan ini sekaligus menjadi titik balik mengubah pola pikir masyarakat pesisir. Warga yang mengonsumsi obat pemberian medis mengalami kesembuhan “Mereka yang makan obat pemberian medis sembuh, sedangkan yang berobat di dukun meninggal dunia. Ini tentu saja mengubah pandangan warga akan medik,”kata Sri.
Bersama suaminya Rofiqi, wanita asal Jawa ini hidup damai bersama warga desa. Mereka membangun rumah dan memiliki sebuah kapal yang digunakan untuk mencari kan dan mengantar warga ke desa sekitar.
Ia menjadikan rumah sekaligus tempat pelayanan bagi warga yang akan beroibat. Di rumahnya, beberapa ibu nampak antri. Mereka menunggu panggilan dari dalam rumah kayu yang tak seberapa besar itu. Sebagian duduk di dalam dan sebagian lagi memilih duduk di luar, di bawah pohon kelapa.
Sri (47 tahun) bidan desa dengan segudang pengalaman hidup melayani penduduk di pelosok dengan ramah, terhitung dua puluh enam tahun sudah Ia menjalankan tugas pengabdian sebagai bidan desa di pelosok Kecamatan Laonti. SK