Pergerakan melawan pertambangan di Kabupaten Kolaka tak lepas dari nama Hj.Marwah. Beruntung Saya pernah mewawancarainya di kediamannya di Desa Hakatotobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Dia adalah satu dari sekian perempuan yang pernah melawan aktifitas pertambangan di desanya . Perlawanan perempuan parubaya ini muncul setelah sejumlah perusahaan tambang nikel mengobok obok kawasan hutan tak jauh dari desanya.
Kerusakan hutan itu tentu saja berdampak serius pada lingkungan sekitar wilayah pesisir Hakatotobu. Puncaknya saat musim hujan, air yang berasal dari bukit di kawasan hutan yang dieksploitasi mengantarkan material lumpur hingga ke laut tempat di mana Marwah dan sekitar 700 jiwa nelayan lainnya tinggal menetap. Usaha budidaya teripang dan rumput laut yang belasan tahun dirintis hancur sia-sia. “Nyaris tidak ada yang tersisa, semua usaha kami hancur total,”katanya.
Jauh sebelum tambang hadir, sebagian besar masyarakat Hakatotobu adalah nelayan dan juragan hasil laut. Mereka memanfaatkan potensi laut di belakang rumah mereka sebagai ladang pencaharian sehari-hari. Ada yang membudidaya rumput laut, mencari ikan dan membudidaya teripang. Marwa sendiri khusus membudidaya teripang sekaligus nyambi sebagai pengumpul dan penampung hasil laut. “Saya ingat dulu saya bisa mengumpul uang sebanyak 40 juta persekali panen rumput laut dan panen teripang,”kenang Marwah.
Begitu juga warga nelayan lainnya, hasil laut yang melimpah dijual ke daerah daerah sekitar kolaka. Tak heran jika daerah daerah pesisir pomalaa khsuusnya hakatotobu sangat dikenal seantero kolaka sebagai daerah penyumbag hasil laut daerah bumi mekongga.
Hj.Marwah masih teringat benar masa masa kejayaan laut hakatotobu dan sekitarnya. “Dulu mencari ikan tidak terlalu jauh dari rumah kami karena lautnya masih sangat bagus, terumbu karang masih sehat dan anak-anak masih bisa mandi-mandi di laut,”kenangnya.
Tapi semenjak kehadiran tambang, semua keindahan laut berikut kekayaan lautnya sirna, “Ini bagai mimpi bagi kami di sini,”katanya.
Seperti memantik api dalam sekam, bara perlawanan rakyat pesisir pomalaa pun pecah. Bersama kaum pria, Hj.Marwah dan dua puluh perempuan lain ikut berdemostrasi. Marwa bahkan tampil paling depan melawan kebijakan pemerintah dan perusahaan tambang di desanya. Ia semakin geram setelah melihat fakta adanya keterlibatan oknum oknum aparat Negara yang membeking kehadiran tambang.
“Saya bingung mereka (oknum militer, Red) hadir di tambang untuk apa, mereka seharusnya melindungi rakyat bukan malah berpihak pada perusahan dan malah terdepan melawan rakyat,”ungkap Marwa.
“Saya bingung mereka (oknum militer, Red) hadir di tambang untuk apa, mereka seharusnya melindungi rakyat, ini malah berpihak pada perusahaan dan terdepan melawan rakyat. Tapi Kami tidak menyerah, ketika itu termasuk oknum aparat Kami lawan,”ungkapnya.
Tahun 2016 silam, Hj Marwah berpulang ke pangkuan Ilahi Robbi akibat sakit yang dideritanya. Namun kisah perlawanannya terhadap pertambangan tetap diingat rekan-rekannya, terutama para aktifis lingkungan hidup di Kolaka. “Bagi saya, Beliau adalah salah satu tokoh pergerakan perempuan di Kolaka, itu semua atas dedikasinya memperjuangan lingkungan di desanya ”kata Jabir Lukuwi, aktifis LSM Forsda Kolaka.
Sebelum Hakaktobu dan daerah daerah pesisir pomalaa lain dihujani lumpur tambang, perempuan nelayan di Desa Tambea, Pomalaa, telah lebih dulu merasakan kehilangan mata pencaharian di laut mereka.
Dalam radius 100 meter, dasar lautnya berwarna merah kecoklatan membuat air laut tak biru lagi. Biasanya di daerah lain di pesisir, seperti Sulawesi Tenggara seperti Langgapulu, Konawe Selatan walau dalam kedalaman 10 meter, namun dasar lautnya kelihatan dengan jelas. Namun di dasar laut di desa Tambea, walau dalam jarak pandang satu meter, dasar lautnya masih tak bisa dilihat lagi.
Selain itu, Tambea saat ini jadi daerah yang sesak dengan timbunan slag. Banyak warga yang menggunakannya untuk timbunan halaman rumahnya. Slag adalah tanah yang telah mengalami perubahan fisik setelah melalui proses yang ekstrim. Batuan ringan ini merupakan hasil reduksi material nikel dengan karbon yang dipanaskan dalam suhu tinggi, hingga menjadi logam, kemudian membeku dan menjadi batu. Itulah slag, sisa produksi tambang yang tak lagi mengandung nikel.
Di periode 2004 – 2006 silam, warga Tambea memprotes PT Antam Pomalaa akibat lahan budidaya teripang di pesisir desa itu tak berproduksi lagi akibat tercemari sedimentasi dari hasil penambangan PT. Antam. Lahan teripang seluas 50 hektar dikelola oleh 20 pembudidaya menerima dampak serius dan sebagian lahan budidaya akhirnya ditinggalkan karena tercemar berat. Sekitar 70 persen atau sekitar 300.000 ekor teripang mereka mati.
Dalam catatan tim kecil WWF 2006, hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tim Satgas Pengawas Perikanan PPS Kendari dan Kasubdit Wasdal Pencemaran Perairan menyimpulkan tumpukan tanah bekas penambangan nikel PT. Antam pada saat hujan lebat, terbawa oleh aliran air ke daerah pantai, sehingga limpasan Iumpur berupa suspended solid membuat keruh areal budidaya teripang. Akibatnya kadar oksigen terlarut air laut menurun (DO = Desolved Oxygen) hal inilah yang mematikan organisme budidaya laut.
Pencemaran terhadap budidaya laut hanyalah salah satu contoh praktek perikanan yang gagal akibat dominasi sektor pertambangan. Memang, tujuan pertambangan tidaklah beda dengan pengembangan sektor-sektor usaha lainnya, yakni membuka lapangan kerja baru serta kesempatan usaha. Namun, potret pertambangan di daerah manapun, selalu memacu tingkat kerusakan ekosistem dan habitat pesisir dan laut, terutama mangrove, terumbu karang dan padang lamun.
Tambang Wawonii
Di Pulau Wawonii, tahun 2016 silam, kaum perempuan juga bangkit melawan tirani pertambangan. Mereka menolak segala bentuk pertambangan yang dinilai akan merusak mata pencaharian masyarakat, baik sebagai petani maupun nelayan.
Perempuan di Batulu dan Desa Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara bergerak bersama dengan berunjukrasa ke kantor perusahaan tambang menolak keberadaan tambang di desa mereka.
“Kami tau mereka datang hanya dengan janji manis mau mensejahterakan rakyat, karena sudah banyak contoh daerah lain rusak dan hanya meninggalkan kesengsaraan pada rakyat,”kata Risna, warga Batulu.
Aksi demonstrasi yang berujung bentrokan dan pembakaran fasilitas perusahaan tambang di Desa Batulu seolah menegaskan penolakan warga atas kehadiran tambang di sana.
Tambang Konawe Utara
Kisah perlawanan perempuan atas kehadiran tambang dan perkebunan sawit juga dilakukan Hj.Nurjaria Gazali atau Hj.Mimi dari kelompok masyarakat adat Sambadete-Walandawe, di Kabupaten Konawe Utara. Perlawanan perempuan berkacamata ini tak berhenti walau akhirnya membuatnya harus dipenjara dengan tuduhan membahayakan keamanan umum. Banyak yang menilai jika tuduhan ini merupakan upaya kriminalisasi terhadap terhadap aktifis agrarian ini.
Kondisi lingkungan akibat pertambangan di Konawe Utara benar-benar membuat masyarakat kesulitan mata pencaharian mereka. Ibu Nurmina (56 tahun) nelayan Desa Tapumea Kecamatan Molawe punya cerita panjang. Saat ditemui Ia tengah menjemur ikan di pinggir jalan desa. Beberapa cucunya membantu mengatur ikan teri kecil yang siap jemur tersebut. Ia berbagi pun cerita soal kehadiran tambang.
“Setelah ada tambang kami jarang melaut, kalaupun melaut jauh sekali. Itupun hasilnya tidak seperti dulu lagi. Kami dulu disini penghasil ikan tapi sekarang kami hanya menunggu penjual ikan yang lewat. Ini karena akibat warna laut yang berubah warna sehingga ikan-ikan juga pindah pada tempat yang aman. Penghasilan nelayan sudah menurun karena setiap melaut hasil tangkapan kurang bahkan tidak ada. Ada warga yang kerja ditambang tapi itu hanyalah pilihan terpaksa karena tidak ada kegaiatan lain,”ungkapnya, sedih.
Nasib yang sama juga diutarakan Samsam (40 tahun) seorang nelayan sekaligus pedagang di Desa Mandiodo, Molawe. ”Dulunya desa mandiodo sebagaian besar warga berkebun jambu mete, tapi saat tambang hadir akhirnya masyarakat dirayu untuk menjual tanahnya. Termasuk ada rencana pencetakan sawah tapi pas masuk tambang semua rencana itu jadi macet,”ungkap Samsam.
Di Mandiodo, jauh sebelum kehadiran tambang, warga bekerja sebagai nelayan dan petani, setelah ada tambang kegiatan melaut sudah jarang, anak anak muda memilih bekerja sebagai buruh tambang ketimbang melaut yang hasilnya lautnya semakin susut . ”Mungkin karena sudah tidak ada pilihan pekerjaan lain, jadi ya terpaksa kerja di tambang saja,”ujarnya.
Berbeda dengan Kolaka dan Wowonii, dimana perempuannya memilih melakukan perlawanan. Tapi di Konawe Utara perempuan di lingkar tambang lebih banyak pasrah.
Wenae dan Narue, dua warga di pesisir Konawe Utara bertutur dalam bahasa daerah Tolaki. “Ariito wonuando ro ale’I, wutano ro atoi..anamami to Hae ro aLei aro wawoi I’unenggota” (artinya;Sudah kuasai daerah. Mereka ambil pula tanah kami, tapi Itu belum cukup bagi mereka. Mereka juga mengambil anak-anak perempuan untuk di bawa ke kota).
Wenae dan Narue adalah para perempuan pemecah batu di desa yang didulunya adalah nelayan aktif di Desa Mandiodo. Umur yang uzur membuat mereka kini hanya bisa menjadi pekerja buruh kasar, demi menghidupi keluarga. Mungkin tidak berlebih, jika mewakili jeritan hati sebagaian besar masyarakat di pedesaan dimana lokasi tambang beraktifitas. Suara hati yang mereka lontarkan sesungguhnya membuat miris. Bagaimana tidak sumber daya alam mereka dikeruk habis, anak-anak mereka pun juga diambil untuk menjadi budak nafsu orang-orang tambang. “Saya tidak lagi mengetahui nasib anak saya, mereka membawanya ke kota,”katanya lirih
Dari pengakuan polos Wenae, nampak bila kaum perempuan menjadi pihak yang sangat rentan terkena dampak bisnis pertambangan. Banyak perempuan di pedesaan kini sering terpedayai dengan iming-iming uang besar. Tak sedikit yang terpaksa menjual diri untuk memperoleh segepok uang. Pertambangan telah membuat rasa ketergantungan rakyat di pedesaan. Memilih kompromi demi bertahan hidup.
Sus Yanti Kamil, aktifis perempuan mengungkapkan, kisah buruh perempuan di pertambangan maupun di perkebunan sawit ini adalah potret situasi perempuan Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara yang dibelenggu oleh ketidakadilan system ekonomi, politik maupun secara social. Adanya anggapan social bahwa perempuanlah yang memegang peranan utama dalam pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, mengurus anak, melayani suami dan sebagainya menjadi persoalan bagi perempuan khususnya perempuan miskin. Beban ganda menjadi tak terhindarkan bagi perempuan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kualitas kesehatan perempuan, dan terenggutnya akses perempuan untuk memperoleh akses informasi, akses untuk terlibat dalam kegiatan public dan sebagainya. Kondisi ini akan semakin akan menempatkan perempuan pada posisi subordinasi.
“Kisah-kisah perempuan yang hidup di sekitar tambang di atas, semakin menjelaskan bahwa perempuan yang hidup di sekitar tambang mengalami ketertindasan yang kompleks dalam lingkaran kehidupan mereka. Lahan yang dirampas, kehidupan tambang yang teramat keras dan eksploitatif, beban ganda yang harus di pikul, sungai dan laut yang tercemar, menegaskan bahwa tambang telah merenggut kehidupan perempuan,”kata Sus Yanti.
Menjadi buruh perempuan di pertambangan, sekaligus menjadi seorang perempuan yang hidup dalam lingkaran budaya patriarki, akhirnya menjadi beban ganda yang harus di pikul bagi diri perempuan. Beban tersebut adalah suatu lingkaran ketertindasan bagi kaum perempuan yang tidak disadari baik oleh masyarakat maupun oleh perempuan itu sendiri. SK