Musik dangdut menggema membelah malam di konawe. Makin larut makin panas. Dua biduanita tampil dengan goyangan seronok di atas panggung. Penampilan biduan lokal ini kontan membuat puluhan anak anak muda seolah kerasukan setan, berjoget dengan segala macam gaya. Jadilah pesta pernikahan tak ubahnya sebuah diskotik, dengan aneka lampu hias dan musik ala .
Anak anak muda lokal menyebutnya medije plesetan dari music DJ (disk jockey). Disjoki atau joki cakram atau (bahasa Inggris: Disc jockey, disingkat DJ, atau kadang-kadang “deejay”) adalah seseorang yang terampil memilih dan memainkan rekaman suara atau musik yang telah direkam sebelumnyaSekarang istilah itu tidak hanya merujuk kepada kemahiran mengatur lagu/musik dalam medium cakram, tetapi juga dalam bentuk medium lainnya.
Sebagian anak muda nampaknya lebih memilih goyangan ala kota ketimbang tari lokal lulo yang nota bene tari warisan budaya nenek moyang orang tolaki tersebut. Potret memprihatinkan keberadaan joget ala diskotic jocky perlahan tapi pasti telah ikut menggusur keberadaan tari lulo sebagai b udaya local di kampung kampung di konawe.
Kondisi yang memantik keprihatinan banyak kalangan. “Saya prihatin melihat budaya lulo yang kini menghilang di acara pesta, saya melihat mereka menggantinya dengan joget ala Dije,”kata Irwan, warga Unaaha, Kabupaten Konawe.
Irwan memang sangat peduli dan mencintai budaya local di Konawe, tempat dimana Ia dan keluarganya kini menetap. Pria tiga anak ini pun bercerita saat pertama kali mengenal tari kolosal suku tolaki tersebut. Ini berawal ketika kali pertama menjejakkan kaki di kota kendari tahun 1997 silam.
“Seorang teman mengajak Saya ke kampungnya di Wawotobi untuk menghadiri pesta familynya. Dia bilang mau ada lulo. Lalu saya bertanya pada teman tersebut apa itu lulo? Dan dijawab, bahwa, itu tarian adat Tolaki yang dilaksanakan saat ada acara keramaian, semisal pesta kawin atau syukuran lainnya,”kisah Irwan.
Sebagai orang baru, Irwan pun penasaran dan berangkat ke Wawotobi menumpang sebuah angkot. Saat tiba di lokasi, suara musik dari elekton sudah terdengar, apalagi musik yang disuguhkan adalah irama-irama dangdut yang cenderung digandrungi anak kampung seperti Iwan di tanah seberang.
Mendekati arena pesta, Irwan melihat para lelaki dan perempuan saling berpegangan tangan membentuk sebuah lingkaran, bergoyang mengikuti irama musik yang terus mengalun tiada henti. Seketika pria bertubuh sedang itu langsung tertarik. “Makna yang Saya tangkap dari tarian lulo pada malam itu adalah nilai-nilai kebersamaan yang begitu tinggi bagi masyarakat Tolaki.
Semakin larut semakin ramai orang-orang yang memasuki arena lulo, lelaki, perempuan, orang tua dan anak muda membaur satu dalam lingkaran yang semakin melebar. Sebuah gambaran kebersamaan dan pembauran dalam irama yang begitu memukau. Luar biasa,”ungkap Irwan.
Namun, beberapa tahun belakangan ini ada sebuah kecenderungan yang mengusik pikiran Irwan, dimana dalam acara pesta, lulo sudah mulai disandingkan dengan musik ala-ala barat dengan tarian-tarian tak beraturan yang bagi anak muda menyebutnya medije (DJ). “Dalam hiburan acara-acara pesta, tari lulo masih tetap menjadi prioritas, namun ketika detak jam dinding sudah melewati angka 10 malam, irama musik dangdut pengiring lulo mulai digantikan dengan hentakan musik barat,”kata Irwan. Baginya, tari lulo kini telah mengalami pergeseran dan perlahan tergusur oleh tari budaya barat dengan nama medije, yang mana nilai tari medije sama sekali tak memiliki makna dalam budaya masyarakat lokal.
Tarian lulo di era modern memang telah mengalami pergeseran besar, baik dari penggunaan alat maupun kreasi tariannya. Mulanya tarian lulo bukanlah diiringi musik elekton melainkan dari bunyi-bunyian yang berasal dari gong. Namun, seiring waktu, gong tergantikan oleh music modern.
Hentakan musik disco, sorotan lampu bliz seadanya mengiringi tarian tak beraturan yang bernama medije. Kecenderungan medije dilakukan hingga larut malam. Rentang waktu yang lebih panjang dibanding tarian lulo itu sendiri yang kadang hanya sampai pada jam 10 malam.
“Ini ketakutan saya, ketika nantinya acara lulo dinilai hanya sekedar pelengkap dari acara medije. Ketika arus transformasi budaya asing semakin deras menggulung mental generasi-generasi local,”ujar Irwan, resah.
“Mohon maaf, mungkin saya tidak berkompoten untuk menyampaikan ini, tapi semata rasa empati dan kecintaan saya pada budaya ini, dimana budaya tersebut adalah identitas dari saudara-saudara saya di tanah tolaki, tanah yang memberi ruang untuk saya bertahan hidup, tanah dimana segala macam bahan pangan yang saya konsumsi,”kata Irwan,
“Sekiranya saudara-saudara Saya untuk penuh kesadaran dan semangat mempertahankan tradisi budaya sebagai identitas sebuah peradaban dari para leluhur. Kita harus meyadari, bahwa, medije bukanlah tradisi leluhur, melainkan tarian lulo lah sesungguhnya yang harus terus dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur,”harapnya. SK