
KONAWE UTARA, Suarakendari.com – Air mata dan keputusasaan kembali membasahi Desa Sabandete, Kabupaten Konawe Utara. Banjir yang datang silih berganti seolah menjadi tamu abadi yang tak kunjung pergi, meninggalkan luka dan kerugian mendalam bagi 110 Kepala Keluarga (KK) atau 457 jiwa. “Setiap tahun pasti banjir dan entah sampai kapan penderitaan ini berakhir,” lirih seorang warga Sabandete, mencerminkan nestapa yang dirasakan seluruh desanya.
Tak hanya warga desa sabandete yang merasakan nestapa, tetapi juga para pengguna jalan transulawesi yang akan melintas terus dibuat sengsara karena harus menunggu berhari-hari agar bisa melintas banjir. Warga pun terpaksa harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk naik rakit dengan harga yang cukup tinggi mengacapai 500-700 ribu rupiah untuk roda empat.
Ironisnya, bencana tahunan ini seolah tak mampu menggugah komitmen Pemerintah Daerah untuk mencari solusi penanganan permanen. Warga merasa diabaikan, sementara Jalan Trans Sulawesi yang vital sebagai urat nadi transportasi turut menjadi korban, terputus dan melumpuhkan aktivitas ekonomi.

Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun Lio turut menyampaikan keprihatinannya saat meninjau langsung lokasi banjir. “Kondisinya sangat membutuhkan perhatian dengan segera,” ujarnya dengan nada prihatin. “Dari hasil peninjauan ini, akan ada langkah-langkah tindak lanjut. Bukan hanya pembangunan fisik yang mendesak, tetapi juga penanganan psikis dan sosial bagi saudara-saudara kita yang terdampak.”
Lebih lanjut, Sekda Sultra menekankan pentingnya solusi jangka panjang agar penderitaan warga Sabandete tidak terus berulang setiap tahunnya.

Sementara itu, laporan dari Wakil Bupati Konawe Utara mencatat dampak signifikan dari banjir ini. Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe Utara sendiri telah mengambil langkah-langkah darurat, seperti menyediakan perahu/rakit/pincara gratis untuk keperluan masyarakat dan penyaluran bantuan. Namun, kebijakan penetapan tarif penyeberangan sementara yang cukup tinggi (mobil Rp300.000, motor Rp50.000) menuai sorotan dan dinilai memberatkan warga yang tengah kesulitan. Selain itu, tenda bencana dan tenda keluarga telah didirikan sebagai tempat penampungan sementara.
Meski langkah-langkah darurat telah diambil, pertanyaan besar tetap menggantung di benak warga Sabandete: kapan penderitaan akibat banjir tahunan ini akan benar-benar berakhir? Janji-janji tindak lanjut dari pemerintah kini dinanti realisasinya, bukan sekadar kata-kata penghibur di tengah musibah yang terus melanda. Komitmen nyata dan solusi permanen adalah harapan satu-satunya bagi warga Sabandete Oheo untuk bisa bernapas lega dan membangun kembali kehidupan mereka tanpa dihantui bayang-bayang banjir setiap tahunnya. SK