editorial

Jeritan Petani dan Tekad Sang Presiden: Memangkas Rantai Pupuk yang Menindas

×

Jeritan Petani dan Tekad Sang Presiden: Memangkas Rantai Pupuk yang Menindas

Sebarkan artikel ini
FB IMG 1744274847915

JAKARTA, suarakendari.com-Di tengah gemerlap gedung pencakar langit Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025) lalu, sebuah pemandangan kontras tersaji. Bukan hiruk pikuk transaksi bisnis yang mendominasi, melainkan luapan kekesalan seorang kepala negara.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dengan nada bicara yang tegas, menyoroti sebuah permasalahan klasik yang telah lama menghimpit para petani: rantai distribusi pupuk yang berbelit dan tak masuk akal.
Sorot mata Prabowo tak bisa menyembunyikan keprihatinannya.

Di hadapan para pelaku ekonomi yang hadir dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI, ia tanpa tedeng aling-aling menyebut praktik panjangnya jalur pupuk sebagai biang keladi penderitaan para petani. Bagaimana tidak, alih-alih pupuk bersubsidi sampai tepat waktu dan dengan harga terjangkau, para petani justru kerap kali dihadapkan pada kelangkaan, harga yang melambung tinggi, bahkan pupuk palsu.

“Saya bilang ke Mentan, itu tidak ada. Tidak ada lagi tanda tangan-tanda tangan. Dari pabrik harus langsung ke petani,” seru Prabowo dengan gestur tangan yang menekankan urgensi perubahan.

Kata-kata itu bagai petir di siang bolong, sebuah deklarasi perang terhadap inefisiensi dan potensi praktik kotor yang selama ini menggerogoti sektor pertanian.

Lebih lanjut, Presiden dengan lantang mengungkapkan bahwa rantai distribusi yang panjang inilah yang membuka lebar pintu bagi penyelundupan dan korupsi. Pupuk yang seharusnya menjadi penyubur harapan para petani, justru menjadi komoditas yang dipermainkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di setiap simpul distribusinya.

Namun, kebijakan pemangkasan jalur distribusi ini tentu tak semulus yang dibayangkan. Prabowo tak menampik adanya resistensi dari pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari sistem yang rumit tersebut. Sebuah peringatan bahkan sempat menghampirinya, mengingatkan akan potensi kemarahan puluhan ribu distributor yang merasa terusik kepentingannya.

“Ada yang datang ke saya, ‘Ada 29 ribu distributor marah ke Bapak, hati-hati loh pak. 29 ribu itu punya konstituen, ada beberapa petani di Indonesia.’ Saya tanya ke Mentan. 29 ribu lawan 30 juta keluarga (petani). Mereka ada 4 orang, berarti lawan 120 juta orang,” beber Prabowo, menggambarkan dengan jelas kalkulasi keberpihakannya.

Di sinilah letak esensi dari kisah human interest ini. Di balik sosok seorang presiden yang seringkali diasosiasikan dengan kebijakan-kebijakan makro, tersembul sebuah empati yang mendalam terhadap nasib para petani. Ia tak gentar menghadapi potensi gejolak dari segelintir pihak demi membela kepentingan jutaan petani yang selama ini berjuang di tengah ketidakpastian.

Dengan nada yang semakin meninggi, Prabowo menegaskan komitmennya. “Lebih baik membela 120 juta rakyat daripada mereka-mereka itu,” tandasnya, disambut tepuk tangan riuh dari para hadirin yang merasakan ketulusan dan keberanian dalam kata-kata tersebut.

Keputusan Prabowo untuk memangkas rantai distribusi pupuk bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan sebuah langkah keberpihakan yang menyentuh langsung kehidupan jutaan petani di seluruh Indonesia. Ini adalah tentang keadilan, tentang memastikan bahwa hasil bumi yang menjadi tulang punggung negara tidak lagi terbebani oleh praktik-praktik yang merugikan.

Tentu, implementasi kebijakan ini akan menemui berbagai tantangan. Namun, tekad kuat seorang presiden yang berani mengambil risiko demi membela “wong cilik” memberikan secercah harapan baru bagi para petani. Mereka yang selama ini bergelut dengan mahalnya pupuk dan rumitnya birokrasi, kini memiliki harapan bahwa suara mereka didengar dan diperjuangkan oleh pemimpin negeri.

Kisah ini adalah pengingat bahwa di balik angka-angka statistik dan jargon-jargon ekonomi, terdapat jutaan kisah perjuangan manusia. Dan kali ini, suara mereka menemukan gaungnya dalam ketegasan seorang presiden yang memilih untuk berdiri di sisi mereka. Semoga, langkah berani ini benar-benar mampu memutus rantai kesengsaraan dan menyuburkan kembali harapan para petani Indonesia. **