Sebelum dimekarkan menjadi desa, Puuloro adalah daerah yang sejak dulu dikenal sebagai kawasan perkebunan warga desa atau kampung di sekitarnya yang mayoritasnya merupakan masyarakat asli suku Tolaki. Desa atau kampung yang dimaksud adalah Desa Rawua, Andaroa. Pada tahun 1960-an, sebagian besar mereka menanam padi ladang dan membudidayakan tanaman sagu kemudian diolah yang biasa diistilahkan sumaku (meramu dan megolah sagu secara tradisional).
Pada perkembangannnya, setelah dimekarkan tahun 1977, pemerintah kemudian melakukan resettlemen sebagian penduduk Desa Rawua ke Desa Puuloro tahun 1981 hingga 1982. Pada saat itu pekerjaan budidaya dan mengolah sagu dan menanam padi ladang digeluti oleh warga Desa Puuloro hingga tahun 1999. Seiring dengan perkembangan dan karena desakan kebutuhan ekonomi serta pengaruh pola bercocok tanam dari luar yang mulai masuk sehingga pada tahun 1999 warga Desa Puuloro perlahan meninggalkan kebiasaan menanam padi ladang. Namun kebiasaan budi daya tanaman sagu tetap digeluti hingga sekarang.
Ada puluhan varietas padi lokal yang biasa dibudidayakan oleh warga desa Puuloro dari tahun 1960-an hingga 1999. Dari puluhan varietas padi lokal tersebut paling tidak ada 4 jenis padi lokal yang paling sering ditanam yaitu pae loiyo, pae ungga, pae ndokotua dan pae biu. Meskipun dimiliki secara pribadi, namun pengelolaannya dilakukan secara gotong rotong dan tanpa upah. Mulai dari proses membuka lahan sampai panen dilakukan secara gotong royong. Hanya bermodalkan bibit, persediaan makanan dan tenaga mereka sudah bisa menanam dan menghasilkan padi ladang.
Bila lahan yang dibuka adalah lahan yang ditumbuhi oleh pohon yang cukup lebat, sebelum membuka lahan biasanya mereka melakukan mo’oli sangia huta yakni ritual yang dilakukan dengan menyembelih sepasang ayam sebagai simbol permintaan restu kepada Yang Maha Kuasa sebagai sang penguasa tanah dan alam semesta dengan menyembelih sepasang ayam peliharaan (ayam hitam dan putih), agar hasil yang didapatkan melimpah dan dimaksudkan agar terhindar dari segala mara bahaya pada saat bekerja di lahan tersebut.
Puuloro Desa Yang Kaya Akan Sumber Air dan Rumpun Sagu
Desa Puuloro adalah desa yang kaya akan sumber air. Setidaknya ada 11 mata air yang tersebar di desa tersebut. Karena kekayaan akan sumber mata air tersebut, sehingga sangat potensial untuk budi daya tanaman sagu. Sebagaimana diketahui bahwa sagu adalah salah satu makanan pokok dari masyarakat suku Tolaki dan bagi warga Desa Puuloro, sagu adalah sumber pangan utama selain membeli beras.
Diantara 11 sumber mata air di Desa Puuloro 10 diantaranya ditumbuhi oleh rumpun sagu yang diberikan identitas penamaannya berdasarkan nilai historisnya masing-masing. Pemberian nama 10 hamparan rumpun sagu yang merupakan bagian dari pengetahuan lokal masyarakat Puuloro dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. Anggomate : berbatasan dengan Anggembo (hutan yang dikeramatkan). Dinamakan Anggomate karena ada orang meninggal di sana pada saat mengolah sagu secara tradisional di tempat tersebut.
2. Matambehatue : tempat rumpun sagu dekat dengan daerah longsoran yang struktur tanahnya labil sehingga tidak bisa dilalui oleh orang
3. Watubangga : di tempat tersebut dulu terdapat batu yang modelnya menyerupai perahu
4. Wonuaule : Daerah yang banyak ularnya
5. Peotawala’a : dahulu banyak warga miskin yang meminta sagu di daerah ini
6. Matabondu : tempat orang membuat bahan rumah yang bahannya terbuat dari pohon sagu seperti batangnya dan daunnya yang dibuat atap.
7. Wawondiku : Air jatuh/air terjun sekitar 15 meter
8. Matalingato : dahulu banyak terdapat pohon kayu yang bila daunnya disentuh oleh manusia akan mengakibatkan gatal-gatal.
9. Mataobu : Mata air yang muncul langsung dari tanah
10. Andaroa : Kali yang bermuara di Desa Andaroa
Satu sumber mata air yang cukup besar yang lainnya adalah Matanggonawe yang lokasinya berada di Dusun II. Meskipun kaya dengan sumber mata air dan sungai, akan tetapi akses warga Desa Puuloro masih mengalami masalah dalam mengakses air bersih. Masalah tersebut disebabkan karena minimnya infrastruktur untuk mendistribusi air bersih ke rumah warga. Umtuk memenuhi kebutuhan air, warga rata-rata menggunakan sumur, sementara hanya beberapa warga saja yang memiliki sumur air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Satu sumur air biasanya digunakan oleh 5 sampai 8 kepala keluarga yang dekat dengan sumur tersebut. Untuk mengambil air dari sumur tersebut biasanya warga mengangkut dengan menggunakan ember. Sebagian kecil dari mereka yang rumahnya dekat dengan sumur mengalirkan air ke rumahnya dengan menggunakan saluran selang sendiri.
Karena kebiasaan menanam padi mulai ditinggalkan, akhirnya tahun 2000 tanaman padi ladang digantikan dengan tanaman jangka panjang seperti kakao, kayu jati, kemiri, kelapa, tanaman buah-buahan seperti langsat, rambutan, durian dan juga sayur-sayuran.
Perkebunan Sawit Cemari Sumber Mata Air, Mengancam Habitat Sagu
Kekayaan sumber mata air dan hamparan rumpun sagu sebagai sumber pangan lokal utama bagi warga Desa Puuloro kini mulai terancam punah. Betapa tidak, 10 mata air dan hamparan rumpun sagu tersebut kini tengah dikepung oleh perkebunan kelapa sawit PT. Harlitama Agri Makmur (PT. HAM) dan PT. Sultra Sawitindo Lestari (PT. SSL). Bahkan 4 diantaranya persis berada di tengah kebun kelapa sawit milik kedua perusahaan tersebut. Empat hamparan rumpun sagu yang dimaksud adalah Wawondiku yang lokasinya berada di tengah lahan PT. HAM yang terletak di wilayah utara Desa Puuloro. Sementara 3 hamparan rumpun sagu milik warga Desa Puuloro yaitu Anggomate, Matambehatue dan Watubangga tepat berada di tengah lahan PT. SSL yang letaknya berada di wilayah perbatasan Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan tepatnya di sebelah selatan Desa Puuloro. Kondisi tanaman sagu milik warga Desa Puuloro tersebut kini cukup memprihatinkan, bahkan beberapa diantaranya mengalami kekeringan dan mati.
Pembukaan lahan secara besar-besaran yang dilakukan oleh PT. HAM telah mengakibatkan sumber mata air yang dulunya begitu jernih dan layak untuk dikonsumsi kini berwarna kuning dan tercemar sebagai dampak dari erosi yang membawa serta tanah bila hujan deras turun. Sebaliknya manakala musim kemarau tiba, maka mata air itu terancam menjadi kering karena pembukaan hutan yang dulunya memiliki fungsi resapan air, apalagi tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang mempunyai karakter sangat rakus dengan air.
Hutan Anggembo merupakan salah satu dari beberapa kawasan daerah tangkapan air yang kini telah dibongkar habis dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan sawit oleh PT. HAM. Padahal menurut masyarakat Puuloro, Anggembo adalah salah satu hutan tangkapan air dan wilayah yang sejak dulu tidak pernah dimasuki oleh orang Puuloro. Bahkan Anggembo adalah salah satu tempat yang ‘disakralkan’ oleh orang Puuloro. Orang Puuloro berkeyakinan bahwa setiap kali melakukan ritual adat Mo’oli ketika membuka lahan baru, maka segala hal yang berbau jahat dipindahkan ke hutan Anggembo. Setelah dibongkar habis oleh PT. HAM maka tak ada lagi tempat yang memiliki fungsi yang serupa dengan hutan Anggembo.
Korporasi Sawit Hancurkan Potensi Wisata Lokal Air Terjun Wawondiku
Wawondiku tidak hanya dikenal sebagai mata air dan rumpun sagu. Akan tetapi lebih dari itu, sesuai dengan arti dari kata Wawondiku itu sendiri adalah air jatuh. Masyarakat Desa Puuloro menamakan Wawondiku karena di lokasi tersebut memang terdapat air terjun yang tingginya sekitar 15 meter. Sebelum masuknya perusahaan kelapa sawit Desa Puuloro adalah desa yang terkenal dengan wisata air terjun Wawondiku. Air terjun tersebut terletak di wilayah utara Desa Puuloro yang tidak jauh dari mata air dan rumpun sagu Wawondiku.
Dahulu sebelum PT. HAM masuk di Desa Puuloro air terjun ini biasa digunakan oleh warga Desa Puuloro untuk mandi dan berwisata. Tidak hanya warga Desa Puuloro yang datang ke wisata air terjun Wawondiku melainkan juga warga desa tetangga dan juga wisatawan dari Kota Kendari dan wisatawan domestik dari daerah lain di Sulawesi Tenggara. Wisata air terjun Wawondiku kini tinggal cerita. Sejak PT. HAM melakukan penimbunan di lokasi ini pada 2010, masyarakat tak lagi datang dan berwisata disana.
Satwa Liar Masuk Perkampungan, Jadi Hama Baru di Desa Puuloro
Masuknya perusahaan kelapa sawit di Desa Puuloro tidak hanya berdampak pada mata air dan tanaman sagu. Lebih dari itu, salah satu masalah serius yang ditimbulkan adalah masuknya satwa liar seperti babi hutan dan monyet dan satwa liar lainnya ke perkampungan penduduk, terutama pada malam hari. Berbagai satwa liar tersebut masuk menjadi hama dan memakan tanaman warga seperti sayur-sayuran, tanaman buah-buahan, ubi di kebun warga.
Patut diduga bahwa masuknya satwa liar di kebun milik warga tersebut adalah akibat dari pembukaan lahan hutan secara besar-besaran oleh PT. HAM dan PT. SSL sehingga berakibat pada rusaknya ekosistem hutan sebagai habitat satwa-satwa liar tersebut, karena hampir seluruh hutan di Desa Puuloro dan sekitarnya kini telah habis dibongkar dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Hingga kini warga Desa Puuloro terus mengalami keresahan atas ‘hama baru’ tersebut.
Perusahaan Tidak Transparan Dalam Proses Pembebasan Lahan dan Kebun Plasma
Menurut sebagian besar warga Desa Puuloro, proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT. HAM tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan warga dalam menentukan harga lahan warga yang dibebaskan. Harga ditentukan sendiri oleh perusahaan tanpa persetujuan adanya proses negosiasi antara warga dan pihak perusahaan. Pihak perusahaan hanya menjanjikan bagi hasil dari skema kebun plasma sebesar 20 persen jika nantinya perusahaan memanen kelapa sawit. Namun sampai saat ini lahan plasma yang dijanjikan oleh pihak perusahaan tidak ada kejelasan letak, batas dan statusnya.
Seperti yang dialami oleh Nuru (63) salah seorang warga Desa Puuloro yang juga merupakan salah seorang pemuka adat Desa Puuloro. Lahan kebun hanya dihargai Rp. 1,5 juta per hektar. Sehingga 4,5 hektar lahan kebun miliknya yang berada di areal izin PT. SSL hanya diberikan kompensasi oleh perusahaan sebesar Rp. 6.750.000,-. Padahal dilahan tersebut terdapat banyak tanaman yang punya nilai ekonomis yang cukup menjanjikan seperti langsat, durian, kemiri, pohon jati, dll. Bahkan 9 pohon sagu miliknya yang berada di lahan PT. HAM di Desa Lolumbangi dan Desa Totombe telah ditebang habis oleh PT. HAM tanpa persetujuan terlebih dahulu, bahkan hingga sekarang pihak perusahaan belum memberikan ganti rugi atas pohon sagu yang mereka tebang.
Naskah & Foto: YPSHK Sultra