Desa Namu merupakan bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan. Wilayah Desa Namu terletak di pesisir dan cukup mudah diakses oleh transportasi laut. Pada sisi timur desa namu berhadapan langsung dengan Pulau buton bagian Utara, sedangkan di sisi selatan, berdampingan langsung dengan pulau wawonii, kabupaten Konawe Kepulauan, Desa Namu juga cukup mudah diakses dari ibu kota Kabupaten Konawe Selatan yang berada di sisi Utara desa, sedangan sisi Barat desa seporos dengan wilayah adminitrasi Kota Kendari dengan jarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan.
Desa berpenduduk 119 kepala keluarga atau 500 jiwa dihuni oleh masyarakat yang mayoritas beretnis Tolaki. Mata pencaharian warga terdiri dari nelayan dan petani kebun. Saat musim barat, warga Namu sebagian besar melaut, sedangkan saat musi timur warga akan lebih banyak berdiam di desa untuk menjalankan system pertanian mereka.
Sejarah Desa Namu sendiri telah ada sebelum era penjajahan Belanda. Semula hanya dihuni oleh satu kepala keluarga yang datang dari wilayah Kecamatan Moramo. Rumpun keluarga ini kemudian beranak pinak hingga kini menjadi koloni besar membentuk wilayah administrasi desa. Desa Namu secara definitive terbentuk pada tahun 1985.
Sampai Oktober 2016 silam, Desa Namu bukanlah apa-apa. Kehidupan rakyatnya tak ubahnya desa kebanyakan di pelosok pesisir. Terisolir dan terbelakang dengan penerang listrik yang sangat terbatas. Hanya bisa dinikmati warga dari pukul 6 sore hingga pukul 10 malam. Setelahnya akan gelap gulita hingga pagi, begitu seterusnya, itu berlaku hingga medio November 2018 lalu.
“Dulu penerang hanya mengandalkan genset karena PLN tidak ada di sini. Itu pun hanya sampai pagi saja menyalanya,”kata Anton, warga Namu.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terbatas itu, warga mau tak mau harus mengisi semua keperluan pada malam hari, seperti mengisi daya handphone termasuk battery carger untuk lampu penerang di perahu motor.
Ketiadaan listrik yang memadai juga membuat usaha perikanan warga ikut seret. Kebutuhan akan lembari pendingin menjadi problem lama yang tak kunjung selesai. Salah satu usaha penampungan yang didirikan warga secara swadaya tak mampu bertahan. “Bagaimana usaha mau jalan kalau ikan yang ditanpung selalu rusak karena tidak adanya daya listrik untuk membuat es atau menghidupkan mesin pendingin,”keluh Anton.
Dan tepat setahun setelah dicanangkannya Desa Namu sebagai desa wisata, Desember 2018, warga Namu akhirnya bersuka cita menikmati hadirnya listrik yang menerangi rumah-rumah mereka selama 24 jam non stop melalui pembangkit listrik tenaga surya bantuan Dinas Pertambangan dan energi Provinsi Sulawesi Tenggara.
“Semoga bermanfaat buat masyarakat Desa Namu” kata Dewi Rosaria, dari Dinas Pertambangan dan Energi Sultra.
Ia meminta agar warga benar benar menjaga asset listrik tenaga surya tersebut mengingat Indonesia akan mengalami krisis energy di masa mendatang. “Semoga masyarakat desa namu menjaga asetnya dengan baik. Dua belas tahun ke depan Indonesia diperkirakan akan krisis energi fosil jadi biaya listrik dari energi fosil akan menjadi mahal, maka beruntunglah bagi desa-desa yang sudah memiliki pembangkit EBT seperti di Namu,”kata Dewi.
Kepala Desa Namu, Yuddin, tentu saja orang paling gembira hadirnya mesin pembangkit tenaga surya di desanya, setelah sekian lama berjuang mendapatkan fasilitas listrik untuk masyarakat yang di pimpinnya. “Kami sangat bersyukur dengan bantuan listrik ini, setidaknya sudah bisa dinikmati warga siang dan malam,”katanya.
Ya, berkat bantuan listrik tenaga surya, kini rumah dan jalan desa Namu pun terang benderang, anak-anak bebas bermain di bawah pijar lampu jalan. Di beberapa tempat warga sdh bisa berlama-lama menikmati kopi hangat dan bermain gaple. Dan dipastikan sebentar lagi akan ada banyak televisi di rumah -rumah warga. “Selamat datang lampu, selamat datang sinetron 24 jam non stop,”kelakar warga. SK