WAKATOBI, suarakendari.com – Badan Karantina Indonesia (Barantin) melalui Satuan Pelayanan Wakatobi, Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Sulawesi Tenggara (Karantina Sultra) melakukan penolakan terhadap 3 (Tiga) ekor kambing tanpa dokumen karantina yang hendak dilalulintaskan ke wilayah Sultra melalui pelabuhan Wakatobi, pada Senin (14/4/2025).
“Kami melakukan penolakan terhadap 3 ekor kambing yang hendak masuk ke Wilayah Sultra karena tidak dilengkapi dokumen kesehatan dari daerah asal. Dokumen ini sebagai jaminan kesehatan bagi komoditas yang dilalulintaskan, dan ini penting guna mencegah penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang dapat merugikan peternak,” kata Kepala Balai Karantina Sultra, A. Azhar melalui keterangan persnya.
Menurut Azhar kambing termasuk dalam golongan hewan rentan PMK yang saat ini, lalulintasnya dibatasi untuk masuk ke wilayah Sultra sesuai Surat Edaran Kepala Badan Karantina Indonesia Nomor 620 tahun 2025 tentang peningkatan kewaspadaan terhadap PMK.
Ia menjelaskan PMK adalah penyakit menular yang menyerang hewan ternak, terutama sapi, kambing, domba, dan babi. PMK disebabkan oleh virus yang termasuk dalam keluarga Picornaviridae, genus Aphthovirus. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menurunkan produktivitas hewan ternak, mempengaruhi ekonomi peternakan, serta dapat menular dengan cepat antar hewan.
“Karantina Sultra secara intens mengimbau masyarakat dan para pelaku usaha untuk selalu mematuhi aturan terkait pengiriman hewan ternaknya demi melindungi kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekosistem hewan di Sultra,” ujarnya.
Hal itu sejalan dengan arahan Kepala Badan karantina Indonesia, Sahat M. Panggabean bahwa Barantin mendukung program prioritas nasional dalam mewujudkan swasembada pangan, serta berkontribusi aktif melalui pelaksanaan sistem perkarantinaan untuk komoditas hewan, ikan, dan tumbuhan.
Terdapat empat fokus Barantin dalam penguatan sumber daya hayati untuk mendukung program prioritas nasional, yaitu 1) Biosekuriti, keamanan hayati (biosafety), dan pertahanan hayati (biodefense); 2) keanekaragaman hayati (biodiversity); 3) Deteksi pencegahan dan respon penyakit asal hewan, produk rekayasa genetik, penularan resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health ; dan 4) Ketertelusuran atau traceability yang berkelanjutan.
“Kegiatan pengawasan kami lakukan untuk mendukung biosekuriti yang melibatkan pengelolaan risiko masuk, keluar, dan penyebaran hama atau penyakit melalui regulasi ketat, inspeksi, dan sistem pengawasan di titik-titik kritis, seperti pelabuhan, bandara, serta kawasan perbatasan,” imbuh Azhar.
Labih lanjut Azhar menjelaskan bahwa Karantina Sultra telah melakukan tindakan penahanan sebanyak lima kali mulai bulan Januari hingga April tahun 2025 karena tidak dilengkapi dokumen kesehatan dari daerah asal, yakni penahanan teripang sebanyak 10,5 kg, penahanan tanduk rusa sebanyak 3 pcs, penahanan 600 kg daging ayam, penahanan dan 3 ekor kambing.
“Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 pasal 35 bahwa untuk melalulintaskan media pembawa hewan, ikan, dan tumbuhan wajib dilengkapi sertifikat kesehatan dari daerah asal, sementara pidana yang diberikan berdasarkan pasal 88 adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar,” tutup Azhar. Ys