Hari menjelang sore, saat Saya dan belasan pemuda desa dan tim Ruruhi Project menjelajahi hutan di belakang desa menuju air terjun Pitu Ndengga. Dalam bahasa Tolaki, Pitu Ndengga berarti tujuh tingkat. Rasa penasaran semakin menjadi saat melewati perkebunan rakyat yang dipenuhi aneka tanaman jangka panjang, seperti kelapa, pala, cengkeh, kopi dan nanas. Karakter warga yang sebagain hobi bertani menjadikan sekitar kawasan penuh dengan tanaman.
Lepas dari kebun rakyat, hutan lebat membentang sejauh mata memandang. Hutan alam yang menjadi bagian dari kawasan suaka margasatwa tanjung peropa ini masih banyak ditemui pauna dilindungi. Bagi warga setempat, mereka kerap menemui jejak satwa seperti anoa, rusa dan babi hutan serta monyet hitam sulawesi. Di hutan Namu juga kita dapat menemui aneka flora seperti anggrek macan yang cantik.
Jarak air terjun pitudengga sebenarnya tak seberapa jauhnya. Mungkin karena baru, sehingga Kami di tim Ruruhi Project menganggapnya jauh. Nah, bagi warga sendiri itu jarak yang tak seberapa. Toh, faktanya jarak tempuh perjalanan hanya sekitar 15 menit dengan rute jalan setapak menanjak.
Menurut warga ada dua alternatif jalan yang bisa dilalui, yakni jalan ke arah Barat desa, hanya jaraknya lebih jauh dari jalan yang kami lalui. “Rute ini paling dekat meski sedikit agak menanjak.
Sebelum tiba di lokasi wisata pitu ndengga, kita akan menemukan anak sungai dengan air jernih yang dingin. Anak sungai ini merupakan bagian dari jalur air yang berasal dari air jatuh pitudengga. Rasa lelah mendaki jalan setapak akhirnya terbayar setelah menyaksikan keindahan air terjun pitudengga. Airnya yang deras menghujam dasar sungai yang telah membentuk liang dengan kedalamannya mencapai leher orang dewas.
Seperti namanya, air terjun pitundegga berundak-undak, dengan dinding batu setinggi tujuh meter. Dinding batu ini terbentuk dari bebatuan kapur yang diduga telah terbentuk sejak ribuan tahun lalu. Baik dinding maupun lantainya, saat diinjak terasa kasat alias tidak licin, mirip lantai air terjun Moramo.
Setelah puas bercumbu dengan air pitudengga, akhirnya kami memutuskan kembali mengingat waktu telah menjelang gelap. Kepuasan kami semakin lengkap saat tiba di pinggir desa, seorang warga berinisiatif memanjat pothon kelapa dan memetik buahnya untuk kami. Segar dan manisnya air kelapa membasahi kerongkongan sedari tadi kehausan. Pitundengga tentu saja telah membawa cerita baru bagi kami di tim Ruruhi Project, yang tidak mungkin didapatkan di daerah lain.
Hutan yang masih perawan dan belum terjamah oleh aktifitas manusia ini adalah penyedia air terbesar di desa ini. “Ini satu kesyukuran bagi kami, karena, hutan kami masih terjaga dengan baik,”kata Yuddin, Kades Namu.
Beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan tambang Nikel pernah melakukan eksplorasi disepanjang hutan Laonti. Hutan Namu menjadi salah satu yang terkena lokasi ijin tambang dari PT PNS. Warga sempat was-was dengan kehadiran tambang di wilayah mereka. “Jelas kalau tambang itu beroperasi maka hutan Namu pasti akan hancur dan dampaknya sumber-sumber mata air Namu juga pasti akan ikut hancur,”cerita Anton, warga Namu
Ketersediaan air bersih di Namu memang cukup melimpah jika dibandingkan dengan desa-desa lain di pesisir Kecamatan Laonti. Saking banyaknya air, pernah warga berinisiatif membangun turbin pembangkit listrik tenaga air Desa Namu. Sebuah pipa berdiameter cukup besar telah terpasang di sungai. Untuk menambah pasojkan air warga membendung sungai agar debit air yang dihasilkan lebih besar. Warga berharap turbin PLTA mini ini dapat menyuplai aliran listrik ke seluruh rumah penduduk di Namu. Namun keinginan itu urung dilakukan karena pemerintah telah membangun pembangkit listrik tenaga surya. SK