Ramadan itu penuh keberkahan. Sekali lagi saya merasakannya hari ini. Seorang kurir mengetuk pagar rumah saya sore tadi. Ia mengantar paket yang dikemas rapi dengan nama saya tertera sebagai penerima. Alamat pengirimnya dari sebuah tempat di daerah Surabaya. “Ini pasti buku,” duga saya, saat orang-orang di rumah menanyakan isinya.
Tebakan saya tak keliru. Ada dua buku di dalam paket itu. Lumayan tebal dan masih tersegel rapi. Pengirimnya adalah Satria Dharma. Nama ini pula yang tertera sebagai penulis dalam sampul bukunya. Judulnya Literacy and The Color Of My Days serta Muslim Kok Nyebelin (Part 2) Apa Kata Nabi?.
Lalu kenapa saya anggap ini berkah Ramadan? Sosok Satria Dharma yang menulis sekaligus mengirimkan buku ini, sama sekali tidak saya kenal secara personal. Kami-lebih tepatnya saya-menjadi satu dari ribuan orang yang ada di list pertemanan facebooknya. Saya menyukai tulisan-tulisan beliau di laman media sosialnya, lalu saya meminta berteman dengannya.
Saya rajin membaca tiap postingannya. Tentang gagasannya soal dunia pendidikan, tentang kehidupan keluarganya dan beragam kisah keseharian kerap ia bagi. Namanya orang terpelajar, tentu saja narasinya selalu menarik saat dituturkan. Saya selalu berusaha menitip tombol like dalam tiap postnya.
Nah, beberapa hari lalu, saat saya menulis Mahzab Om Gobel, sebuah kisah tarawih di kampung saya, Pak Satria Dharma ikut berkomentar. Senang dong saya karena ikut dikoment oleh orang yang saya anggap tidak mudah memberi apresiasi pada tulisan orang biasa seperti saya. Qadarullah, ia juga mengirim saya pesan instan di aplikasi messenger.
“Apa kabar, anda tinggal dimana?
“Bisa minta alamat dan nomor telepon. Saya mau kirim buku jika bersedia,”
Lha, siapa yang menolak dapat tawaran seperti itu. Bagi saya, ini adalah kehormatan karena saya yakin, buku yang hendak dibagikan beliau pasti keren.
Tentu saja ini berkah Ramadan, berkah kisah tarawih Om Gobel.
Sore tadi buku itu pun tiba. Saya memilih membuka dan mulai membaca buku Muslim Kok Nyebelin, yang ternyata baru dicetak Oktober 2020 lalu alias belum genap enam bulan diedarkan. Sampulnya lebih anak muda. Isinya? Aslinya nutrisi bagi otak saya. Baru 25 halaman saya, karena keburu azan magrib.
Saya tertarik pada satu bahasan soal Iqra. Bagi Pak Satria Dharma, umat Islam itu harusnya terpacu untuk selalu berpikir dan tidak berhenti membaca dan belajar. Peradaban manusia pernah sangat jaya dan itu karena lahirnya para pemikir Islam. Ada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Biruni, Muhammad Ibn Musa, Nizam Al Mulk.
Di awal-awal, buku ini bahkan sudah “menyengat” isinya. Pak Satria Dharma menganggap, Islam akan berkembang dan berkontribusi besar bagi teknologi dan kebudayaan bila umatnya mahir di bidang ilmu pengetahuan. Mereka yang hanya belajar jadi hafiz Quran, bukan garansi bisa membawa kemajuan bagi peradaban Islam.
Contohnya, ya tokoh-tokoh diatas. Mereka dikenal karena ilmunya, bukan karena mereka hafiz. Anti mainstream sekali cara berpikir ini, dan tentu saja saya tidak punya argumen untuk mendebatnya.
Masih cukup banyak lembar buku tulisan Pak Satria yang bakal saya tuntaskan di hari-hari mendatang sekaligus mengambil ibrah di dalamnya. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan mengonsumsi ilmu berharga dari buku ini. Apalagi membaca itu sejatinya adalah ritual keagamaan dan bernuansa spritual.
Ingatkah anda Saat pertama kali Malaikat Jibril menemui Rasulullah? Sang manusia maksum itu bukannya diberi perintah salat atau puasa. Wahyu pertama yang turun itu adalah perintah membaca alias Iqra. Via Jibril, Tuhan memerintahkan manusia membaca agar tahu apa yang belum diketahuinya.
Oh ya, Pak Satria ini rupanya seorang pendidik dan bermukim di Surabaya. Ada 14 lembaga pendidikan sudah ia dirikan. Ia juga salah satu inisator utama Ikatan Guru Indonesia. Ia banyak menulis buku tentang pendidikan, literasi dan kemanusiaan.
Sekali lagi, terima kasih kiriman ilmunya Pak Satria Dharma…!
—–
#AMR, Penyuka Kopi